Dialog Hati

on Selasa, 08 Oktober 2013


“Aku ingin pulang”
“Mengapa?”
“Ternyata perjalanku tidak dihargai apa-apa. Untuk apa dilanjutkan. Aku ingin kembali pada kenyamanan, tidak terbebani dengan pikiran-pikiran, atau tanggungan-tanggungan.”
“Aku menyesalkan, ternyata pandangamu tentang kehidupan masih sama dangkalnya dengan mereka.”
“Siapa?”
“Kamu ingat tidak, saat Nabi melarang umat untuk tidak turun dari bukit sebelum beliau memerintah? Seandainya, pasukan mematuhi, barangkali tidak ada sejarah kalah perang umat islam.”
“Dan tidak ada sejarah panglima perang hebat Khalid bin Walid.” Kekehku.
“Ya, barangkali. Ia sebaik-baik kesempurnaan. Atas izin-Nya skenario itu terjadi.”
“Lantas, apa hubungannya denganku?”
“Kau sama gegabahnya dengan pasukan perang islam kala itu. Terburu mengejar dunia yang belum tentu nyata adanya.”
“Apakah iya? Serendah itukah aku? Kau belum mendengar lengkap kasusku.”
“Ceritakan!”
“Aku gamang, haruskah melanjutkan perjalanan atau pulang. Namun aku cenderung ingin pulang, selagi ada persimpangan yang memberiku kesempatan untuk memilih jalan. Untuk apa mengakumulasi lelah sementara tidak banyak rupiah yang kukumpulkan, tidak ada pengumuman pemenang lomba atas namaku, tidak menduduki posisi penting organisasi. Aku ingin pulang.” Mataku mulai sembab.
Ia menarik selembar tissue dari tas cokelat mudanya, cantik sekali, menurutku. “Persis sekali dengan alasan umat melanggar larangan Nabi. Mereka mengejar yang sejatinya tidak pernah ada, tidak akan terpuaskan, nafsu. Nafsu mendapat tempat di dunia, memperoleh harta tak hingga banyaknya, disebut-sebut sebagai pahlawan yang rela berkorban.”
Aku tidak menanggapi meski patahan kata. Ada yang salah, namun tidak tahu dimana dan membenahinya. Barangkali pernyataannya perlu direka ulang untuk diteliti lebih jeli. Senaif itukah aku?
“Kamu berada di jalan yang benar, jangan pernah ingin pulang. Nyamannya rumah hanya akan mengendurkan jiwamu yang mulai tegar.” Ia melanjutkan.
“Sebentar.” Akhirnya kalimatku mulai tersusun. “Tidakkah aku terlalu berpikiran sempit, tidak fokus pada satu bidang. Semuanya ingin kulakukan, mengajar tanpa bayaran rupiah melimpah, bertanggung jawab dengan amanah yang diberikan organisasi padaku, menjajal berbagai ajang perlombaan yang hasilnya hanya nihil. Di luar itu semua, urusan akademis kurang kuperhatikan. Sementara, aku bisa memperoleh lebih banyak rupiah dari tempat lain, tidak banyak waktu yang kukeluarkan sebagai pekerja sosial. Lebih bisa berkonsentrasi pada urusan yang dapat melambungkan namaku, melalui organisasi dan lomba-lomba” 
“Tidakkah kau pernah berpikir, mengajar itu amal jariyah, ibadah yang pahalanya tidak akan terputus sampai mati. Kau kaya dengan itu semua, meski kelihatannya miskin pujian manusia. Sungguh, itu merupakan kemuliaan.”
“Apa? Mulia?”
“Ya, sangat mulia.”
“Bukan berpikiran sempit, atau tidak progresif.”
“Bukan.”
Aku menganggung-angguk girang sekaligus berleleran air mata dan sesenggukan.


witen by @niahaji

0 komentar:

Posting Komentar