Pemahamanku terhadap menjadi baik muncul setelah sekian tahun mendengarkan syiar agama yang beliau sampaikan.
Disclaimer:
1. Pada dasarnya yang membolak-balik hati adalah Allah. Tidak peduli siapa perantaranya, Ia adalah Sang Pemilik dan melalui kuasaNya seonggok hati akan percaya atau ingkar.
2. Tulisan ini bercerita tentang aku dan hidupku. Tidak bermaksud menggurui, mengolok-olok, menghina, atau menyindir siapa pun. Tujuan tulisan ini adalah mengenang jasa beliau dalam kehidupan spiritualku.
3. Jika tidak sepaham, kita tetap teman, tetap satu Indonesia Raya. Atau, minimal kita tetap warga yang tinggal seatap, langit.
Melewati enam tahun pendidikan di sekolah berbasis agama, tidak membuatku sadar begitu saja bahwa dunia itu sementara dan akhirat selamanya. Baca desclaimer lagi. Pernyataan ini tidak lantas memberi cap buruk pada sekolahku, bukan! Meskipun sempat kesal dengan sekolahku, tapi sekarang aku bangga menjadi alumninya. Sekolah dan guru-guruku hebat, tapi ingat, hidayah itu ditanganNya.
Sejak aku masih sekolah, mamaku sudah rutin mendengarkan kajian melalui radio. Pun, bapakku. Mamaku fanatik dengan satu penyiar. Sementara bapakku, memutar-mutar gelombong sesuka hati; asal kajian. Bukan berarti bapakku tidak memiliki gelombang kesayangan, namanya saja manusia, pasti ada rasa fanatisme meskipun mulanya sekedar penasaran.
Dua penyiar agama favorit Mama dan Bapak, kurasa, membawa ajaran yang sedikit bertentangan. Perbedaan ajaran yang dibawa dua penyiar agama tersebut membuatku memutuskan untuk bodo amat dengan agama selepas lulus pendidikan menengah atas. Terlebih, melihat teman-teman dibangku perkuliahan yang entah mereka tidak paham atau paham tapi tidak mengamalkan dan hidup mereka baik-baik saja. Nilai plusnya, mereka orang-orang baik. Aku menjadi semakin yakin, bukan sekedar agama yang bisa membuat orang menjadi baik.
Jilbab lebar dan baju kedodoran kutinggalkan, aku berpacaran (meski pun salah dan tetap dosa, aku bersyukur pacarku orang baik dan sekarang menjadi suamiku), solat hanya sebatas melepas kewajiban, jarang tilawah, tidak pernah muraja'ah, tidak mengikuti kajian, liqo', atau kegiatan keagamaan lainnya. Bahkan, bersama teman-teman kuliahku, aku sering menertawakan perempuan-perempuan berjilbab besar yang akhlaknya tidak karuan.
Ya, waktu itu diri ini menuju sekuler tanpa kusadari. Selain kepercayaan bahwa Ia kuasa, aku tidak berminat sama sekali mempelajari agamaku sendiri. Asal islam, baik dengan manusia, tidak menyekutukan Allah, dan solat lima waktu plus sesekali solat malam, bubar urusan, kan? Jilbab lebar dan baju kedodoran itu tidak wajib. Untuk apa baju-baju shalihat itu jika akhlak nol besar. Munafik!
Demikian pikiranku kala itu. Percaya atau tidak, lama-lama aku merasa kering. Ada yang salah dengan kondisi jiwaku tapi aku denial. Kadang, kalau rasanya segersang itu, aku membaca surat Al-Fajr beserta artinya berulang-ulang. Kalimat yang selalu membuatku sadar bahwa jalanku keliru, aku tersesat, dan aku harus kembali. Namun, jauhnya tersesatku, membuat diri ini kesulitan menemukan jalan kembali.
Sampai pada akhirnya Ia menakdirkanku bertemu dengan lebih banyak orang yang jiwanya jauh lebih kering, makin menyadarkanku bahwa bisa tidak bisa, aku harus kembali.
