Mungkin ia
tidak benar-benar lupa.
Menguburnya dalam,
diam-diam mengenang disela kerinduan.
Betapa ku tega
memutuskan hubungan demi kesenangan kampungan, keegoisan murahan.
Bukankah aku
paham, sayang tanpa mata yang saling bertatap, atau tangan saling berjabat
merupakan sesak terpendam yang melelahkan?
Bukankah dulu aku
mengikat kuat pada ingatan untuk tidak
memisahkan?
Bukankah aku
merana karena cinta yang berkembang hanya berlatar angan?
Rindu yang
membara hanya bayang cahaya?
Barangkali aku
hanya tidak mengerti,
Suka cita
menjadi hanya yang disawur bebunga
Meski aku memahami
betapa lemasnya tubuh saat jiwa yang kau butuh tak pernah menoleh padamu yang
masih berlabuh.
Berlabuh untuk
menanti ia yang menjadi damba dalam setiap doa.
“Karena, aku
cemburu. Begitu semburu.”
“Aku hanya
menyayangimu.”
“Kau bohong!”
“Terserah!”
“Baik. Aku tahu
kau menyayangiku. Namun sesisih hatimu, meski secuil, atau bagian kecil dari
cuilan itu masih mereka.”
“Tapi aku hanya
menyayangimu.”
“Itu tidak
cukup.”
“Apa maumu?”
“Aku, aku.. Aku
tidak tahu. Terlalu kekanakan untukku memintanya.”
Keheningan menutup
pembicaraan kami berdua. Aku mendengarnyua tesedan. Sontak, kutelan ludah yang
sedari tadi terkulum bungkam.
“Aku
menyayangimu, hanya menyayangimu. Segala macam pinta yang dapat kukerjakan akan
aku laksankan. Katakan, aku milikmu. Hanya kau yang berhak atas diriku.”
Serasa waktu
yang lekang, mengekang untuk gamang. Namun pilihan sudak kutetapkan di tangan,
entah kesepakatan dibuat untuk bersiap melanggar atau memang menguatkan saat
langkah dirasa menyeret berton beban.
Aku mencintaimu..
Takut,
sangat takut..
Jika kau
menolak beranjak sementara aku bersikukuh pergi.
Jika aku
menggelora bercerita sedang kau menghindar dari bicara.
Jika kita
melepas lingkaran kelingking karena hati tak lagi sudi bersanding.
Rabu, 06-02-2013. My room,
09:44pm
0 komentar:
Posting Komentar