POLA PENGEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI

on Selasa, 05 Februari 2013


MAKALAH
POLA PENGEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI
DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Pembangunan
Pengampu : Prof. Dr. Soetarno Joyoatmojo, M.Pd



Disusun oleh:
Kelompok 1
1.      Margaretha Puspita A          K7411093
2.      Nia Vita Kusuma Haji         K7411108
3.      Noor Anisa Listyana            K7411110
4.      Nur Rahmi Akbarini            K7411115
5.      Rina Valia                            K7411131



PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2012

POLA PENGEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI
DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI


A.      PERDAGANGAN SEBAGAI MESIN PERTUMBUHAN EKONOMI
Tujuan perdagangan antar negara yaitu memperoleh manfaat ekonomi yang lebih tinggi bagi masing-masing negara. Dengan adanya perdagangan memungkinkan adanya perluasan alternatif atau pilihan barang yang akan dikonsumsi atau diproduksi suatu negara. Perdagangan juga memungkinkan berkembangnya inovasi teknologi baru.
Efisiensi produksi tertinggi dicapai apabila suatu negara dapat memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki untuk memproduksi barang yang memiliki permintaan terbanyak di pasar dunia. Terdapat pula spesialisasi produksi karena sumberdaya masing-masing negara terspesialisasi pula. Namun hal tersebut tidak selalu menguntungkan apabila dikaitkan dengan keuntungan relatif.
Terms of trade atau dasar pertukaran yang semakin tidak menguntungkanbagi negara pengekspor barang primer, mendorong negara tersebut mengadakan perkembangan di sektor industri. Perkembangan di sektor industri ini dirasa pula dapat mengatasi masalah keterbelakangan ekonomi suatu negara. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pengembangan sektor industri dapat mengurangi impor dan menghemat devisa. Industri semacam ini disebut industri subtitusi impor. Pilihan pengembangan sektor industri ini disebabkan oleh dorongan untuk menambah surplus Neraca Pembayaran sebesar-sebesarnya untuk menambah akumulsi kapital. Industri yang paling efisien adalah apabila industri tersebut berskala besar, dan hanya dapat dicapai apabila ada jaminan pasar yang luas. Dengan begitu perdagangan internasional adalah syarat bagi terlaksananya pengembangan sektor industri. Sehingga industri yang telah berkembang nantinya menghasilkan surplus yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan industri jenis lain.
Dapat disimpulkan bahwa kunci pembangunan ekonomi adalah investasi kapital yang dapat diciptakan melalui surplus yang besar. Surplus diperoleh apabila negara bersangkutan memiliki keuntungan dari perdangan. Peluang keuntungan mungkin dicapai apabila negara bersangkutan menganut kebijakan perekonomian terbuka dan mempu mengekspor barang yang punya dasar tukar terbaik, biasanya berupa barang industri. (Irawan, Suparmoko: 2008, 349-351)

Proses industrialisasi dan pembangunan industri sebenarnya merupakan satu lajur kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti tingkat hidup yang lebih maju mapun taraf hidup yang lebih bermutu. Dengan kata lain, pembangunan industri merupakan suatu fungsi dari tujuan pokok kesejahteraan rakyat bukan kegiatan yang mandiri hanya untuk sekedar mencapai visi saja.
Industrialisasi tidak terlepas dari usaha untuk meningkatkan sumber daya manusia dan kemampuannya memanfaatkan secara optimal sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Sektor industri mempunyai peranan sebagai sektor pemimpin (leading sector), maksudnya adalah adanya pembangunan industri akan memacu dan mengangkat pembangunan sektor lain. Peranan industri ditinjau dari aspek kesempatan kerja dapat dilihat dari bagian presentase angkatan kerja yang ada dalam sektor industri. (Arsyad: 1999, 353-355)

B.       POLA EKSPOR (OUTWORD LOOKING)
Negara-negara yang kaya sumber daya alam seperti AS dan Jerman Barat lebih banyak menggunakan pola pengembangan pasar dalam negeri(inward looking strategy), sedangkan negara miskin sumberdaya alam seperti Jepang, Singapore, Hongkong menganut pola pengembangan pasar luar negeri (outward looking strategy). Keduanya berhasil menopang perkembangan produksi yang selanjutnya menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan nasional. Pada umumnya Negara yang menggunakan strategi pengembangan pasar dalam negeri mengundang perusahaan multi nasional untuk mengembangkan  industri dinegara mereka.
Fase-fase export led strategy adalah sebagai berikut:
1.  Fase penerimaan pesanan.
2.  Fase permulaan mendorong kegiatan ekspor.
3.  Fase penciptaan kapabilitas sendiri
4.  Fase pemasaran kapasitas.
5.  Fase pembentukan fasilitas produksi di Negara lain.

