“Aku
ingin pulang”
“Mengapa?”
“Ternyata
perjalanku tidak dihargai apa-apa. Untuk apa dilanjutkan. Aku ingin kembali
pada kenyamanan, tidak terbebani dengan pikiran-pikiran, atau tanggungan-tanggungan.”
“Aku
menyesalkan, ternyata pandangamu tentang kehidupan masih sama dangkalnya dengan
mereka.”
“Siapa?”
“Kamu
ingat tidak, saat Nabi melarang umat untuk tidak turun dari bukit sebelum
beliau memerintah? Seandainya, pasukan mematuhi, barangkali tidak ada sejarah
kalah perang umat islam.”
“Dan
tidak ada sejarah panglima perang hebat Khalid bin Walid.” Kekehku.
“Ya,
barangkali. Ia sebaik-baik kesempurnaan. Atas izin-Nya skenario itu terjadi.”
“Lantas,
apa hubungannya denganku?”
“Kau
sama gegabahnya dengan pasukan perang islam kala itu. Terburu mengejar dunia
yang belum tentu nyata adanya.”
“Apakah
iya? Serendah itukah aku? Kau belum mendengar lengkap kasusku.”
“Ceritakan!”
“Aku
gamang, haruskah melanjutkan perjalanan atau pulang. Namun aku cenderung ingin
pulang, selagi ada persimpangan yang memberiku kesempatan untuk memilih jalan.
Untuk apa mengakumulasi lelah sementara tidak banyak rupiah yang kukumpulkan,
tidak ada pengumuman pemenang lomba atas namaku, tidak menduduki posisi penting
organisasi. Aku ingin pulang.” Mataku mulai sembab.
Ia
menarik selembar tissue dari tas cokelat mudanya, cantik sekali, menurutku.
“Persis sekali dengan alasan umat melanggar larangan Nabi. Mereka mengejar yang
sejatinya tidak pernah ada, tidak akan terpuaskan, nafsu. Nafsu mendapat tempat di dunia, memperoleh harta tak hingga
banyaknya, disebut-sebut sebagai pahlawan yang rela berkorban.”
Aku
tidak menanggapi meski patahan kata. Ada yang salah, namun tidak tahu dimana
dan membenahinya. Barangkali pernyataannya perlu direka ulang untuk diteliti
lebih jeli. Senaif itukah aku?
“Kamu
berada di jalan yang benar, jangan pernah ingin pulang. Nyamannya rumah hanya
akan mengendurkan jiwamu yang mulai tegar.” Ia melanjutkan.
“Sebentar.”
Akhirnya kalimatku mulai tersusun. “Tidakkah aku terlalu berpikiran sempit,
tidak fokus pada satu bidang. Semuanya ingin kulakukan, mengajar tanpa bayaran
rupiah melimpah, bertanggung jawab dengan amanah yang diberikan organisasi
padaku, menjajal berbagai ajang perlombaan yang hasilnya hanya nihil. Di luar
itu semua, urusan akademis kurang kuperhatikan. Sementara, aku bisa memperoleh
lebih banyak rupiah dari tempat lain, tidak banyak waktu yang kukeluarkan
sebagai pekerja sosial. Lebih bisa berkonsentrasi pada urusan yang dapat
melambungkan namaku, melalui organisasi dan lomba-lomba”
“Tidakkah
kau pernah berpikir, mengajar itu amal jariyah, ibadah yang pahalanya tidak
akan terputus sampai mati. Kau kaya dengan itu semua, meski kelihatannya miskin
pujian manusia. Sungguh, itu merupakan kemuliaan.”
“Apa?
Mulia?”
“Ya,
sangat mulia.”
“Bukan
berpikiran sempit, atau tidak progresif.”
“Bukan.”
Aku
menganggung-angguk girang sekaligus berleleran air mata dan sesenggukan.
0 komentar:
Posting Komentar