MAKALAH
POLA
PENGEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI
DALAM
PEMBANGUNAN EKONOMI
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Pembangunan
Pengampu
: Prof. Dr. Soetarno Joyoatmojo, M.Pd
Disusun oleh:
Kelompok
1
1. Margaretha
Puspita A K7411093
2. Nia
Vita Kusuma Haji K7411108
3. Noor
Anisa Listyana K7411110
4. Nur
Rahmi Akbarini K7411115
5. Rina
Valia K7411131
PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2012
POLA
PENGEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI
DALAM
PEMBANGUNAN EKONOMI
A.
PERDAGANGAN
SEBAGAI MESIN PERTUMBUHAN EKONOMI
Tujuan
perdagangan antar negara yaitu memperoleh manfaat ekonomi yang lebih tinggi
bagi masing-masing negara. Dengan adanya perdagangan memungkinkan adanya
perluasan alternatif atau pilihan barang yang akan dikonsumsi atau diproduksi
suatu negara. Perdagangan juga memungkinkan berkembangnya inovasi teknologi
baru.
Efisiensi
produksi tertinggi dicapai apabila suatu negara dapat memanfaatkan sumberdaya
yang dimiliki untuk memproduksi barang yang memiliki permintaan terbanyak di
pasar dunia. Terdapat pula spesialisasi produksi karena sumberdaya
masing-masing negara terspesialisasi pula. Namun hal tersebut tidak selalu
menguntungkan apabila dikaitkan dengan keuntungan relatif.
Terms of trade atau dasar
pertukaran yang semakin tidak menguntungkanbagi negara pengekspor barang
primer, mendorong negara tersebut mengadakan perkembangan di sektor industri.
Perkembangan di sektor industri ini dirasa pula dapat mengatasi masalah
keterbelakangan ekonomi suatu negara. Bagi negara berkembang seperti Indonesia,
pengembangan sektor industri dapat mengurangi impor dan menghemat devisa.
Industri semacam ini disebut industri subtitusi impor. Pilihan pengembangan
sektor industri ini disebabkan oleh dorongan untuk menambah surplus Neraca
Pembayaran sebesar-sebesarnya untuk menambah akumulsi kapital. Industri yang
paling efisien adalah apabila industri tersebut berskala besar, dan hanya dapat
dicapai apabila ada jaminan pasar yang luas. Dengan begitu perdagangan
internasional adalah syarat bagi terlaksananya pengembangan sektor industri.
Sehingga industri yang telah berkembang nantinya menghasilkan surplus yang
dapat dimanfaatkan untuk pengembangan industri jenis lain.
Dapat
disimpulkan bahwa kunci pembangunan ekonomi adalah investasi kapital yang dapat
diciptakan melalui surplus yang besar. Surplus diperoleh apabila negara
bersangkutan memiliki keuntungan dari perdangan. Peluang keuntungan mungkin
dicapai apabila negara bersangkutan menganut kebijakan perekonomian terbuka dan
mempu mengekspor barang yang punya dasar tukar terbaik, biasanya berupa barang
industri. (Irawan, Suparmoko: 2008, 349-351)
Proses
industrialisasi dan pembangunan industri sebenarnya merupakan satu lajur
kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti tingkat hidup yang
lebih maju mapun taraf hidup yang lebih bermutu. Dengan kata lain, pembangunan
industri merupakan suatu fungsi dari tujuan pokok kesejahteraan rakyat bukan
kegiatan yang mandiri hanya untuk sekedar mencapai visi saja.
Industrialisasi
tidak terlepas dari usaha untuk meningkatkan sumber daya manusia dan
kemampuannya memanfaatkan secara optimal sumber daya alam dan sumber daya
lainnya. Sektor industri mempunyai peranan sebagai sektor pemimpin (leading
sector), maksudnya adalah adanya pembangunan industri akan memacu dan
mengangkat pembangunan sektor lain. Peranan industri ditinjau dari aspek
kesempatan kerja dapat dilihat dari bagian presentase angkatan kerja yang ada
dalam sektor industri. (Arsyad: 1999, 353-355)
B.
