Mungkin beginilah
ketika dirimu terjepit, seakan lupa menghirup udara dan menghembuskannya, lalu
mendadak begitu kau sadar, paru-paru
mengerang “no air, no air!”. Dan kau
cepat-cepat menyesuaikan, kemudian melupakan keadaan yang tak kau inginkan.
Setidaknya, begitulah definisiku mengenai penderitaan temanku.
“365
hari dalam setahun selama 3 tahun, aku mencarimu, menanyakan pada tiap kenalan yang
sekiranya mampu menjawab kegelisahanku atasmu, menulis semua kata kunci yang
kiranya adalah akunmu. Namun nihil, penemuanku kosong.” Suaranya mendewasa.
Yang tetap sama adalah gelak tawa pada tiap lafalnya.
“Maafkan
aku. Tapi seperti halnya kamu, aku pun melakukan pencaria nserupa. Dan hasilku
menemu hampa.” Dengusku kesal, meski masih dalam konteks gojekan.
Itu kisah lama, hari
dimana kami ditemukan sebagai kesatuan. Rasanya hidupku sempurna.
Partikel-partikel yang berjalan tak karuan mulai menata diri menyejajarkan
kerumunan.
Itu
kisah lama, saat yang ku tahu tentang dia dalah kerja kerasnya, kerelaan
berkorban, kesetiaan, serta penerimaan tangguhnya.
Beberapa
hari belakangan pesan singkat yang ia tahu pasti ku acuhkan lebih sering
dikirim. Aku memahami, kesadaran intensitas tinggi, ia sedang menanti mentari
menemui pagi, menghantar rwembulan pergi mendiangi sang malam. Ya, aku paham.
Dan puncak terkujutku adalah pagi tadi. Ia dan sekelumit pikiran yang sama
sekali tidak ku kenal. Aku ingin menemaninya. Menatap mata yang sayu, melelehkan
hati yang membeku.
“Kau
percaya bukan, Ia memberi kita kesempatan melihat dunia, ditulis pula bagaimana
peruntungannya? Kau masih mempercayainya, bukan? Sungguh, mendekatlah, karena
Ia akan mengejarmu, jika kamu menemuiNya dengan berjalan.”
My room, Jumat, 01-03-2013.
witen by @niahaji
0 komentar:
Posting Komentar