Aku
mencintaimu dengan pelafalan segala macam bahasa di dunia.
Sendat
langkahku justru menggiringmu pada semangat kehidupan yang lebih baik.
Mengapa
tidak dari dulu aku menceritakan semuanya padamu, agar semangat itu menggelora
liar sejak dulu.
Sudahlah,
terima saja. Begitu bukan?
Pengakuanmu
tempo hari..
Masih
mengiang di telinga. Sekali lagi mengirimkan impuls ke syaraf, mencoba
menafsirkan dalam sadar.
Jiwaku
seakan lepas dari raga, bersenyawa dengan debu, butiran pasir, dan hembusan
angin, serta kadar oksigen.
Sungguh?
Aku tidak
tahu harus melakukan apa. Setahuku aku begitu bahagia sampai lupa sehebat apa
rasanya menjadi nomor satu yang kukira tidak mungkin tergayuh.
Ya, akulah
sejatinya yang pertama, layaknya engkau betapa dinomorsatukan oleh segenap
diriku.
Terkadang
aku gamang, atau mungkin menyesal.
Seandainya
dapat menajangkau hidupmu di masa lalu, segenap daya akan ku upayakan untuk
menjadikan diriku yang pertama memilikimu.
Namun aku
tersadar, mengingat masa itu sama dengan menyakiti kita yang sedang mencoba
membangun rumah masa depan.
Aku
bertahan, mensugesti diri bahwa akulah yang pertama memiliki raga dan cinta
tulusmu.
Pengakuanmu
subuh itu..
Waktu dimana
malaikat mengepakkan sayap meninggalkan bumi, melesat menuju tempat ia berjaga.
Meninggalkan bumi dengan senyum terkembang sekaligus syahdu mendengarkan
pengakuanmu yang satu kalimat itu.
“kaulah yang
pertama untukku”
Entah harus
kunarasi apa.
Ternyata
kita sama.. malaikat pun turut menjadi saksi pengakuanmu yang sederhana.
Semoga
aminnya juga merdu melanglang buana saat kita bersenandung mengikrarkan akad
pernikahan ):
Betapa nomor satu begitu berharganya.
Tetap cintai aku layaknya hari-hari lalu.
Bersama kita berdiri, bergandeng tangan menakhlukkan
masa depan.
Di saat tidak ada tempat untuk singgah, akulah rumah
yang masih bersedia menunggumu pulang ):
writen
in my room, 6th januari 2013 at 09.24pm
0 komentar:
Posting Komentar