Pola Pengembangan Sektor Industri
Negara Kaya Sumber Daya Alam
Income and Employment
Produksi Dalam Negeri
Pasar Luar Negeri (Campur Tangan Pemerintah)
Pasar Dalam Negeri (Pasar Bebas)
Negara Kaya Sumber Daya Alam
 












1)        Fase Menerima Pesanan
Disini barang industri berdasarkan pesanan. Inisiatif produk ini berupa macam dan spesifikasi produk yang dihasilkan dating dari konsumen atau pedagang perantara yang menghubungkan pesanan dan pabrikan, dan pengusaha atau pabrikan itu hanya mengikuti kehendak pemesannya. Contoh: Industri perkulitan, kulit ini yang masih berupa “gloves, pickle, dan wet blue” diekspor ke Amerika dan Pakistan berdasarkan pesanan.
Pengolahan lebih lanjut seperti “crust” harus diolah ke luarnegeri berdasarkan pesanan luar negeri. Keadaan ini ada yang berlaku pula di dalam negeri seperti pesanan sepatu kulit dan ikatpinggang untuk ABRI.
Dalam fase ini kreativitas produsen masih terbatas oleh tingkat keahlian dan modal. Produsen masih pasif perannanya dan masih bersifat menjual kemampuan berproduksi, sedangkan jumlah produksi, desain, spesifikasi produk masih ditentukan oleh pemesan.(Irawan, Suparmoko: 2008, 351-354)

2)        Fase Permulaan Mendorong Kegiatan Ekspor
Karena pengalaman dalam fase pertama, maka kemampuan dan keahlian para pabrikan menjadi lebih baik, ini semua memungkinkan para pabrikanuntuk meningkatkan kapabilitas dalam membuat desain sendiri dengan cara meniru produk yang dihasilkan oleh pabrikan lain atau produsen luar negeri. Dalam fase ini, pabrikan tidak lagi pasif menunggu pesanan tetapi ia aktif mengadakan riset dan pengembangan untuk motif-motif yang cocok atau disukai pasaran. Dengan kata lain, pabrikan tidak lagi mendasarkan produksinya pada pemesanan tetapi aktif mencari pasar. Hal ini akan memaksakan mereka agar lebih efisien sehingga dapat menjual barang secara lebih murah. Namun, dalam kasus ini perubahan televisi yang tidak memiliki induk semang dirasakan adanya saingan yang berat dari perusahaan-perusahaan sejenis yang memiliki induk semang di luar negeri. Pada saat ini di Indonesia terdapat perusahaan yang memproduksi televisi. Namun dari cara memproduksinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1.    industri televisi yang memiliki induk semang di luar negeri, sehingga produksi di dalam negeri hanya merupakan asembling 100%, dan
2.    industri televisi yang telah menjalankan “rasionalisasi” , dalam arti berusaha terlepas dari pengaruh perusahaan multinasional di luar negeri dan berusaha mengembangkan desain sesuai dengan kebutuhan pasar dalam negeri. Perusahaan jenis ini sangat langka di Indonesia.