Berbekal curi dengar dari penyiar-penyiar agama yang selalu diputarkan oleh orang tuaku, aku memilih. Kuputuskan untuk mengikuti beliau, panyiar yang syiarnya selalu didengar mamaku. Aku mulai mengikuti kajian, masuk kedalam suatu golongan. Hal yang selalu kunisbatkan tidak akan terjadi, tapi herannya kulakukan. Pesan beliau yang kala itu menohok hatiku dan membuatku mantab dengan keputusanku, "Kalau saya menyampaikan hadist, itu dari Rasullah dan pasti benar. Tapi nek mung omonganku i urung tentu bener. Mbok paido yo rapopo." Sebelumnya, aku belum pernah mendengar penyiar yang mengatakan hal demikian.
Hidup berlanjut, dan Ia bersumpah tidak akan menguji hamba yang menyatakan dirinya beriman. Benar, Ia mengujiku, menghabisiku secara mental. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya melanjutkan hidup.
Berkat ceramah beliau yang kudengar dari radio, berkat guru daerah tempatku mengikuti kajian, waktu itu aku selamat. Percayaku lebih mantab bahwa aku memilih jalan yang benar, berkumpul bersama orang-orang yang tepat dijalan kebaikan.
Aku bersyukur melewati badai covid 2020 kemarin sebagai keluarga dari kelompok mengaji yang beliau pimpin. Seandainya tidak bergabung dengan kelompok ini, kurasa aku benar-benar butuh terapi kejiwaan. Bertemu dengan Ustadzah ditempatku mengaji sekarang, dengan nasihat bijaknya, membuatku bukan sekedar bertahan, tapi menguat.
Lalu, aku jadi punya keinginan besar agar bisa seperti ustadzah tersebut; menjadi warga khusus yang mengajinya langsung dengan beliau. Iya, mengenal dekat ustadzahku yang mengaji langsung dengan beliau membuatku makin mantab dan yakin bahwa sekeras apapun hidup, aku tidak akan meninggalkan kelompok kajian ini, insya Allah (semoga Ia kuatkan). Jiwaku tenang dan semangat belajar agamaku membesar.
Aku pecinta dunia, hidupku dipenuhi dengan cita-cita selangit tingginya. Bukan sekedar cita, tapi aku membuat rencana-rencana untuk mencapainya dengan steps yang detail. Ya, aku yang pecinta dunia, seketika lupa kalau cita-citaku pada tahun 2035 adalah beli empat mobil double cabin. 2020 mengubahku menjadi orang yang bercita-cita menjadi warga khusus agar bisa menimba ilmu agama langsung dengan beliau.
Seribu sayang, 2021 beliau meninggal. Namun, cita-citaku tak akan padam. Aku tetap ingin mengorientasikan hidupku untuk menjadi warga khusus itu. Meski pun, diri ini jauh dari layak, tapi tidak akan berhenti mengusahakan.
Terima kasih Al-Ustadz atas segala siraman rohani dan pencerahan-pencerahan yang menerangi. Nia tidak akan bertahan dititik ini tanpa Al-Ustadz, tanpa menjadi bagian dari MTA. Nia bersyukur, 2016 lalu memutuskan untuk ikut mengaji. Pada 2020 yang sulit, Allah dekatkan Nia dengan ustadzah Tutik, murid khusus Ustadz, yang membantu dan menyemangati Nia melewati banyak hal. Semoga Allah balas kebaikan Al-Ustadz dengan surga terbaikNya.
Kalimat Al-Ustadz yang selalu Nia pegang, "Orang tidak akan menjadi baik kalau tidak dipahamkan tentang agamanya." Semoga Nia istiqamah menempuh jalan lurus ini.
Ditulis untuk mengenang jasa almarhum Al-Ustadz Ahmad Sukina dalam kehidupan seorang hamba sahaya, Nia Haji. Perempuan yang berusaha menuju shalihah meski pun tak kunjung sampai.
Klaten, Februari 2021