Memaknai pemahaman

on Sabtu, 23 Februari 2013


Aku menatap dari kaca. Seakan tanpa nyata, nampak seyogyanya. Masih, tentang lalu lalang, tidak ada yang pedulikan. Dari sela lalu lalang, aku ada, mengamati dengan tanya namun tertahan pada diam.

Mungkin dalam jejaring sosial, mereka akan menuliskan beragam. Namun tidak untukku yang lebih suka membeku tenggelam pada pikirku yang berusaha baku. Seperti yang kau tahu, otakku mengalami gangguan dengan kebisingan. Semoga sebentar lagi bertemu dengan jawaban, dari tunggu yang hanya aku sendirian di tengah lalu lalang.
Dan mengenai memilih teman, mungkin aku sudah punya jawaban, memahami alasan, dan tidak lagi menyalahkan mengapa aku tak pernah hengkang dari kebisuan. Lebih baik tidak usah menawarkan, daripada mendapat penolakan. Ya, jujur aku sakit hati, barangkali ia begitu peka akan bahasa hati. 

Lagi, mengenai superioritas. Entah, selalu ku terbayang, jika nanti jadi orang besar, masihkah ada reremehan?

Seharusnya aku berkaca pada kisah perjalanan, bukan kemegahan. Seorang bapak mengatuh becak mengantar anaknya sekolah, pria tua dan dorongan serta cucunya yang masih balita, loper koran yang berusaha memberi banyak pemahaman.

Ya, akhirnya aku menulis, meski acak-acakan dan terganggu kebisingan. Terima kasih, Engkau yang memberiku kesempatan menulis..


Jumat, 22-02-2012. Depan ruang dosen BKK Akuntansi Gd B.

0 komentar:

Posting Komentar