POLA
EKSPOR (OUTWORD LOOKING)
Negara-negara
yang kaya sumber daya alam seperti AS dan Jerman Barat lebih banyak menggunakan
pola pengembangan pasar dalam negeri(inward
looking strategy), sedangkan negara miskin sumberdaya alam seperti Jepang,
Singapore, Hongkong menganut pola pengembangan pasar luar negeri (outward looking strategy). Keduanya
berhasil menopang perkembangan produksi yang selanjutnya menyerap tenaga kerja
dan meningkatkan pendapatan nasional. Pada umumnya Negara yang menggunakan
strategi pengembangan pasar dalam negeri mengundang perusahaan multi nasional
untuk mengembangkan industri dinegara
mereka.
Fase-fase
export led strategy adalah sebagai
berikut:
1. Fase penerimaan pesanan.
2. Fase permulaan mendorong kegiatan ekspor.
3. Fase penciptaan kapabilitas sendiri
4. Fase pemasaran kapasitas.
5. Fase pembentukan fasilitas produksi di Negara
lain.
Pola Pengembangan Sektor Industri
Negara
Kaya Sumber Daya Alam
|
Income
and Employment
|
Produksi
Dalam Negeri
|
Pasar
Luar Negeri (Campur Tangan Pemerintah)
|
Pasar Dalam Negeri (Pasar Bebas)
|
Negara
Kaya Sumber Daya Alam
|
1)
Fase
Menerima Pesanan
Disini
barang industri berdasarkan pesanan. Inisiatif produk ini berupa macam dan
spesifikasi produk yang dihasilkan dating dari konsumen atau pedagang perantara
yang menghubungkan pesanan dan pabrikan, dan pengusaha atau pabrikan itu hanya
mengikuti kehendak pemesannya. Contoh: Industri perkulitan, kulit ini yang
masih berupa “gloves, pickle, dan wet
blue” diekspor ke Amerika dan Pakistan berdasarkan pesanan.
Pengolahan
lebih lanjut seperti “crust” harus
diolah ke luarnegeri berdasarkan pesanan luar negeri. Keadaan ini ada yang
berlaku pula di dalam negeri seperti pesanan sepatu kulit dan ikatpinggang
untuk ABRI.
Dalam
fase ini kreativitas produsen masih terbatas oleh tingkat keahlian dan modal.
Produsen masih pasif perannanya dan masih bersifat menjual kemampuan
berproduksi, sedangkan jumlah produksi, desain, spesifikasi produk masih
ditentukan oleh pemesan.(Irawan, Suparmoko: 2008, 351-354)
2)
Fase
Permulaan Mendorong Kegiatan Ekspor
Karena
pengalaman dalam fase pertama, maka kemampuan dan keahlian para pabrikan
menjadi lebih baik, ini semua memungkinkan para pabrikanuntuk meningkatkan
kapabilitas dalam membuat desain sendiri dengan cara meniru produk yang
dihasilkan oleh pabrikan lain atau produsen luar negeri. Dalam fase ini,
pabrikan tidak lagi pasif menunggu pesanan tetapi ia aktif mengadakan riset dan
pengembangan untuk motif-motif yang cocok atau disukai pasaran. Dengan kata
lain, pabrikan tidak lagi mendasarkan produksinya pada pemesanan tetapi aktif
mencari pasar. Hal ini akan memaksakan mereka agar lebih efisien sehingga dapat
menjual barang secara lebih murah. Namun, dalam kasus ini perubahan televisi
yang tidak memiliki induk semang dirasakan adanya saingan yang berat dari
perusahaan-perusahaan sejenis yang memiliki induk semang di luar negeri. Pada
saat ini di Indonesia terdapat perusahaan yang memproduksi televisi. Namun dari
cara memproduksinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1.
industri
televisi yang memiliki induk semang di luar negeri, sehingga produksi di dalam
negeri hanya merupakan asembling 100%, dan
2.
industri
televisi yang telah menjalankan “rasionalisasi” , dalam arti berusaha terlepas
dari pengaruh perusahaan multinasional di luar negeri dan berusaha mengembangkan
desain sesuai dengan kebutuhan pasar dalam negeri. Perusahaan jenis ini sangat
langka di Indonesia.
Sebagian
besar perusahaan televisi di Indonesia memilih untuk memiliki induk semang
perusahaan multinasional di luar negeri karena lebih banyak tenaga ahli
sehingga biaya “research and development” juga tinggi. Akan tetapi, bagi
perusahaan yang merupakan perusahaan assembling saja, biaya R& D ini tidak
perlu ada. Dengan demikian perusahaan assembling akan jauh lebih efisien dari
perusahaan dalam negeri yang melakukan “rasional”. Kesulitan lain dari
perusahaan “rasional” adalah dari segi faktor produksi sehingga perusahaan
dalam negeri harus memiliki “multisources” dalam hal pembelian faktor produksi
agar dapat mengurangi risiko ketergantungan pada satu perusahaan supplier.
