Saat teman-teman
seangkatan go international, aku
masih stay di desa mengajari anak
tetangga mengeja kata.
Tepatnya bulan Juli 2011, aku duduk di deret kursi ke tujuh
dari depan, dengan teman-teman samping kanan kiri yang tidak kukenali.
Presentasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di auditorium, beragam, memberi banyak
pilihan pengembangan minat dan bakat mahasiswa baru. Aku tidak banyak ingat,
hanya satu UKM yang wajah mbaknya
masih terekam jelas di otakku yang pas-pas an. UKM itu mengambil hatiku, kemudian
mengiming-imingi untuk bergabung menjadi salah satu anggotanya, dan aku
membisiki diri dengan tujuan yang sama. Sayang, karena memilih peluang lain,
akhirnya kuputuskan mematikan hasyrat untuk menjadi salah seorang di antara
anggota UKM itu.
Dua tahun yang lalu. Ya, ia merupakan kenangan dua tahun
lalu yang paling membekas di Audit kampusku. Mahasiswa baru. Ah, mahasiswa
baru. Dua bulan terakhir banyak berseliweran
mahasiswa baru di sekitarku. Mengingatkan akan potretku dulu. Andai waktu
memiliki jalan kembali, akan ku rotasi ke belakang dimana aku duduk termenung
di auditorium sembari mengagumi presentasi UKM itu. Mahasiswa baru. Ya,
mahasiswa baru. Aku ingin menasihati setiap hati untuk bergabung dengan UKM
itu, atau organisasi pengembangan bakat dan minta lain-lainnya di kampus ini.
Untuk melanglangkan
ilalang yang mustahil terbang.
Oktober 2013, empat semester terlewat begitu cepat.
Mendadak aku disadarkan pada semester kelima, yang dua semester lagi harus
mulai menyusun skripsi. Seakan baru kemarin. Saat aku bertanya pada seorang ibu
dimana arah kentingan. Ya, seorang ibu. Aku harus menceritakannya padamu.
Ketika lampu marka berwarna merah, aku tepat berada di
samping kiri beliau. Tanpa malu –dan untuk apa pula harus malu, tanpa tanya
hari itu aku tidak akan pernah sampai di kampus- aku menanyakan jalan mana yang
harus kuambil untuk sampai ke UNS. Beliau menjelaskan sampai lampu berubah
hijau, namun aku masih belum paham. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengantarku
sampai ke gerbang belakang UNS. Tetapi sebelum itu, beliau harus mengantar roti
dan kue di salah satu kedai roti ternama di kota Solo terlebih dulu.
Setibanya kami di gerbang belakang, beliau bercerita
tentang putri tunggalnya yang elok rupawan.
“Kamu mirip sekali dengan anak saya. Lihat, ini fotonya.”
Beliau menunjukkan gantungan kunci motor bergambar paras rupawan remaja 16tahunan.
“Oiya, siapa namamu?”. Lanjut beliau sembari menunggu komentarku yang asyik
menganalisa rupawan wajah di foto itu.
“Nama saya Citra, Ibu.” Jawabku dengan senyum yang kata
teman-teman melenakan. “Aduh, Ibu, anak Ibu cantik sekali. Jauh lebih cantik
dari pada saya.” Mengomentari pendapat beliau mengenai kemiripanku denganku.
“Mirip sekali begini. Sama cantiknya. Saya jadi ingat anak
saya saat pertama melihat kamu di lampu merah tadi.”
Aku tidak mampu membalas kalimat beliau. Dengan kelebihan
-sekaligus kurangku- yang peka terhadap makna rasa, aku meraba ada yang janggal
dari kalimat beliau barusan.
Beliau melanjutkan, memahami ketidaksanggupanku
berkata-kata. “Anak saya meninggal dua tahun lalu. Kecelakaan di depan
sekolahnya. Dia seusia denganmu, seandainya masih hidup tahun ini masuk
perguruan tinggi.” Entah mengapa aku tidak mendengar nada kecewa, barangkali
karena sudah terbiasa.
