Khayalan Pagi

on Sabtu, 23 Februari 2013


Ia terbangun dengan wajah nampak murung. Menuruni anak tangga dengan seret kaki berderek.

“Pagi, Ibu.”

Mataku mengernyit, kening menyipit, “Ada apa, Sayang?”

“Aku lapar. Adakah makanan?” Ia bergegas pergi.

“Mengapa masih pura-pura?”

“Pura-pura? Aku hanya berusaha.”

Aku masih menghitung detik, mempertimbangkan menghampirinya.

“Kamu adalah pejuang anakku. Lebih kuat dari dugaku. Tapi aku disini jika kau butuh teman menumpah lelah aksi tangguhmu. Ingatlah, aku tidak akan membiarkanmu sendiri.”

Menghambur ke arahku, bulir tangis pilu membanjiri wajah kami yang sendu.

“Ibu, Ibu dia pergi. Saat aku begitu mengharapnya menemani, saat langkahku berdentum keras menghantam deduri lalu terhenti. Apapun silahkan terjadi, tapi mengapa harus ini?”

“Kau beruntung.”

“Ibu kau tidak tahu.”

“Hanya dia yang pergi. Dulu aku tidak punya siapa-siapa untuk menemani, kecuali sesapan teh melati di setiap saga yang selalu mati karena kerinduan pada esok untuknya mengucap selamat pagi. Tidak ada Ibu yang merangkulku penuh syahdu ketika tubuh mungilku terdampar pada pelik urusan. Namun aku meyakini, meski tidak memiliki jilbab-jilbab berkibar lebar, bahwa Dia tak pernah luput mengasihi. Tanpa sesiapa, aku beranjak meremaja. Badai-badai menemukan jati diri hampir mengoyakku dalam pusarannya. Namun aku selalu berpikir dari pembelajaran yang diajarkan keadaan. Belajar sendiri dengan caraku memahami. Sampai akhirnya aku dewasa. Memilih jalan dan mengimani bahwa jalan itu terbaik menurut Illahi. Akan tetapi aku sadar, berkali aku ikut berpusar di badai krisis jati diri, namun aku tahu, meski kadang ragu untuk berlalu, itu merupakan suatu yang keliru. Dan aku pun kembali, pada guru yang tak pernah mengacangiku sendiri, keadaan. Belajar, menganalisa, menyimpulkan, sampai tercipta wacana relevan bahwa aku harus berlari. Mengejar asa yang lama kuasingkan. Banyak ketertinggalan, kegagalan, rendah diri, frustasi, namun aku tidak lagi sendiri.

Senyum kami mengembang.

“Dia kembali?”

“Bukan, bukan dia.”

“Lantas, siapa?”

“Ayahmu.” Aku menjawabnya dengan nada malu-malu.

“Bagaimana?”

“Apa?”

“Bagaimana ia begitu berpengaruhnya?”

“Meski tujuan kami tak pernah sama, aku tidak menjadikan penghalang untuk tetap bersanding. Ia, tanpa banyak berkata, aku dapat melihat aura motivasi yang begitu menginspirasi.”

“Apa itu, Ibu?”

“Kemauan menerima tetapan, yang kita sebut syukur. Pada hakikatnya begitu sulit, namun ayahmu menerapkan tanpa kesulitan.”

Senyumnya kembali bak tentara.

Kau tahu, masaku tak akan ku ulang padamu, putriku.
Ingatkan aku pabila terlalu banyak bicara, namun lupa menghargai cerita.
Cela aku ketika antusias mendengarkan orang lain, sayang alpa menemukanmu yang menerangi cahaya dengan lilin.
Aku ingin kau tumbuh dalam dekapan keluarga harmonis, ada pelukku yang siaga menopang ambrukku saat beban menggelayut berat di pundak.

0 komentar:

Posting Komentar