Dari
segi desain, perusahaan yang melakukan “rasionalisasi” akan lebih berkemampuan
untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri dibandingkan perusahaan
assembling, selama dana R & D masih tersedia. Akan tetapi kerugian yang dihadapi
perusahaan ini adalah mengenai ongkos pembuatan “mould” untuk suatu desain baru
hasil “inovasi” mereka. Bagi perusahaan assembling tidak perlu membuat “mould”
sendiri, karena semuanya telah disediakan oleh perusahaan induk.
Dengan
demikian, nampaknya masih belum banyak peraturan yang dapat menguntungkan
perusahaan yang melakukan rasionalisasi, disbanding perusahaan assembling.
Sehingga ada tendensi perusahaan yang melakukan “rasionalisasi” terancam
kebangkrutan, karena tidak mampu bersaing dengan pasar assembling dalam negeri
sekalipun. Apabila hal ini benar-benar terjadi, maka industri televisi di
Indonesia akan sangat sulit berkembang menjadi komoditi ekpor. Alih teknologi
juga tidak akan bisa terlaksana.(Irawan,
Suparmoko: 2008, 354-357)
3)
Fase
Penciptaan Kapabilitas Sendiri
Perusahaan-perusahaan
pada fase ini telah benar-benar mengenal cara pembuatan yang baik samapi dengan
pengepakan, pembuatan label, dan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin
mutu hasil produksi. Selain itu perusahaan benar-benar membutuhkan keahlian,
tidak hanya dalam hal desain, tetapi juga dalam hal pengawasan terhadap
rangkaian produk.
Fase
ketiga merupakan fase perubahan fokus dari penjualan menurut kapasitas produksi
menjadi penciptaan produk atau rangkaian produk yang secara aktif harus
dipasarkan ke pasar dalam negeri. Perusahaan akan mampu bersaing dengan cara
menciptakan produk-produk berkualitas tinggi dan dengan desain yang disenangi
konsumen.(Irawan, Suparmoko: 2008, 357-358)
4)
Fase
Pemasaran Produk
Dalam
fase ini para pabrikan akan berusaha menghasilkan produk atau rangkaian produk
sendiri, seperti menciptakan desain sendiri, bertanggungjawab atas pengepakan
barang, pemasangan label, dan pengawasan kualitas, kemudian memasarkan
hasil-hasil atau rangkaian hasil tersebut. Para pabrikan tidak lagi memproduksi
barang untuk memenuhi pesanan, tetapi memproduksi untuk persediaan sendiri dan
menjual atas dasar persediaan.
Kegiatan
pada fase ini membutuhkan keahlian produksi, aspek-aspek pembiayaan, pengiriman
barang ke pusat distribusi, penyediaan bahan-bahan mentah untuk jangka waktu
tertentu, serta keahlian pemasaran.(Irawan,
Suparmoko: 2008, 359)
5)
Fase
Pembentukan Fasilitas Produksi di Daerah Lain atau Negara Lain
Dalam
fase ini pabrikan telah membuka cabang-cabangnya di daerah lain. Perusahaan
sudah langsung memperkenalkan produknya kepada konsumen. (Irawan,
Suparmoko: 2008, 359)
C.
STRATEGI
PASAR DALAM NEGERI
Pada
umumnya negara-negara kaya sumberdaya alam menempuh strategi pengembangan
pasaran dalam negeri sebagai alat untuk mengembangkan ekonomi nasional negara
tersebut.Pengembangan pasaran dalam negeri tidak memerlukan campur tangan
pemerintah,tetapi dicapai dengan sistem persaingan bebas.Pengembangan pasar
dalam negeri tidak mengalami kesulitan,karena negara yang bersangkutan kaya
bahan mentah,sehingga hasil produksi relatif murah harganya.Di pihak lain
industri yang bersangkutan akan mudah berkembang karena akan memiliki
keuntungan dalam bentuk biaya produksi yang relatif murah.Tahap selanjutnya
apabila pasaran dalam negeri sudah tidak mampu menampung produk yang sama maka
produk itu dicarikan pasar di luar negeri atau pasar luar negeri memerlukan
produk dalam negeri sesuai selera pasar
luar negeri.Dengan demikian baik pasar dalam negeri maupun luar negeri menopang
pertumbuhan dan perkembangan industri olahan di dalam negeri.
