Suatu
senin yang suram dan tak akan kulupakan seumur hidupku. Untukku sang pendendam,
memaafkan merupakan kejadian tabu dan dramatis. Namun kali ini, kurasa aku
harus memaafkan meski tidak lagi mengharapkan kelanggengan hubungan.
Rumit,
sekelumit kisah yang mirip benang kusut. Mau dipotong, sayang. Mau dibenarkan,
susah. Dan kisah ini, berawal dari egoisnya hatiku, barangkali, namun aku
enggan mengakui. Berusaha memandang yang benar-benar benar, dan gagal.
Bertanya mengapa toh tak akan menemu jawabnya. Berdialog
dengan hati toh akhirnya menyayat perih pada luka. Berdiskusi dengan logika dan
bertemu jawabnya namun akan meninggalkan dendam yang dalam.
Wahai
telapak, lukamu seperih luka hatiku. Adakah kau tahu keputusan macam apa yang
harus aku ambil? Meninggalkan orang yang melukaimu dan hatiku, atau memaafkan
dengan menelan pahitnya amarah. Telapak, sakit, bukan? Ya, hatiku pun sesakit
engkau.
Andai
hari itu aku tidak meminta tolong dirinya, kejadian ini tak akan menimpa kita,
telapak. Sayangnya andai tidak mampu
mengalahkan fakta bukan, telapak? Dan,
rupiah untuk memulihkanmu tidak akan pernah sebanding dengan foto itu. Aku menyesal, telapakku. Aku sungguh
ingin menyudahi namun rasaku, rasa hatiku. Ah, seharusnya aku bukan wanita,
seharusnya biarkan logika yang menuntut jalan karena ia semata yang dapat
menjelaskan banyak tanya.
witen by @niahaji
0 komentar:
Posting Komentar