Pengakuan mahasiswa curang

on Rabu, 08 Januari 2014


Saya mahasiswa calon guru. Rumornya, fakultas saya adalah fakultas terbaik se jawa tengah apabila dibandingkan dengan fakultas yang mempelajari disiplin ilmu yang sama, keguruan. Tapi justru hal itulah yang membuat saya kecewa dan malu pada diri sendiri. Bagaimana bisa fakultas saya dinobatkan sebagai fakultas terbaik sementara saya adalah mahasiswa yang curang dan tidak memberi kontribusi apa2 pada masyarakat sekitar saya. Demikian halnya dengan teman2. Mereka sebelas dua belas dengan saya. Bahkan sebagian besar lebih parah dari pada saya yang akut buruknya.

Kami calon guru yang akan mendewasakan generasi penerus bangsa. Mendewasakan mereka dengan bekal ilmu, iman dan keterampilam hidup yang mereka butuhkan. Padahal kami sendiri belum mampu mendewasakan diri kami menjadi pribadi yang berilmu, beriman dan berketerampilan. Ilmu yang kami pelajari tidak mendalam meskipun banyak diantara kami yang memiliki nilai lebih dari memuaskan. Kami tidak belajar keras, asal cukup untuk bekal menghadapi ujian. Kami tidak dapat menemukan konsep kami sendiri namun hanya tahu prinsipnya. Atau tidak sedikit diantara kami yang tidak belajar sama sekali. Mengandalkan contekan baik dari teman atau buku2 yang sudah kami foto untuk dijadikan pegangan saat ulangan. Ya, budaya tidak jujur itu yang menjadi masalah kami. Sekedar mengejar angka dan pujian teman sekelas serta dosen pengampu. Tapi tidak peduli pada akibat ke belakang.

Sampai2 beberapa dosen kami mewajibkan kami membuat pernyataan bahwa ulangan kami murni hasil sendiri dan sanksi apabila kami melanggar. Namun apa daya jika curang sudah mendaging dalam diri kami. Toh sanksi hanya dikenakan apabila dosen mengetahui kami berlaku curang. Padahal sedikit sekali, bahkan saya belum menemui, dosen yang menjaga ujian dengan benar. Benar disini maksudnya beliau konsen pada mahasiswa di depannya tanpa nyambi beraktivitas apapun sehingga mahasiswa yang berbuat curang mudah diketahui oleh dosen bersangkutan.
Dan mengenai surat pernyataan. Menurut saya, tindak kecurangan itu tidak kunjung hilang juga disebabkan oleh surat pernyataan itu sendiri. Seandainya surat pernyataan dihubungkan dengan Tuhan, saya rasa kami akan berpikir dua kali apabila ingin curang. Namun itu hanya praduga saya, karena bagi saya fitrah setiap jiwa itu takut pada Tuhannya. Wallahualam.

Sekalipun surat pernyataan sudah dibuat sedemikian mengikat, apabila pengawasan ketika ujian masih kurang, kecurangan tetap akan terus berjalan. Mengapa saya menekankan pada pengawasan? Karena memang tingkat kesadaran kami untuk berlaku jujur saat ujian hampir tidak ada. Terlalu banyak godaan dan karena karakter kami yang lemah, akhirnya kecurangan itu tetap kami lakukan.
Sebenarnya tidak sedikit diantara kami yang menyesal apabila melakukan kecurangan. Namun apa daya, tidak ada orang yang menilai keberhasilan kami dari sisi afektif. Orang2 hanya memandang angka yang kami peroleh atas test kognitif kami tanpa mempertanyakan apakah hasil yang kami peroleh halal atau tidak.

Ini kebohongan terkecil yang dilakukan mahasiswa. Sementara suatu riwayat menegaskan, bahwa sedikit dosa yang dikerjakan akan merangsang pelakunya untuk mengerjakan yang lebih besar. Sekarang, saat masih duduk di bangku kuliah kita meneriakkan suara lantang2 mengenai hukuman pada para koruptor. Padahal kami sendiri menyemai bibit koruptor itu pada diri kami tanpa kami sadari. Untuk memperoleh nilai yang tidak mengenyangkan saja melalui tindak kecurangan, apalagi nanti jika kami bekerja. Meskipun sekarang kami dapat mengatakan kami tidak akan melakukan kecurangan, namun benih curang itu sudah kami tumbuhkan dan saya yakin, untuk mengejar uang yang mengkayakan, memberikan kenyamanan, pujian, penghargaan dan derajat yang tinggi di mata manusia, kami akan menghalalkan apapun untuk memperolehnya.

Untuk itulah saya mengharapkan, reformasi pendidikan di indonesia tidak harus muluk2 mengubah sistem yang sudah ada. Tapi saya meminta tolong pada pihak2 yang sekiranya bersangkutan, bantu kami menghilangkan kebiasaan buruk kami. Jangan budayakan menilai kami dari angka hasil ujian kognitif kami. Coba hargai kami dari afektif baik yang kami punya, agar afektif baik tersebut berusaja kami kembangkan. Ya, bagi saya kejujuran adalah langkah awal perbaikan kualitas pendidikan negeri. Bantu kami untuk berlaku jujur, bapak dan ibu atasan yang terhormat.
witen by @niahaji

0 komentar:

Posting Komentar