Selamat siang dari Indonesiaa
Sudah
waktunya bangkit dari keterpurukan hanya karena merasa banyak sekali yang
terbatas. Mari mulai membicarakan tentang mimpi dan menitipkannya pada pemilik
takdir kembali. Seperti yang mentor saya katakan “Allah mempertemukan kita
karena suatu alasan”. Dan alasanNya mempertemukan dengan orang baik itu adalah
untuk menyusun semuanya sekali lagi; sekali lagi bermimpi, sekali lagi berdoa
sangat khusyu’, sekali lagi berusaha sangat keras. Ya, sekali lagi.
Saya meyakini, bahwa suatu hari
kelak, entah ketika semuanya menyata atau diganti yang lebih baik menurut
versiNya, tulisan ini akan membuat saya berlinang air mata.
Mengenai mimpi itu. Sejak
berputih abu-abu saya sudah memimpikan untuk melanjutkan studi di luar negeri.
Namun karena mendapat penghinaan yang sangat besar dari orang yang paling saya
harapkan bisa mendukung saya, semua mimpi itu saya buang jauh-jauh. Akhirnya,
saya melanjutan S1 saya di UNS Solo jurusan Pendidikan Akuntansi.
Sebenarnya, jurusan itu juga
bukan pilihan pertama saya. Awalnya saya tidak ingin mengambilnya walaupun
sudah diterima. Namun karena bingung juga mau ngapain kalau nganggur setahun,
akhirnya saya putuskan untuk tetap mengambil kesempatan itu sambil
mempersiapkan diri untuk SNMPTN tahun depan.
Tetapi Allah mengatakan lain.
Justru dijurusan itu saya merasa nyaman. Saya bertemu dengan orang-orang baik
yang mengajarkan saya untuk hidup bersama dengan harmonis; sesuatu yang tidak
saya dapat ketika masih SMA.
Tahun lalu, tepatnya 25 September,
saya dinyatakan lulus dan diwisuda pada tanggal 5 Desember. Sekarang, ketika
tulisan ini dibuat, saya sedang berstatus sebagai the first galauest people in
the world. Kenapa? Karena mimpi saya untuk studi diluar negeri itu muncul
kembali.
Bukan karena teman-teman SMA ada
yang sudah melanjutkan studi ke luar negeri. Mereka anak-anak orang berada,
kemanapun inginnya pasti ada jalan; karena uang akan membawa kemanapun mereka
ingin, bukan? Tapi tetap saja, setiap orang yang dapat beasiswa untuk studi ke
luar negeri, entah ia berada atau papa, usaha keras perlu dilakukan agar mimpi
itu kesampaian. Begitulah cara saya memotivasi diri. Yang harus saya tiru dari
teman-teman yang sudah berangkat duluan ke luar negeri adalah kerja keras
mereka. Bedanya, saya akan mengusahakan dengan meminimalisir mengeluaran uang.
Hehehe.
Namun, justru karena mimpi itu
muncul setelah saya dinyatakan lulus, membuat saya sangat mederita. Kenapa?
Karena dilain sisi saya ingin bekerja; suatu pekerjaan yang dapat menghasilkan
banyak uang dengan stabil (baca pegawai perusahaan). Beberapa hari lalu, saya
memasukkan lamaran ke lima perusahaan besar di kota solo raya. Anehnya, saya
tidak tahu harus berdoa agar diterima atau tidak. Itulah dilemanya.
Disatu sisi, saya adalah anak
pertama yang -meskipun orang tua saya tidak meminta- harus membantu orang tua
mencari uang. Dan disisi lain, saya ingin fokus mendedikasikan diri sebagai
scholarship hunter dengan meningkatkan kualitas diri dan pengalaman mengajar
dibidang yang saya geluti (akuntansi). Tapi, jika saya mengajar, uang yang saya
peroleh tidak akan seberapanya gaji diperusahaan. Dan, mencari sekolah yang
membutuhkan guru Wiyata Bakti jaman sekarang juga susah. Finally, saya hanya
berdiam diri tidak tahu harus melakukan apa-apa a.k.a terpuruk.
Saat sedang terpuruk, saya terus
memikirkan banyak hal. Saya bertanya mengapa Allah melakukan “ini” pada saya.
Disaat teman-teman saya sudah dapat panggilan tes dari perusahaan yang dilamar,
atau sudah menjadi guru Wijaya Bakti di suatu sekolah, saya bertanya pada Allah
apa yang sedang Ia rencanakan untuk saya. Saya mulai tidak berani untuk
bermimpi, dan mimpi terbesar saya adalah SAYA INGIN UNTUK TIDAK BERMIMPI.