Untuk
mendorong penduduk agar mau menggunakan produk dalam negeri diperlukan
kemampuan bersaing terhadap barang-barang impor dengan harga yang relatif murah
dan mutu yang lebih baik.Negara-negara sedang berkembang pada umumnya selalu
menghasilkan barang hasil pabrik dengan harga relatif mahal dari pada harga
barang yang diimpor.Hal ini disebabkan karena tingginya biaya produksi.Oleh
karena itu diperlukan adanya perlindungan tata niaga oleh pemerintah agar dapat
bersaing dengan barang-barang impor.
Untuk
barang-barang substitusi impor,perlindungan yang diberikan berupa bea masuk
yang tinggi,kuota atau larangan impor serta jaminan pasar dengan harga yang
ditentukan pemerintah.Hasil usaha dari perlindungan ini berupa harga jual
tinggi dan perekonomian mengalami keadaan dengan harga-harga tinggi.
Harga
mahal disebabkan biaya produksi yang tinggi.Biaya produksi yang tinggi
disebabkan:
1)
Kelemahan
dalam pengelolaan perusahaan sehingga tingkat efisiensi yang optimal tidak
tercapai.
2)
Birokrasi
yang berlebihan.Hal ini berupa prosedur perizinan yang terlalu panjang dan
tidak jelas di samping mendorong timbulnya pungutan-pungutan resmi dan tidak
resmi.
3)
Perlindungan
yang berlebihan dan terus menerus.Membuat harga mahal dan mutu yang kurang
memadai ,sehingga konsumen menjadi korban dan produsen menjadi manja.
Untuk
mengatasi hal di atas dikeluarkan INPRES No.4.1985 sebagai cara mengurangi
birokrasi dimana terdapat penyederhanaan prosedur pengeluaran barang di
pelabuhan,supaya biaya penggundangan lebih murah dan pungutan-pungutan
berkurang.Pemerintah juga menurunkan tarif listrik dan harga beberapa jenis
BBM.
Kita
mengenal apa yang disebut”infant industry
argument”dimana industri-industri yang masih muda harus dilindungi agar
mampu bersaing dengan harga-harga impor.Perlindungan yang diberikan dapat
dipertanggungjawabkan:
1.
Dalam
jangka waktu tetentu industri yang diberi perlindungan akan dapat berdiri
sendiri dan bersaing dengan barang-barang impor.
2.
Perlindungan
yang diberikan jangan terlalu besar,sehingga tidak menimbulkan inefisiensi atau
rasa manja.Perlindungan ini sedikit demi sedikit harus dapat dikurangi dan
bahkan dihapuskan.
Perlindungan akan semakin memperbesar
perekonomian apabila yang dilindungi adalah industri-industri hulu,karena
mereka menghasilkan bahan mentah yang dipakai proses produksi lebih
lanjut.Penunjukkan importir tunggal menyebabkan harga bahan baku menjadi mahal
karena adanya tindakan monopoli oleh importir tunggal.
Sebab-sebab tingginya harga hasil
produksi industri impor adalah:
1.
Skala
produksinya terlalu kecil dibanding dengan skala produksi di negara
industri,karena memang pasaran di dalam negeri masih terbatas dan harus
membatasi resiko.
2.
Investasinya
terlalu mahalkarena harus membayar tidak hanya pabrik dan
perlengkapannya,tetapi juga prasarana seperti listrik, air, perumahan,kesehatan,dan
sebagainya,lebih-lebih ditambah dengan biaya modal berupa bunga modal yang
tinggi.
3.
Biaya
teknologi tinggi.Hal ini karena negara sedang berkembang harus membayar royalti
atas penggunaan teknologi itu.
4.
Biaya
di luar perusahaan seperti birokrasi,BBM,listrik tinggi. (Irawan,
Suparmoko: 2008, 360-363)
DAFTAR PUSTAKA
Irawan,
M.Suparmoko. 2008. Ekonomika Pembangunan.
Edisi Keenam. Yogyakarta: BPFE
Arsyad, Lincolin, 1999. Ekonomi Pembangunan Edisi Keempat. Yogyakarta:
BagianPenerbitanUniversitasGadjahMada
0 komentar:
Posting Komentar