Sebagian besar perusahaan televisi di Indonesia memilih untuk memiliki induk semang perusahaan multinasional di luar negeri karena lebih banyak tenaga ahli sehingga biaya “research and development” juga tinggi. Akan tetapi, bagi perusahaan yang merupakan perusahaan assembling saja, biaya R& D ini tidak perlu ada. Dengan demikian perusahaan assembling akan jauh lebih efisien dari perusahaan dalam negeri yang melakukan “rasional”. Kesulitan lain dari perusahaan “rasional” adalah dari segi faktor produksi sehingga perusahaan dalam negeri harus memiliki “multisources” dalam hal pembelian faktor produksi agar dapat mengurangi risiko ketergantungan pada satu perusahaan supplier.
Dari segi desain, perusahaan yang melakukan “rasionalisasi” akan lebih berkemampuan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri dibandingkan perusahaan assembling, selama dana R & D masih tersedia. Akan tetapi kerugian yang dihadapi perusahaan ini adalah mengenai ongkos pembuatan “mould” untuk suatu desain baru hasil “inovasi” mereka. Bagi perusahaan assembling tidak perlu membuat “mould” sendiri, karena semuanya telah disediakan oleh perusahaan induk.
Dengan demikian, nampaknya masih belum banyak peraturan yang dapat menguntungkan perusahaan yang melakukan rasionalisasi, disbanding perusahaan assembling. Sehingga ada tendensi perusahaan yang melakukan “rasionalisasi” terancam kebangkrutan, karena tidak mampu bersaing dengan pasar assembling dalam negeri sekalipun. Apabila hal ini benar-benar terjadi, maka industri televisi di Indonesia akan sangat sulit berkembang menjadi komoditi ekpor. Alih teknologi juga tidak akan bisa terlaksana.(Irawan, Suparmoko: 2008, 354-357)

3)        Fase Penciptaan Kapabilitas Sendiri
Perusahaan-perusahaan pada fase ini telah benar-benar mengenal cara pembuatan yang baik samapi dengan pengepakan, pembuatan label, dan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin mutu hasil produksi. Selain itu perusahaan benar-benar membutuhkan keahlian, tidak hanya dalam hal desain, tetapi juga dalam hal pengawasan terhadap rangkaian produk.
Fase ketiga merupakan fase perubahan fokus dari penjualan menurut kapasitas produksi menjadi penciptaan produk atau rangkaian produk yang secara aktif harus dipasarkan ke pasar dalam negeri. Perusahaan akan mampu bersaing dengan cara menciptakan produk-produk berkualitas tinggi dan dengan desain yang disenangi konsumen.(Irawan, Suparmoko: 2008, 357-358)

4)        Fase Pemasaran Produk
Dalam fase ini para pabrikan akan berusaha menghasilkan produk atau rangkaian produk sendiri, seperti menciptakan desain sendiri, bertanggungjawab atas pengepakan barang, pemasangan label, dan pengawasan kualitas, kemudian memasarkan hasil-hasil atau rangkaian hasil tersebut. Para pabrikan tidak lagi memproduksi barang untuk memenuhi pesanan, tetapi memproduksi untuk persediaan sendiri dan menjual atas dasar persediaan.
Kegiatan pada fase ini membutuhkan keahlian produksi, aspek-aspek pembiayaan, pengiriman barang ke pusat distribusi, penyediaan bahan-bahan mentah untuk jangka waktu tertentu, serta keahlian pemasaran.(Irawan, Suparmoko: 2008, 359)

5)        Fase Pembentukan Fasilitas Produksi di Daerah Lain atau Negara Lain
Dalam fase ini pabrikan telah membuka cabang-cabangnya di daerah lain. Perusahaan sudah langsung memperkenalkan produknya kepada konsumen. (Irawan, Suparmoko: 2008, 359)