Ah, iya.. Manusia memang
tempatnya suka yang instan-instan. Jika saya bekerja di suatu perusahaan,
memang benar saya akan mendapatkan gaji yang lumayan besar. Tapi, perlu digaris
bawahi juga, bahwa pekerja di perusahaan akan membuyarkan fokus saya untuk
mengusahakan studi di luar negeri dan membatasi diri saya untuk berpartisipasi
dalam kegiatan yang akan saya butuhkan untuk mengisi CV. Terlebih, berkerja di
perusahaan tidak sesuai dengan jurusan yang ingin saya ambil untuk S2 saya
nanti. Dan, betapa adilnya Ia, sebenarnya.
Sejak pertengahan Oktober, saya
mulai mengajar sebagai guru sukarelawan berbayar di salah satu SD di dekat
rumah saya. Apa mata pelajaran yang saya ampu? Bahasa Inggris, saudara-saudara.
Sementara, selama empat tahun lebih dua bulan saya belajar tentang Akuntansi.
Oh my..
Saat itu, keinginan studi di luar
negeri belum muncul. Dan yang saya pikirkan hanyalah mengisi waktu ditengah
status saya sebagai “Penunggu Wisuda”. Rencana nya, setelah dapat ijazah saya
akan segera bergrilya apply dibanyak perusahaan.
Tidak disayangka, sekitar awal
November saya dapat info dari seorang teman bahwa ada pendaftaran sekolah toefl
gratis. Mendaftarlah saya ke sekolah toefl itu pada hari terakhir pendaftaran
siswa baru. Dan, berkat kalimat sang mentor, beliau yang terhormat Budi Waluyo,
S.Pd., MA, mimpi saya studi di luar negeri muncul kembali. Setiap malam, saya
membaca ebook beliau tentang cara mendapat beasiswa ke luar negeri, dan setiap
saya membaca, pasti ada air mata yang keluar.
Sampai tanggal wisuda, saya masih
baik-baik saja. Semangat dan cita-cita untuk bergrilya memperoleh pekerjaan
yang memberikan gaji tinggi dan stabil serta merencanakan studi di luar negeri masih
membara. Namun, beberapa minggu setelah tanggal wisuda, saya merasa harus give
up untuk studi ke luar negeri. Yang harus saya lakukan hanyalah berusaha
mendapat pekerjaan bergaji tinggi; lupakan studi ke luar negeri; dan jangan
baca ebook Budi Waluyo lagi.
Namun sayang, justru saat saya
mengejar pekerjaan, yang saya rasakan hanyalah tepuruk yang makin dalam.
Seperti yang saya tulis di atas, teman-teman saya sudah menerima panggilan tes
di beberapa perusahaan, atau sudah berkerja sebagai guru Wiyata Bakti di sebuah
sekolah. Tapi, ada apa dengan saya? Sementara CV saya lebih berisi dari pada CV
mereka. Saya berpikir bahwa itu adalah hukuman Allah untuk saya karena saya
orang yang tidak beruntung, apalagi ditambah dengan kejadian hilangnya sesuatu
yang sangat berarti dalam hidup saya. Saya semakin terpuruk dan tidak bisa
melakukan apapun.
Kalian tahu apa yang membawa saya
kembali? Yang membawa saya kembali adalah seorang anak kecil yang menulis surat
pada Tuhan, seorang anak kecil disuatu sinetron yang ditayangkan di salah satu
stasiun TV swasta. Saya kembali, dan saya menulis. Tulisan ini.
Anak itu berkata bahwa, Tuhan
akan memberikan apa yang diminta hambaNya, dan ia menyerahkan segala sesuatu
atas apa yang ia inginkan pada Tuhan. Tuhan pasti akan mengaturnya.
Saya menangis, dan keesokan
harinya saya mulai berdoa. Namun anehnya, saya merasa belum sepenuhnya lagi
percaya dan berkata dalam doa saya “Ah, Allah, terserah Engkau sajalah mau
bagaimana”. Pukul 9 pagi tadi, entah mengapa saya mulai melanjutkan membaca
ebook Budi Waluyo, membaca CV beliau, dan lain-lain. Yang menarik, dalam CV
Budi Waluyo, antara tahun kelulusan S1 beliau dengan mulainya beliau studi di
luar negeri, berjarak dua tahun. Dan selama dua tahun itu, yang dilakukan
beliau adalah menjadi tentor di salah satu bimbingan belajar.
Hanya seorang tentor disebuah
bimbingan belajar, sementara teman-teman beliau yang lain sudah mendapat
pekerjaan yang keren dan bergaji tinggi. Saya berpikir, untung saja selama dua
tahun itu, atau setidaknya selama setahun, beliau tidak putus harapan.
