Tertinggal..
jauh dibelakang.. sampai-sampai tidak ada yang kelihatan, kecuali tubuhmu yang
tinggi menjulang, berkilo meter jaraknya dariku.
Ini tulisan terketik karena ingin menulis tapi tidak
tahu apa yang ingin ditulis. Ternyata improvisasi “tulis sajalah” lebih susah
dari pada mempraktekkan. Ya, bukan
perkara mudah menjadi seseorang yang
punya sesuatu untuk dipamerkan. Namun mendamba menjadi sesorang, atau paling tidak mendamba seseorang bukan hal memalukan. Perlakuan pertama jika kau adalah
seorang yang prestatif, perlakuan kedua adalah kau yang imajinatif.
Mari sejenak menarik tempat ke gedung F. Ia lewat
dengan keangkuhan yang biasanya. Keangkuhan yang diam-diam aku merindukan jadi
milikku juga. Pikiranku menyatakan, aku ingin mengikuti langkahnya. Sayang,
kami dipisahkan oleh keterampilan yang masing-masing berbeda bidang.
Lalu, sepanjang perjalanan pulang aku diingatkan pada
bayang seorang teman yang menawan. Pemilik segala hal yang banyak diincar
setiap insan. Aku masih ingat acara mampir ke rumahnya yang bak istana terik
itu, lebih lima tahun lalu, saat kami masih berputih biru. Menaiki bus kota
lalu jalan kaki begitu jauhnya, melewati makam, jalan raya, pembuangan sampah.
Namun celoteh masih saja merekah dalam kekeh kami yang remeh temeh. Setiba di
rumahmu, rumah besar yang masih ku pertanyakan dimana batasnya hingga kini.
Rumah besar yang terik itu orang tuamu sedang bepergian karena dikejar uang.
Menengok seisi rumah, mengagumi perabotan, desain, dan barang-barang mahalmu.
Dan satu hal yang barusan mengingatkanku pada rumahmu. Dapur. Kita menggoreng bakso di dapur yang kala itu aku tidak tahu
apa guna masing-masing benda. Terkagum-kagum, atau mungkin keheranan. Menanyai
aku pada lamunku sendiri, kapan aku
memiliki apa yang kamu miliki kini?
Menyeretnya lebih jauh lagi, masih masa putih biru.
Pada mereka yang kita suka mengusuli, melapor pada guru mengenai kenakalan yang
menurut kita, mereka pelopori. Dan aku sejenak melamun pada masa itu. Putih
biru. Mula seorang anak meremaja. Betapa aku menyiakan masa itu sedemikian
hebat sampai tidak sadar betapa aku terlambat. Mereka, kau, yang sedang ku
damba dapat menyetaraimu, kau berbakat, dan mengubahmu menjadi orang hebat pula
bermartabat. Sementara kau, yang dapurmu masih menjadi tanya dalam benakku,
diam-diam, lebih berkembang dari apa yang dapat ku perkirakan. Lalu, hanya
akukah yang masih stagnan di belakang? Sejak dulu masih mengenakan putih biru,
hingga kini semua warna adalah pilihan baju yang nyaman untukmu.
Itulah alasanku, mengapa mendamba wanita yang
melewatiku di depan gedung F siang tadi. Wanita yang ingin ku curi rahasia
cerdasnya, menyegarkan udaraku saat hampa, meniup angin kencang saat ku jatuh
perlahan, mengalihkan perhatian saat mataku mulai terserang lumpuh.
Ya, aku mencintaimu
meski kau tidak pernah tahu.
0 komentar:
Posting Komentar