Sejenek
menikmati sabtu sore yang banyak berlalu di tempat kerja ..
“Mereka hebat ya mas”
“Apa?”
“Yah, apa-apanya. Orang tua yang punya, bersekolah di
universitas bergengsi, banyak medali, pentolan di banyak organisasi, punya
banyak teman”
“Lalu?”
“Bada saja denganku. Tidak punya apa-apa, orang tua yang
tidak peduli, sama sekali tidak ikut organisasi, tidak memiliki banyak teman.
Kau tahu, semacam tidak dapat membanggakan suatu apapun yang ada pada diriku.”
“Oh.”
“Mengapa selalu singkat?”
“Oh.”
“Mengapa selalu singkat?”
“Kau lebih paham jawabannya dari pada aku. Mengapa harus
bertanya?”
“Aku tidak mengerti.”
“Sekarang jawablah. Mengapa kau tidak bersyukur dengan hidup yang kau miliki?”
“Sekarang jawablah. Mengapa kau tidak bersyukur dengan hidup yang kau miliki?”
“Aku? Aku sangat bersyukur.”
“Lantas mengapa membandingkan dengan hidup mereka?”
“Lantas mengapa membandingkan dengan hidup mereka?”
Sebelum aku dapat menjawab, ia membanjiriku dengan kata-kata, PEDAS
“Kau memiliki aku yang selalu menemanimu dalam keadaan
apapun. Pertemuan kita karena bersekolah di Universitas yang sama. Kau harus
menghidupi dirimu sendiri, sementara mereka memiliki akses pada fasilitas yang
tanpa batas. Mengapa menggerutu pada tetapan?”
Kelu. Seakan lidah ini terkunci untuk mengomentari. Atau
mungkin tidak berani menanggapi. Pada perjalanan selanjutnya aku membisu. Masih
berpikir. Kalimatnya memiliki titik lemah yang aku tidak mengerti apa, tetapi
ada. Namun ia lebih benar dari pada gerutuku.
Rememorial.
Mengenang saat aku berlari lima ratus meter setiap sore agar mendapat bus yang
paling awal. Delapan tahun silam. Yang delapan tahun kemudian mengubah kita
menjadi apa diri kita sekarang. Lalu kembali pada waktu silam. Tak hentinya air
mataku berleleran. Deras membanjiri pipiku. Memandang kelas yang dulu aku duduk
di salah satu kursinya, pintu yang engselnya pernah ku buka. Aku tidak rindu
untuk kembali, aku ingin mengulangi. Namun mendadak aku diingatkan padamu yang
berkelas tepat di atasku. Kita, yang sama-sama tidak punya, sekarang pun juga
tidak memiliki apa-apa. Teman kecil yang bernasib sama di tempat yang dipuji
segala rupa. Terkungkung, tidak dapat kembali ataupun pergi. Hanya pasrah
melewati sampai waktu berbaik hati mengeluarkan kami dari tempat ini. Teman
kecil, yang lama terpisah ruang. Tak ada sapa melalui pesan singkat, tak ada
dering yang ponselku berkedip bertulis namamu, tak ada canda di jejaring
sosial. Terputus, sampai hari kami kembali, bertemu. Aku ingin menangis
bersamanya, di tempat ini. Mengenang derita terkutuk yang menyelubungi kami
sejak pertama kali datang, ke tempat ini.
Seketika aku dibangunkan..
Arti bukan berarti aku banyak memiliki..
Bukan pula berbuai sanjungan dan senyum manis ucapan terima
kasih dari yang terkasih..
Arti adalah kau mengerjakan dengan tulus hati, ringan
berbagi, bertindak kini, antisipasi, dan menyayangi tanpa henti.
Tanah menggunduk karena ia berformasi padu. Dapat membunuh,
dapat menumbuhkan, dapat kau tapak sebagai alas jalan, dapat diubah bentuk
sebagai kerajinan. Ia tidak melakukan kerja apapun jika hanya sebutir. Tidak
nampak, tidak kau takuti, tidak memberimu manfaat. Namun ia tetaplah ada
sebagai sebutir tanah. Begitu pula kemampuan kita. Meski tidak dapat
berkontribusi, tidak ada pemuji, namun ia tetaplah suatu kemampuan. Syukuri,
dan kembangkan.
Berjuanglah, Ia Maha Tangguh, mencintai pejuang taguh yang
sulit runtuh.
0 komentar:
Posting Komentar