Singkatnya demikian. Kemudian beliau memberiku beberapa
bungkus roti dan kue yang ternyata setelah kucicipi rasanya enak sekali.
Aku tidak akan lupa, atau berusaha menghapusnya menjadi
ingatan usang. Temu kami memang sudah direncana, begitulah yakinku. Aku yang
berharap di antar ibu ke kampus pada
hari pertama masuk kuliah, dan ibu yang mengangankan mengantar anak tunggalnya
ke kampus pada hari pertama masuk kuliah.
Jalan akan selalu
terbentang bagi siapapun yang memiliki harapan.
Kembali pada semester kelima. Akhirnya dua semester yang
lalu aku bergabung menjadi anggora UKM itu, sebuah club study yang fokus pada
pengembangan kemampuan menulis karya ilmiah. Satu semester tidak pernah hadir
di sekre, tapi semester ini alhamdulillah lebih sering stay meskipun sebentar.
Selama tiga semester, kuliah adalah prioritas kedua setelah
mencari uang, dalam bahasaku disebut ngelesi
(mengajar). Dalam satu hari aku
bisa memperoleh jadwal mengajar dua kali. Selama satu minggu, dengan waktu
kerja enam hari, lima hari mengajar dua kelas per hari, dan satu hari mengajar
satu kelas. Luar biasa lelah namun rupiah yang kuperoleh tidak bisa dibilang
sedikit meskipun secara hitungan ekonomi aku rugi karena diupah lebih rendah
dari pada tentor di bimbingan belajar lain.
Tepatnya pada semester tiga, aku memutuskan untuk mengurangi
jadwal terbangku demi kuliah. Dan aku memutuskan untuk bergabung menjadi salah
satu anggota dari perkumpulan itu. Perkumpulan yang ternyata beranggotakan
orang-orang luar biasa di fakultas kami.
Dan aku bukan apa-apa,
layaknya sebutir debu di padang pasir.
Tidak membuatku berkecil diri untuk bergaul dengan mereka
yang luar biasa. Setiap datang ke sekre dan bertemu teman-teman disini, aku
berusaha mempelajari diri mereka dan merekam semua polah tingkah untuk ku
analisa mengapa mereka bisa luar biasa sementara aku masih bukan apa-apa.
Setelah puing demi jawaban ku temukan dan tersusun
struktural, aku sontak keheranan karena pilihan yang kuputuskan untuk
mengambilnya ternyata salah besar. Ngelasi
(mengajar). Terlebih semester lima ini, aku tidak kuat melihat kenyataan
bahwa tidak ada yang peduli pada anak-anak kecil di desaku. Bahkan TPA di
masjid pun kekurangan guru. Dan aku, merasa terpanggil untuk hadir sebagai
perawat “aset” desa.
Lebih banyak waktu terbuang untuk sekedar mengajari belajar
anak orang. Terlebih sekarang, tidak banyak pundi rupiah yang kudapatkan tetapi
jadwal mengajar semakin padat merayap. Kuliah, pekerja sosial bidang
pendidikan, organisasi, dan beberapa lomba. Aku mulai berpikir ulang, untuk apa
hal ini kulakukan?
Apabila sekedar
mencari dunia, rasanya satu gunung emas tidak akan cukup untuk memuaskan.
Sore hari, menjelang petang di sabtu malam. Ia, lelakiku, datang ke rumah dengan wajah
berseri ria. Kami berdialog panjang lebar menghadap ke taman samping rumah.
Duduk tanpa alas di atas lantai, bersandar pada dinding krem kekuningan.
Dua cangkir teh panas
manis yang masih mengepulkan asap lekas-lekas memanggil nama kami agar segera
menyesapnya.
“Aku ingin pulang”
“Maksudmu? Mengapa mendadak menanya demikian?” jemari
tangan kananya merapikan rambutku yang berantakan dihembus angin.
“Ternyata perjalanku tidak dihargai apa-apa. Untuk apa
dilanjutkan. Aku ingin kembali pada kenyamanan, tidak terbebani dengan
pikiran-pikiran, atau tanggungan-tanggungan.”
