Mr. F : “Selamat malam, lancar kan kuliahnya hari
ini?”
Aku : “Iya,
malam, Alhamdulillah sangat lancar.”
Mr. F : “Nilainya
harus bagus hlo ya.”
Aku : “Semoga
saja, mohon doanya. Terimakasih.”
Beberapa selang phone cellku
tak kunjung bergetar.
Aku : “Mohon maaf saya lancang.
Menurut ekspektasi saya setiap orang butuh teman bicara. Saya tidak yakin dapat
menjadi teman bicara yang baik, niat saya hanya ingin sedikit membantu. Kalau
boleh tahu, apa sebab sebuah bahtera pecah ketika berlayar di tengah samudera?”
Begitu pesan singkat itu
terkirim, aku gemetar menanti phone cellku
bergetar. Satu, dua, tiga, empat, pendulum jam berputar mulai mengganti setiap
menit. Dan pesanku tak kunjung berbalas.
Lalu, getar itu terdengar juga, pesan
singkat yang cukup panjang.
Mr. F :
“Karena kru gagal mempertahankan kapal, sehingga begitu badai menyerang,
bahtera pecah berpuing banyaknya. Kegagalan tersebut bukanlah suatu hal yang
disengaja, setiap bahtera yang berlayar menghendaki pelayaran yang selamanya,
namun ketika suatu hal yang tak kuasa di atasi tangan manusia (yang biasa kita
sebut tetapan Tuhan) terjadi dan memecahkan bahtera tersebut, bukan salah kru
yang melayarkan.”
Aku :
“Lantas, bagaimana nasib awak kapal?”
Mr. F :
“Selamat tidaknya awak, tegantung pada kepandaian bertahan hidup. Bagaimana
awak harus mencari papan untuk mengapung, mencari bala bantuan dan lain
sebagainya.”
Aku :
“Sekiranya awak itu kanak-kanak, mampukah ia melakukan hal demikian?”
Mr. F :
“Begitu bahtera diperkirakan pecah, orang dewasa harus segera menyelamatkan
anak-anak.”
Aku :
“Ketika bahtera diperkirakan pecah setiap diri hanya memikirkan nyawa sendiri,
tidak mungkin sempat memikirkan orang lain. Coba renungkan.”
Mr. F :
“Sebenarnya, begitulah kenyataannya. Namun apa daya ketika kru tak mampu
bertahan, seisi kapal harus menyelamatkan nyawa mereka masing-masing.”
Aku :
“Seandainya bahtera tersebut hanya dinaiki 3 orang; ayah, ibu dan seorang anak
perempuan; ayah dan ibu sebagai kru kapal, dan anak sebagai penumpang. Apakah
ayah dan ibu benar-benar tidak bisa bertahan ketika badai atau karang es
menghantam? Tidakkah mereka memikirkan nasib buah hati yang dulu di awal
pelayaran begitu mereka perjuangkan? Begitu si anak lahir, lantas orang tua tak
peduli keberlanjutan hidupnya dengan memasrahkan nyawa pada si keras karang.
Iyakah?”
Mr. F :
“Saya tidak tahu.”
Aku :
“Maaf saya lancang, namun ketika bahtera pecah di tengah pelayaran, kru harus
memperhatikan bagaimana nasib penumpang, bukan hanya secara fisik namun juga
psikis. Terlebih kanak-kanak, mereka memiliki hati yang belum banyak
bersentuhan dengan kekotoran seperti orang dewasa, untuk itulah perasaan dalam
bentuk apapun sulit hilang dalam benak mereka. Saya memiliki beberapa teman
yang orang tuanya tak mampu membertahankan kapal ketika menghadapi serangkai
amukan alam. Sayangnya, saya belum menemukan satupun dari mereka yang kondisi
jiwanya baik-baik saja. Pasti ada ketidakberesan yang sedikit nampak meski
mereka bersikukuh menutupi rasa kecewa dalam dirinya. Seperti keinginan yang
berusaha mereka wujudkan sekeras apapun pinta meraka pada Sang Kuasa, namun
mustahil mereka gapai. Bayangkan, seorang anak perempuan manis yang mendoa pada
Tuhannya “Allah, biarkan ayah dan ibu
menemaniku sampai dewasa. Kami bertiga, tinggal di rumah yang bahagia, yang
bagian depannya memiliki pelataran luas. Ibu menunggu ayah pulang kerja diteras
rumah sambil menemaniku mengayuh sepeda baru. Allah, aku tidak tahu harus
memohon pada siapa selain pada-Mu. Kabulkan pintaku”.
Pesan itu,, tak pernah tersampaikan karena
aku tak memiliki cukup keberanian untuk mengutarakan.
Bagiku, pun bahtera itu terlanjur pecah,
selama lautan belum tergulung dan masih gagah membentang memberi jalan bagi
kapal siapa saja yang ingin berlayar; selama semua kru masih diberi napas untuk
kembali melihat indahnya cakrawala tak berbatas; selama itu pula bahtera baru
dipersilahkan melintas.
Sejatinya, tak ada seorangpun
anak yang mengikhlaskan perpisahan orang tua mereka. Sekeras apapun hidup,
selama keluarga masih pulang ke rumah yang sama, besit kebahagiaan iu
senantiasa tercipta.