C.       STRATEGI PASAR DALAM NEGERI
Pada umumnya negara-negara kaya sumberdaya alam menempuh strategi pengembangan pasaran dalam negeri sebagai alat untuk mengembangkan ekonomi nasional negara tersebut.Pengembangan pasaran dalam negeri tidak memerlukan campur tangan pemerintah,tetapi dicapai dengan sistem persaingan bebas.Pengembangan pasar dalam negeri tidak mengalami kesulitan,karena negara yang bersangkutan kaya bahan mentah,sehingga hasil produksi relatif murah harganya.Di pihak lain industri yang bersangkutan akan mudah berkembang karena akan memiliki keuntungan dalam bentuk biaya produksi yang relatif murah.Tahap selanjutnya apabila pasaran dalam negeri sudah tidak mampu menampung produk yang sama maka produk itu dicarikan pasar di luar negeri atau pasar luar negeri memerlukan produk  dalam negeri sesuai selera pasar luar negeri.Dengan demikian baik pasar dalam negeri maupun luar negeri menopang pertumbuhan dan perkembangan industri olahan di dalam negeri.
Untuk mendorong penduduk agar mau menggunakan produk dalam negeri diperlukan kemampuan bersaing terhadap barang-barang impor dengan harga yang relatif murah dan mutu yang lebih baik.Negara-negara sedang berkembang pada umumnya selalu menghasilkan barang hasil pabrik dengan harga relatif mahal dari pada harga barang yang diimpor.Hal ini disebabkan karena tingginya biaya produksi.Oleh karena itu diperlukan adanya perlindungan tata niaga oleh pemerintah agar dapat bersaing dengan barang-barang impor.
Untuk barang-barang substitusi impor,perlindungan yang diberikan berupa bea masuk yang tinggi,kuota atau larangan impor serta jaminan pasar dengan harga yang ditentukan pemerintah.Hasil usaha dari perlindungan ini berupa harga jual tinggi dan perekonomian mengalami keadaan dengan harga-harga tinggi.
Harga mahal disebabkan biaya produksi yang tinggi.Biaya produksi yang tinggi disebabkan:
1)        Kelemahan dalam pengelolaan perusahaan sehingga tingkat efisiensi yang optimal tidak tercapai.
2)        Birokrasi yang berlebihan.Hal ini berupa prosedur perizinan yang terlalu panjang dan tidak jelas di samping mendorong timbulnya pungutan-pungutan resmi dan tidak resmi.
3)        Perlindungan yang berlebihan dan terus menerus.Membuat harga mahal dan mutu yang kurang memadai ,sehingga konsumen menjadi korban dan produsen menjadi manja.

Untuk mengatasi hal di atas dikeluarkan INPRES No.4.1985 sebagai cara mengurangi birokrasi dimana terdapat penyederhanaan prosedur pengeluaran barang di pelabuhan,supaya biaya penggundangan lebih murah dan pungutan-pungutan berkurang.Pemerintah juga menurunkan tarif listrik dan harga beberapa jenis BBM.
Kita mengenal apa yang disebut”infant industry argument”dimana industri-industri yang masih muda harus dilindungi agar mampu bersaing dengan harga-harga impor.Perlindungan yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan:
1.      Dalam jangka waktu tetentu industri yang diberi perlindungan akan dapat berdiri sendiri dan bersaing dengan barang-barang impor.
2.      Perlindungan yang diberikan jangan terlalu besar,sehingga tidak menimbulkan inefisiensi atau rasa manja.Perlindungan ini sedikit demi sedikit harus dapat dikurangi dan bahkan dihapuskan.
Perlindungan akan semakin memperbesar perekonomian apabila yang dilindungi adalah industri-industri hulu,karena mereka menghasilkan bahan mentah yang dipakai proses produksi lebih lanjut.Penunjukkan importir tunggal menyebabkan harga bahan baku menjadi mahal karena adanya tindakan monopoli oleh importir tunggal.
Sebab-sebab tingginya harga hasil produksi industri impor adalah:
1.    Skala produksinya terlalu kecil dibanding dengan skala produksi di negara industri,karena memang pasaran di dalam negeri masih terbatas dan harus membatasi resiko.
2.    Investasinya terlalu mahalkarena harus membayar tidak hanya pabrik dan perlengkapannya,tetapi juga prasarana seperti listrik, air, perumahan,kesehatan,dan sebagainya,lebih-lebih ditambah dengan biaya modal berupa bunga modal yang tinggi.
3.    Biaya teknologi tinggi.Hal ini karena negara sedang berkembang harus membayar royalti atas penggunaan teknologi itu.
4.    Biaya di luar perusahaan seperti birokrasi,BBM,listrik tinggi. (Irawan, Suparmoko: 2008, 360-363)


DAFTAR PUSTAKA


Irawan, M.Suparmoko. 2008. Ekonomika Pembangunan. Edisi Keenam. Yogyakarta: BPFE

Arsyad, Lincolin, 1999. Ekonomi Pembangunan Edisi Keempat. Yogyakarta: BagianPenerbitanUniversitasGadjahMada

0 komentar:

Posting Komentar