“Aku menyesalkan, ternyata pandangamu tentang kehidupan
masih sama dangkalnya dengan mereka.” Gerutunya
pedas.
“Siapa?”
“Kamu ingat tidak, saat Nabi melarang umat untuk tidak
turun dari bukit sebelum beliau memerintah? Seandainya, pasukan mematuhi,
barangkali tidak ada sejarah kalah perang umat islam.”
“Dan tidak ada sejarah panglima perang hebat Khalid bin
Walid.” Kekehku.
“Ya, barangkali. Ia sebaik-baik kesempurnaan. Atas izin-Nya
skenario itu terjadi.”
“Lantas, apa hubungannya denganku?”
“Kau sama gegabahnya dengan pasukan perang islam kala itu.
Terburu mengejar dunia yang belum tentu nyata adanya.”
“Apakah iya? Serendah itukah aku? Kau belum mendengar
lengkap kasusku.”
“Ceritakan!”
“Aku gamang, haruskah melanjutkan perjalanan atau pulang.
Namun aku cenderung ingin pulang, selagi ada persimpangan yang memberiku
kesempatan untuk memilih jalan. Untuk apa mengakumulasi lelah sementara tidak
banyak rupiah yang kukumpulkan, tidak ada pengumuman pemenang lomba atas
namaku, tidak menduduki posisi penting organisasi. Aku ingin pulang.” Mataku
mulai sembab.
Ia menarik selembar tissue dari tas cokelat mudanya, elegan
sekali, menurutku. “Persis dengan alasan umat melanggar larangan Nabi. Mereka
mengejar yang sejatinya tidak pernah ada, tidak akan terpuaskan, nafsu. Nafsu mendapat tempat di dunia,
memperoleh harta tak hingga banyaknya, disebut-sebut sebagai pahlawan yang rela
berkorban.”
Aku tidak menanggapi meski patahan kata. Ada yang salah,
namun tidak tahu dimana dan membenahinya. Barangkali pernyataannya perlu direka
ulang untuk diteliti lebih jeli. Senaif
itukah aku?
“Kamu berada di jalan yang benar, jangan pernah ingin
pulang. Nyamannya rumah hanya akan mengendurkan jiwamu yang mulai tegar.” Ia
melanjutkan.
“Sebentar.” Akhirnya kalimatku mulai tersusun. “Tidakkah
aku terlalu berpikiran sempit, tidak fokus pada satu bidang. Semuanya ingin
kulakukan, mengajar tanpa bayaran rupiah melimpah, bertanggung jawab dengan
amanah yang diberikan organisasi padaku, menjajal berbagai ajang perlombaan
yang hasilnya hanya nihil. Di luar itu semua, urusan akademis kurang
kuperhatikan. Sementara, aku bisa memperoleh lebih banyak rupiah dari tempat
lain, tidak banyak waktu yang kukeluarkan sebagai pekerja sosial. Lebih bisa
berkonsentrasi pada urusan yang dapat melambungkan namaku, melalui organisasi
dan lomba-lomba”
“Tidakkah kau pernah berpikir, mengajar itu amal jariyah,
ibadah yang pahalanya tidak akan terputus sampai mati. Kau kaya dengan itu
semua, meski kelihatannya miskin pujian manusia. Sungguh, itu merupakan
kemuliaan.”
“Apa? Mulia?”
“Ya, sangat mulia.”
“Bukan berpikiran sempit, atau tidak progresif.”
“Bukan.”
Aku
menganggung-angguk girang sekaligus berleleran air mata dan sesenggukan, di
bahu kekarnya yang mendekapku. Sementara bulan, sebagai saksi pilu hatiku dan
tulusnya cinta yang ia suguhkan untukku.
A little thing called
reinforcement.
Dalam kehidupan, sesekali
ia hitam
Namun lebih sering
putih
Asal jangan pernah
abu-abu
Karena kebaikan tidak akan bersenyawa dengan tindakan buruk sekecil
apapun.
witen by @niahaji