Siapa?

on Jumat, 29 Maret 2013


Selamat tengah malam. Maaf menggangu tidur nyenyak anda. Saya hanya ingi memperingan muatan pikiran. Tidak perlu dibaca jika tidak suka, atau merasa bukan urusan anda, atau anda takut jika pesan ini adalah muslihat jahat.
Tanganku masih saja gemetar, sementara yang kanan kugunakan mengucek mata agar segera sadar.
Saya tidak tahu harus menceritakannya pada siapa. Hanya saja, belakangan saya sering tidak bisa tidur di tengah malam. Dan yang saya lakukan justru menangis sesenggukan menyadari ketidakberdayaan.
Aku menegakkan duduk. Melirik istri yang terkulai dalam tidur.
Apa yang harus saya lakukan, tapi anda tidak perlu repot-repot menjawab. Saya hanya ingin bercerita.
Tetiba aku iba.
Saya jatuh cinta dengan seorang pria. Dia juga mencintai  saya. Namun setelah usia kami semakin matang mendekati pernikahan, ia tak kunjung melamar. Saya tidak menakutkan kalau dia tidak lagi bersedia menikahi saya, yang jadi kekhawatiran adalah seperti apa masa depan jika saya terus melanjutkan hubungan ini. Dia bukan tipikal pekerja keras dan sholeh. Mengandalkan keberpihakkan nasibbaik tanpa merencana apa-apa. Tapi dia juga bukan pria nakal yang suka mabuk-mabukkan dan pesta perempuan. Saya sangat tidak yakin dengan kredibilitasnya. Namun rasa syukurnya yang tiada tara dan patuhnya pada orang tua membuat saya berpikir ulang jika ingin meninggalkannya. Bagaimana pun, dia pria baik dan bertanggung jawab. Dan saya sangat mencintainya, tidak pernah bosan menatap wajahnya, selalu merindukan pelukan, saya mencintai benar dengan hati. Setiap malam, doa saya adalah dijodohkan dengannya, menjadi satu-satunya istri dan mendampingi sampai mati. Dikaruniai putra-putri, dianugerahi melimpah rizki. Tapi saya ragu ia berpikir hal yang sama.
Air mataku menggenangi pelupuk. Jatuh perlahan berhamburan. Aku tahu, wanita ini tidak bercerita sepenuhnya. Namun rasa gamangnya menular padaku lewat pesan singkat. Barangkali ia begitu galau, sampai-sampai memilih nomor random untuk sekedar diajak berbincang.
Aku menoleh pada istri yang baru kunikahi satu bulan setelah berpacaran tiga tahun lamanya. Dulu, setiap malam selama tiga tahun aku selalu membayangkan menatap wajahnya yang lelap tertidur, melindungi dari mara bahaya, merangkul penuh bahagia.
Dan mengenai wanita yang pesannya sedang kubaca ulang, aku tahu siapa ia meski wanita itu tidak tahu bahwa aku tahu.
Maafkan aku, membuatmu diliputi rasa ragu, melunturkan harapmu, menakuti dirimu dengan sikap plin-planku.
Sebulan setelah pesan itu dikirim, ketika surya kelalahan menyinari dunia, kuberanikan diri datang ke rumahnya.
“Bersediakah kamu menikah denganku?”
Ia tidak berkata apa-apa, namun air matanya memberiku kepastian yang lebih berarti dari jawaban.
Dua bulan setelah pesan itu dikirim, ia hamil, dan rasa cintaku bukan terbelah dua, namun mengembang sedemikian besarnya.


My room, Rabu, 13-03-2013. 06:16
witen by @niahaji

0 komentar:

Posting Komentar