Selamat tengah malam. Maaf
menggangu tidur nyenyak anda. Saya hanya ingi memperingan muatan pikiran. Tidak
perlu dibaca jika tidak suka, atau merasa bukan urusan anda, atau anda takut
jika pesan ini adalah muslihat jahat.
Tanganku masih saja gemetar,
sementara yang kanan kugunakan mengucek mata agar segera sadar.
Saya
tidak tahu harus menceritakannya pada siapa. Hanya saja, belakangan saya sering
tidak bisa tidur di tengah malam. Dan yang saya lakukan justru menangis sesenggukan
menyadari ketidakberdayaan.
Aku menegakkan duduk. Melirik
istri yang terkulai dalam tidur.
Apa
yang harus saya lakukan, tapi anda tidak perlu repot-repot menjawab. Saya hanya
ingin bercerita.
Tetiba aku iba.
Saya
jatuh cinta dengan seorang pria. Dia juga mencintai saya. Namun setelah
usia kami semakin matang mendekati pernikahan, ia tak kunjung melamar. Saya
tidak menakutkan kalau dia tidak lagi bersedia menikahi saya, yang jadi
kekhawatiran adalah seperti apa masa depan jika saya terus melanjutkan hubungan
ini. Dia bukan tipikal pekerja keras dan sholeh. Mengandalkan keberpihakkan
nasibbaik tanpa merencana apa-apa. Tapi dia juga bukan pria nakal yang suka
mabuk-mabukkan dan pesta perempuan. Saya sangat tidak yakin dengan
kredibilitasnya. Namun rasa syukurnya yang tiada tara dan patuhnya pada orang
tua membuat saya berpikir ulang jika ingin meninggalkannya. Bagaimana pun, dia
pria baik dan bertanggung jawab. Dan saya sangat mencintainya, tidak pernah
bosan menatap wajahnya, selalu merindukan pelukan, saya mencintai benar dengan
hati. Setiap malam, doa saya adalah dijodohkan dengannya, menjadi satu-satunya
istri dan mendampingi sampai mati. Dikaruniai putra-putri, dianugerahi melimpah
rizki. Tapi saya ragu ia berpikir hal yang sama.
Air mataku menggenangi pelupuk.
Jatuh perlahan berhamburan. Aku tahu, wanita ini tidak bercerita sepenuhnya.
Namun rasa gamangnya menular padaku lewat pesan singkat. Barangkali ia begitu
galau, sampai-sampai memilih nomor random untuk sekedar diajak berbincang.
Aku menoleh pada istri yang
baru kunikahi satu bulan setelah berpacaran tiga tahun lamanya. Dulu, setiap
malam selama tiga tahun aku selalu membayangkan menatap wajahnya yang lelap
tertidur, melindungi dari mara bahaya, merangkul penuh bahagia.
Dan mengenai wanita yang pesannya
sedang kubaca ulang, aku tahu siapa ia meski wanita itu tidak tahu bahwa aku
tahu.
Maafkan aku, membuatmu diliputi
rasa ragu, melunturkan harapmu, menakuti dirimu dengan sikap plin-planku.
Sebulan setelah pesan itu
dikirim, ketika surya kelalahan menyinari dunia, kuberanikan diri datang ke
rumahnya.
“Bersediakah kamu menikah
denganku?”
Ia tidak berkata apa-apa, namun
air matanya memberiku kepastian yang lebih berarti dari jawaban.
Dua bulan setelah pesan itu
dikirim, ia hamil, dan rasa cintaku bukan terbelah dua, namun mengembang
sedemikian besarnya.
My room, Rabu,
13-03-2013. 06:16
witen by @niahaji
0 komentar:
Posting Komentar