“Kesempatan, jarang datang dua kali. Pastikan kamu
memanfaatkannya ketika ia datang.” Pesan Ibu kepadaku-berkali-kali.
Suatu siang, aku lupa hari apa, seorang dosen menawariku
menjadi asisten dalam pengabdian masyarakat beliau. Otomatis, kalimat Ibu
memukul-mukul gendang telingan, merangsang syaraf mengirim impuls ke otak.
Entah mengapa, aku sedikit gamang antara mengiyakan atau menolak. Aku ingin,
dan ini kesempatan mengenal banyak orang, pengalaman pengabdian, berguna bagi
sesama. Condong pada mengiyakan, tapi berpikir dua kali karena acara beliau
berlangsung malam hari di tempat yang jauh dari reramai orang.
Namun karena semangatku sedang menggelora, tanpa bertanya
atau memikirkan apakah temanku yang lain mau atau tidak, aku menjawab saya bersedia. Dan penuh percaya diri
aku pamitan pulang, tak sabar mengabarkan berita gembira kepada orang tua.
Sesampai di rumah sebelum meletakkan tas dan sepatu pada
tempatnya, atau melepasa helm dan jaket, aku langsung menyampaikan kesempatan
emas ini kepada orang tua. Ayahku bahagia, dan memberi dukungan penuh agar aku
memanfaatkan momen ini dengan baik. Namun Ibu, memiliki pemikiran konservatif
yang di luar duga. Beliau melarangku mengambil kesempatan ini.
Aku tidak berdaya, padahal aku meyakini, momen ini akan
menjadi hal besar sekaligus batu loncatan untuk hidupku yang stagnan. Sayang,
Ibu tidak mengijinkan. Haruskah aku menjadi anak durhaka yang tidak patuh orang
tua-lagi?
Akhirnya dengan penuh bingung, aku menanyai teman-teman
dekat barangkali ada yang berminat. Alhamdulillah seorang teman bersedia
menggantikan aku sebagai asisten dosen.
Malang, tidak berhenti sampai disitu, beberapa aral
melintang sebelumnya tidak terpikirkan. Dan rasa tidak enakku kepada
teman-teman sampai sekarang masih belum hilang.
Seandainya, sore itu aku nekat meninggalkan rumah, bersedia
menanggung resiko yang akan terjadi, entah seburuk apa. Tidak akan rasa tidak
enak yang dibawa sampai mati dan yang penting adalah pengalamanku bertambah.
Dulu aku pasif sekali, giliran ingin aktif, orang tua
menyandung langkahku sampai aku terjungkal. Aku terluka, kecewa, merutuki diri
dengan caci, dimana letak tanggung jawab dengan kalimat sendiri.
Ya, aku benci. Cerita ini akan sampai pada Kaisar dan
Auroraku nanti. Dan aku berjanji, meminta mereka untuk mengingatkan letak
salahku, menambahinya dengan hal yang benar.
Karena anak yang luar biasa, hanya terlahir dari orang tua
yang luar biasa. Pantaskan diri menjadi orang tua yang luar biasa.
Ya, buah jatuh tidak
jauh dari pohonnya.
0 komentar:
Posting Komentar