siluet putri peri

on Sabtu, 02 Februari 2013
Menulis tentang ketertinggalanku agaknya bosan kurasa. Bagaimana dengan beralih pada sekelumit hidup milik anak kecil?

“Ayo bersepeda, lip”

“Ayo. Bersepeda kemana?”

“Kemana pun lah. Tapi tunggu aku menghabiskan siomayku”

“Kata Ibuku siomaynya dimakan nanti kalau sudah dingin”

“Punyaku sudah dingin”

“Aku nanti sajalah”

“Ayo, siomayku sudah habis”

Percakapan pun berhenti. Berakhir mungkin kata yang lebih mewakili tepatnya. Betapa aku haru menguping dengar obrolan nyaman mereka. Melarikanku pada bayang bocah bersepeda mungil biru. Melintas desa dengan rambut sebahu yang rapi diikat pita kupu. Dia, aku. Masa kecil yang tidak pernah tahu seperti apa aku nanti dewasa. Tidak pernah terbesit untuk membangkang pada ibu. Tidak pula merengek minta dibelikan barang mahal pada ayah yang menguras saku.

Dan kini sudah berlalu masa ceria anak kecil itu. Aku cukup meremehkan ternyata. Meski masih kecil, hati mereka sudah mampu beradaptasi dengan berbagai peristiwa serta tahu apa nama sebuah rasa. Sepertiku dulu, kadang aku takut tapi tidak kalut. Jarang menuntut bebas, meski rasanya kebas. Mengapa dramatisir rasa itu mulai pintar memainkan perannya setelah aku dewasa? Mengapa tidak belajar dari masa kecil yang peduli rasa, namun lupa mengingat seperti apa derita.

Anak kecil itu hebat. Tetap memesona meski merana. Tetap menatap meski tidak ada yang terlihat. Tetap mendaki meski tersandung berkali. Entah itu tindakan bodoh atau cerobah. Namun ternyata ampuh untuk menangkal perasaan yang diri ini tidak butuh.

Aku bercita menjelajah angkasa jika nanti dewasa. Namun seiring kematangan berpikir, aku tahu itu mustahil. Ah, andai nekat saja melawan rasa takut yang lewat akut. Mungkin detik ini aku sedang berjabat tangan dengan mereka di luar dunia kita.

Meski masih kecil, hati mereka sudah mampu beradaptasi dengan berbagai peristiwa serta tahu apa nama sebuah rasa

0 komentar:

Posting Komentar