Lama sekali tidak
menginisiasi diri berkreasi..
“Begitu kau lahir, daftarmu
mati makin dekat. Aku takut, Sayangku.” Ibu itu megelus perutnya yang
menggunduk. Belum terlalu besar, namun samar sudah kentara.
“Usiamu empat bulan, tanpa sepengetahuanku
Jibril pasti sudah meniupkan roh untuk ragamu.” Air mata praktis menyebak
membasahi pipi.
“Aku takut, Sayangku.” Isaknya
lebih dalam.
Aku yang menatapnya dari semak
belukar angan, terhenyak. Ingin mendengar celotehnya lebih banyak.
“Sayangku, berjanjilah menjadi
manusia berani yang penuh malu. Berani menghadapi kasarnya dunia, ia akan
menempamu jika kau mengerahkan segala kemampuan, tanpa letih belajar,
meninggalkan sebab-sebab kemurkaan Tuhan. Malu, karena sadar betapa kecil
engkau dibanding kegagahan alam, betapa pendek orbitmu dari pada garis edar
yang tak pernah tertukar. Malu, karena keluh yang sering kali menghiasai
tindak kebaikan saat kau mulai mendaki terjal lereng pegunungan, sementara
tempatmu berpijak berputar pada porosnya sekaligus bertawaf menyebut asma
pencipta tanpa kompromi.”
Seakan aku mendengar ceramah
dari sisi dunia yang kucipta. Dan ibu itu merapal doa untuk anaknya,
menengadah hikmat, meminta belas dari Sang Pengasih agar merahmati anaknya. Pun
denganku. Kudekap mulut erat, menyembunyikan sedanku yang tersedak kemarahan
akan diriku.
Betapa jauh aku dari harap Ibuku.
Betapa nista tingkah laku terhadap Ibuku.
Betapa berani dan maluku tiddak pada posisi yang dirindu Ibuku.
Seketika bibirku tak henti
menggumamkan rangkaian doa Hasan Albanna, agar Ia menghimpun hati kami dalam
cinta, ketaatan, serta taqwa kepadaNya, agar Ia mengukuhkan ikatan ini,
mengekalkannya, menunjuki jalan, dan memenuhi dengan cahaya kebenaran.
My room, rabu 27-02-2013. 11:07
witen by @niahaji
0 komentar:
Posting Komentar