Romantisme Gd F

on Jumat, 01 Februari 2013
Tertinggal.. jauh dibelakang.. sampai-sampai tidak ada yang kelihatan, kecuali tubuhmu yang tinggi menjulang, berkilo meter jaraknya dariku.

Ini tulisan terketik karena ingin menulis tapi tidak tahu apa yang ingin ditulis. Ternyata improvisasi “tulis sajalah” lebih susah dari pada mempraktekkan. Ya, bukan perkara mudah menjadi seseorang yang punya sesuatu untuk dipamerkan. Namun mendamba menjadi sesorang, atau paling tidak mendamba seseorang bukan hal memalukan. Perlakuan pertama jika kau adalah seorang yang prestatif, perlakuan kedua adalah kau yang imajinatif.

Mari sejenak menarik tempat ke gedung F. Ia lewat dengan keangkuhan yang biasanya. Keangkuhan yang diam-diam aku merindukan jadi milikku juga. Pikiranku menyatakan, aku ingin mengikuti langkahnya. Sayang, kami dipisahkan oleh keterampilan yang masing-masing berbeda bidang.
Lalu, sepanjang perjalanan pulang aku diingatkan pada bayang seorang teman yang menawan. Pemilik segala hal yang banyak diincar setiap insan. Aku masih ingat acara mampir ke rumahnya yang bak istana terik itu, lebih lima tahun lalu, saat kami masih berputih biru. Menaiki bus kota lalu jalan kaki begitu jauhnya, melewati makam, jalan raya, pembuangan sampah. Namun celoteh masih saja merekah dalam kekeh kami yang remeh temeh. Setiba di rumahmu, rumah besar yang masih ku pertanyakan dimana batasnya hingga kini. Rumah besar yang terik itu orang tuamu sedang bepergian karena dikejar uang. Menengok seisi rumah, mengagumi perabotan, desain, dan barang-barang mahalmu. Dan satu hal yang barusan mengingatkanku pada rumahmu. Dapur. Kita menggoreng bakso di dapur yang kala itu aku tidak tahu apa guna masing-masing benda. Terkagum-kagum, atau mungkin keheranan. Menanyai aku pada lamunku sendiri, kapan aku memiliki apa yang kamu miliki kini?
Menyeretnya lebih jauh lagi, masih masa putih biru. Pada mereka yang kita suka mengusuli, melapor pada guru mengenai kenakalan yang menurut kita, mereka pelopori. Dan aku sejenak melamun pada masa itu. Putih biru. Mula seorang anak meremaja. Betapa aku menyiakan masa itu sedemikian hebat sampai tidak sadar betapa aku terlambat. Mereka, kau, yang sedang ku damba dapat menyetaraimu, kau berbakat, dan mengubahmu menjadi orang hebat pula bermartabat. Sementara kau, yang dapurmu masih menjadi tanya dalam benakku, diam-diam, lebih berkembang dari apa yang dapat ku perkirakan. Lalu, hanya akukah yang masih stagnan di belakang? Sejak dulu masih mengenakan putih biru, hingga kini semua warna adalah pilihan baju yang nyaman untukmu.

Itulah alasanku, mengapa mendamba wanita yang melewatiku di depan gedung F siang tadi. Wanita yang ingin ku curi rahasia cerdasnya, menyegarkan udaraku saat hampa, meniup angin kencang saat ku jatuh perlahan, mengalihkan perhatian saat mataku mulai terserang lumpuh.
Ya, aku mencintaimu meski kau tidak pernah tahu.


0 komentar:

Posting Komentar