Pilihan Buram

on Jumat, 08 Februari 2013
Mungkin ia tidak benar-benar lupa.
Menguburnya dalam, diam-diam mengenang disela kerinduan.
Betapa ku tega memutuskan hubungan demi kesenangan kampungan, keegoisan murahan.
Bukankah aku paham, sayang tanpa mata yang saling bertatap, atau tangan saling berjabat merupakan sesak terpendam yang melelahkan?
Bukankah dulu aku mengikat kuat pada  ingatan untuk tidak memisahkan?
Bukankah aku merana karena cinta yang berkembang hanya berlatar angan?
Rindu yang membara hanya bayang cahaya?
Barangkali aku hanya tidak mengerti,
Suka cita menjadi hanya yang disawur bebunga
Meski aku memahami betapa lemasnya tubuh saat jiwa yang kau butuh tak pernah menoleh padamu yang masih berlabuh.
Berlabuh untuk menanti ia yang menjadi damba dalam setiap doa.

“Karena, aku cemburu. Begitu semburu.”
“Aku hanya menyayangimu.”
“Kau bohong!”
“Terserah!”
“Baik. Aku tahu kau menyayangiku. Namun sesisih hatimu, meski secuil, atau bagian kecil dari cuilan itu masih mereka.”
“Tapi aku hanya menyayangimu.”
“Itu tidak cukup.”
“Apa maumu?”
“Aku, aku.. Aku tidak tahu. Terlalu kekanakan untukku memintanya.”

Keheningan menutup pembicaraan kami berdua. Aku mendengarnyua tesedan. Sontak, kutelan ludah yang sedari tadi terkulum bungkam.

“Aku menyayangimu, hanya menyayangimu. Segala macam pinta yang dapat kukerjakan akan aku laksankan. Katakan, aku milikmu. Hanya kau yang berhak atas diriku.”
Serasa waktu yang lekang, mengekang untuk gamang. Namun pilihan sudak kutetapkan di tangan, entah kesepakatan dibuat untuk bersiap melanggar atau memang menguatkan saat langkah dirasa menyeret berton beban.
                                               
Aku mencintaimu..
Takut, sangat takut..
Jika kau menolak beranjak sementara aku bersikukuh pergi.
Jika aku menggelora bercerita sedang kau menghindar dari bicara.
Jika kita melepas lingkaran kelingking karena hati tak lagi sudi bersanding.

Rabu, 06-02-2013. My room, 09:44pm

0 komentar:

Posting Komentar