Sekitar 2 minggu kami tak bertemu. Terakhir kalinya saat ia
menyandar kepala di pundakku dan mengatakan ada banyak rintangan di depan.
Malam ini kusempatkan mampir ke rumahnya yang tak pernah sepi
dari canda keluarga.
Ia sedang duduk di kursi tamu,
menopang dagu, menutup jendela kayu yang dibiarkan menantang malam. Wajah cantiknya,
ah, betapa aku mencintainya. Namun, ada luka pias nampak di sudut mata.
“Kamu apa kabar? Mengapa terlihat
tidak sehat?”
“Hal remeh begitu kau tanyakan. Tidak
lihat sesenang apa berjumpa denganmu?” Ia tertawa, membahana.
“Padaku mengapa harus dusta? Aku tahu,
ada setumpuk pikiran yang kau renungkan. Coba utarakan!”
Ia berdiri, mengambil posisi
tepat di samping kiriku, menyandar pada bahu kursi yang sama.
“Aku tidak tahu. Haha. Yang ku
tahu hanya lelah, tak lagi ingin melangkah.”
“Itu bukan dirimu yang ku tahu. Sejak
kapan kau mengabdi pada kehidupan? Menyibukkan waktu untuk hal yang melelahkan.”
“Aku juga tidak tahu. Belakangan
aku merasa banyak yang kurang dan begitu tertinggal. Banyak kenalan yang
menyepelekan aku dalam kemampuan, hanya karena sifat burukku yang tak punya
dedikasi untuk bersaing merebutkan bumi.”
“Lalu, kau sedang berusaha
mengejar agar semakin hari mendekati seimbang?”
“Ya, begitulah. Aku berharap,
penat yang memelukku erat dapat membayar lunas hutang waktu yang kuhamburkan
dulu.”
Ia mendewasa. Begitu beda dengan
gadis belia yang mengadu padku 2 minggu lalu.
“Peluk aku.” Senyumnya mengembang,
dan jantung sempurna berdebar kencang.
Ia terasa hangat, rapuh dan
kelelahan. Dan aku ingin menjadi bagian
dari dirinya yang sedang berusaha mencari hakiki hidup ini.
My room, Senin, 11-03-2013. 20:34.
0 komentar:
Posting Komentar