Menulis tentang
ketertinggalanku agaknya bosan kurasa. Bagaimana dengan beralih pada sekelumit
hidup milik anak kecil?
“Ayo bersepeda, lip”
“Ayo. Bersepeda kemana?”
“Ayo. Bersepeda kemana?”
“Kemana pun lah. Tapi
tunggu aku menghabiskan siomayku”
“Kata Ibuku siomaynya dimakan nanti kalau sudah dingin”
“Kata Ibuku siomaynya dimakan nanti kalau sudah dingin”
“Punyaku sudah dingin”
“Aku nanti sajalah”
“Ayo, siomayku sudah habis”
“Ayo, siomayku sudah habis”
Percakapan pun
berhenti. Berakhir mungkin kata yang lebih mewakili tepatnya. Betapa aku haru
menguping dengar obrolan nyaman mereka. Melarikanku pada bayang bocah bersepeda
mungil biru. Melintas desa dengan rambut sebahu yang rapi diikat pita kupu. Dia,
aku. Masa kecil yang tidak pernah tahu seperti apa aku nanti dewasa. Tidak pernah
terbesit untuk membangkang pada ibu. Tidak pula merengek minta dibelikan barang
mahal pada ayah yang menguras saku.
Dan kini sudah
berlalu masa ceria anak kecil itu. Aku cukup meremehkan ternyata. Meski masih
kecil, hati mereka sudah mampu beradaptasi dengan berbagai peristiwa serta tahu
apa nama sebuah rasa. Sepertiku dulu, kadang aku takut tapi tidak kalut. Jarang
menuntut bebas, meski rasanya kebas. Mengapa dramatisir rasa itu mulai pintar
memainkan perannya setelah aku dewasa? Mengapa tidak belajar dari masa kecil
yang peduli rasa, namun lupa mengingat seperti apa derita.
Anak kecil itu hebat.
Tetap memesona meski merana. Tetap menatap meski tidak ada yang terlihat. Tetap
mendaki meski tersandung berkali. Entah itu tindakan bodoh atau cerobah. Namun ternyata
ampuh untuk menangkal perasaan yang diri ini tidak butuh.
Aku bercita
menjelajah angkasa jika nanti dewasa. Namun seiring kematangan berpikir, aku
tahu itu mustahil. Ah, andai nekat saja melawan rasa takut yang lewat akut. Mungkin
detik ini aku sedang berjabat tangan dengan mereka di luar dunia kita.
Meski masih
kecil, hati mereka sudah mampu beradaptasi dengan berbagai peristiwa serta tahu
apa nama sebuah rasa
0 komentar:
Posting Komentar