Seandainya beliau putus harapan, namanya tidak akan bersinar seterang sekarang.
Jika berkata tentang keterbatasan, beliau menegaskan bahwa, keluarganya bukan
konglomerat, bukan termasuk manusia jenius, dan banyak kendala lainnya. Namun
semangat, tekun, dan kerja keras beliau lah yang membawa beliau berada ditempat
berpijaknya sekarang.
Lalu, saya mengatakan pada diri
saya sendiri, saat merasa sangat sengasara, ulas apa yang orang sukses perbuat
pada hidup mereka, apakah mereka tidak pernah sengsara, tidak pernah merasa
terpuruk? Pasti pernah. Hanya saja, beda antara seorang yang terpuruk satu
dengan lainnya adalah usaha untuk bangkit, usaha untuk meyakinkah diri agar
kembali bermimpi, dan menitipkan mimpinya pada pemilik takdir. Dan yang
terpenting, meyakinkan diri bahwa hasil akan sebanding dengan proses, lakukan
saja dengan baik, seandainya apa yang kamu ingin tidak menyata, ia akan menggantinya
dengan sesuatu yang lebih baik. Seperti waktu saya mengerjakan skripsi.
Saya ingin bisa wisuda di bulan
Juni 2015. Sayangnya, sampai akhir Januari atau awal Februari 2015, saat
kebanyakan teman saya sudah mendapat pembimbing, bahkan sudah ada yang selesai
skripsinya; saya masih kebingungan menentukan tema. Ditambah lagi,
tetangga-tetangga saya yang masuk kuliah di tahun yang sama dengan saya
(meskipun mereka tidak kuliah di kampus setingkat UNS) sudah pada lulus. Saya
hidup di desa dan ibu saya memiliki toko yang cukup ramai dan saya sering
membantu di toko itu. Berkali-kali para tetangga yang berbelanja ke toko kami,
menanya pada saya apakah sudah lulus atau belum. Ah, waktu itu rasanya what
the... Karena, mana ada yang mengalahkan obrolan ibu-ibu desa di dunia ini? Saat
itu saya juga merasa dan menanya padaNya, apa yang Ia lakukan terhadap saya.
Saya malu, dan menceritakan hal ini pada dosen pembimbing saya, Dr.
Susilaningsih, M.Bus. Beliau menasihati bahwa mendengar omongan orang tidak
akan pernah ada habisnya. Saya disarankan untuk fokus saja pada apa yang saya
kerjakan tanpa memikirkan hasil. Dan, saya melakukan apa yang beliau katakan.
Setelah berhasil menyelesaikan
skripsi dan dinyatakan lulus, saya kepo
skripsi yang disusun oleh teman-teman yang duluan lulus. Ternyata, memang benar
apa yang dosen saya katakan “Kamu mengerjakan sesuatu yang luar biasa, Nia”.
Ya, terima kasih Allah.
Menempatkanku sebagai mahasiswa Pendidikan Akuntansi FKIP UNS. Seandainya aku
melanjutkan studi di luar negeri, aku tidak akan bertemu dengan nama-nama yang
akan selalu ku nomor satukan diatas nama-nama lain. Bely AJK, Dani S, Dina K,
Muftihah Riza F, Nunung AP, Rasyid GR, Riang NS, dan seorang yang; jika boleh
manusia menyembah manusia lain, maka akan ku sembah; Dr. Susilaningsih, M.Bus. Dan,
seseorang yang hanya kuketahui namanya, mentor hidup saya; Budi Waluyo, S.Pd.,
MA.
Dan lagi-lagi terima kasih Allah.
Menempatkanku sebagai guru bahasa inggris sukarelawan berbayar di salah satu
SD, itu sangat membantu mengingat kembali dasar bahasa inggris. Dan menjadikanku
sebagai siswa di Sekolah Toefl Budi Waluyo. Terima kasih memberikan kesempatan
belajar bahasa inggris gratis dari dasar. Terima kasih Allah, memberiku sekali
lagi kesempatan bermimpi studi di luar negeri. Terima kasih Allah, tidak
mengijinkanku bekerja di salah perusahan yang kulamar agar aku fokus pada
mimpiku. Terima kasih. Mengapa aku begitu lamban menyadari rencanaMu yang
sempurna ini. Terima kasih Allah.
Dan, terima kasih Allah. Telah mengambilnya
dari hidupku dan membuatku seterpuruk ini. Jika aku tidak seterpuruk ini,
tulisan ini tidak akan pernah kuketik.
NB, saya menulis ini sebagai
motivasi untuk orang-orang yang merasakan keterpurukan dalam hidup mereka. Semoga
memberi manfaat. Mari saling menguatkan.
0 komentar:
Posting Komentar