Karena Jadi Orang Tua itu BERAT

on Sabtu, 12 Januari 2019
Ketika anak umur satu, suka ditontondengarkan dangdut dengan penyanyai aduhai yang joget-joget sambil mendesah manjah.
Kalau nonton dan dengar begituan sudah jadi kebiasaan, ketika sudah dewasa maunya lihat yang lebih aduhai.
Lebih dewasa lagi, ikut nonton kalau ada acara dangdutan. Iya, nonton live para mbak-mbak cantik itu berjoget tak pantas.
Makin gede, udah nggak sekedar nonton, tapi ikut joget-joget.
Lama-lama ikut joget aja nggak cukup. Sambil grepe-grepe para biduan juga.

Terus nanti endingnya kalau metengi anak orang kita bilang ke anak "BOCAH KOK NGISIN-NGISINI WONG TUO". Hai, wong tuo, siapa juga yang nggak bisa jaga anak? Dieling-eling lagi ya, pakde bude semua.

Kalau pun belum sampai tahap metengi anak orang, icip-icip seks bebas udah banget lah. Dan sebagai orang tua, antara tutup mata dan pura-pura bodoh atau membodohi diri dengan pembelaan irrasional bahwa anak kita itu suci, baik, nggak neko-neko. Nggak mungkin maen free sex. Lalu ketika semua fakta bahwa memang anak kita sudah bukan lagi perjaka, kita bilang ke mereka "NGATI-ATI NEK KARO WONG WEDOK. OJO NGISIN-NGISINKE WONG TUO".

In case anakku laki ya. Jadi aku gawe umpamanya ya untuk anak laki. Kalau anak perempuan paling ujungnya-karena role model dia biduan-biduan seksi-jadi doyan dandan seksi menarik hati. Kalau ada yang godain awalnya pakai marah-marah dulu. Nanti lama-lama digrepe-grepe bilangnya risih. Makin gede ya, udahlaaah. Habis aja. Bebas semua mau ngapain.

Kalau berakhir dengan hamil, sama, sebagai orang tua kita akan bilang "ANAK KOK NGISIN-NGISINI WONG TUO". Kalau belum sampai tahap hamil tapi kita udah membau ada pergerakan tidak wajar dalam pergaulannya, kita bilang "OJO NGISIN-NGISINI WONG TUO".

Semata aku curhat aja ya. Nggak maksud judge semua kakak-kakak penyanyi dangdut sama dengan perempuan nakal yang hobi aksi porno. Tetep lah yaa, dangdut itu musik tradisional Indonesia dan patut dilestarikan. Tapi kudulaah, ada value yang butuh dijaga. Ye kaaan.

Kalau kalian tinggal di desa pasti paham bener laaah sama yang aku tulis. Nggak tahu juga kenapa, orang desa sukanya nonton dan dengerin dangdut dengan penyanyi yang sensual itu. Anak dibawah umur pun udah ditontondengarkan juga. Sedih nggak sih lihat fenomena begituan? Kalau kamu jadi ibu, kiranya hal apa yang kamu lakukan ketika yang ditontondengarkan itu anakmu? Aku pernah hlo diposisi itu dan aku nggak bisa jaga anakku dari menonton dengar hal-hal yang seharusnya tidak dia saksikan. Semoga sekali itu aja wis, anakku nonton dengar begituan. Big emooooh kalau keulang.

Sebenarnya yang mau aku tekankan disini buibu pakbapak, betapa sejatinya kitalah yang menjerumuskan anak kita menjadi diri yang tidak benar entah dalam nilai apapun. Ketika anak sudah melenceng terlalu jauh dari nilai-nilai yang tertetapkan, kita marah-marah. Padahal kesalahan itu, kita yang mula-mula menanamnya.

Sering juga kita minta anak punya nilai baik dan benar sementara kita nggak pernah ajar dan contohkaan nilai-nilai baik dan benar itu. Kita sendiri pun tidak pernah berusaha punya nilai-nilai yang baik dan benar. Logis kan kalau anak nilainya nggak baik dan nggak benar, kitanya aja zonk.

Maunya punya anak hebat tapi kita sendiri nggak bisa kasih contoh biar jadi hebat itu gimana. Masih sering berharap kembali ketika memberi. Semacam menyayangi dengan ekspektasi gitu. Misal nih, kita berhasil sekolahin anak sampai jenjang tertentu terus anak kerja di tempat yang bagus dan gajinya gede. Sebagai orang tua, kita berharap dikasih jatah bulanan karena merasa berjasa atas capaian anak. Ya Allah buk, udah kewajiban banget ya untuk mengantarkan anak ke depan pintu suksesnya.

Serius hlo. Buanyak orang tua cem gene. Mereka memberi dengan harapan kembali. Baru tahu anak penghasilannya gede aja udah minta neko-neko. Nggak pa-pa banget ya, kasih duit atau apapun ke orang tua. Bahkan tiap bulan kasih sesuatu itu nggak pa-pa banget. Tapi jadi orang tua hendaknya tahu diri lah yaaa. Apalagi kalau anak kita laki (ngingetin diri aja sih). Mereka ngopeni anak istri hloo. Barangkali sebelum mencapai gaji yang besar, mereka pernah terseok-seok bahkan jatuh dalam hutang yang nggak sedikit. Jadi ketika terima gaji besar, sebagian gaji digunakan untuk cicil hutang. Kalau ibuku mengibaratkan padi, baru mulai bertumbuh aja udah dicabut.

Ini kenapa sih kok bahasnya sampai sana. Intermezo sambil tjurhat dikit boleh dong ya. Hlooooooh. Lol lol lol lol.

Balek lagi ke nilai, ah. Keterusan curhat jadi blak-blakan nanti kasih contohnya. Hlohlohlol piye sih. Pengalaman pribadi hlo ini bedeweh. Jujur! Wkwk

Kalau kamu nggak jamin anakmu bakal tumbuh dengan nilai-nilai yang baik disuatu lingkungan, tinggalkan lingkungan itu. Kalau dinyinyir gimana? Kalau lingkungan yang harus ditinggalkan itu masih keluarga gimana?

BODO AMAT!!!

Kamu mau menanggung beratnya nilai buruk yang akan tertanam dalam diri anakmu? Masih mengutamakan pekewuh, ya tanggung sendiri aja kalau anakmu tidak tumbuh sebagai pribadi yang sesuai nilaimu. Jangan salahkan anakmu.

Inget ya semua, nggak ada anak yang salah di dunia ini. Adanya orang tua yang nggak bisa gedein anak dengan benar. Orang tua yang nggak bisa kasih ajar dan contoh nilai-nilai yang baik dan benar.

Iya, jadi orang tua nggak semain-main itu. Ada banyak hal yang harus kita jaga tentang anak kita; perasaannya, dirinya, pikirannya. Malulah pada Allah kalau tidak bisa nggedein anak dengan baik dan benar, bukan pada manusia.

Ps: nanti kalau kamu sudah besar dan kamu baca tulisan ini dan kamu merasa bahwa mama belum bisa ajarkan kamu nilai-nilai yang baik dan benar, maafkan mama ya nang. *dan-nya banyak amat sih lol*

0 komentar:

Posting Komentar