Saya mahasiswa calon guru.
Rumornya, fakultas saya adalah fakultas terbaik se jawa tengah apabila
dibandingkan dengan fakultas yang mempelajari disiplin ilmu yang sama,
keguruan. Tapi justru hal itulah yang membuat saya kecewa dan malu pada diri
sendiri. Bagaimana bisa fakultas saya dinobatkan sebagai fakultas terbaik
sementara saya adalah mahasiswa yang curang dan tidak memberi kontribusi apa2
pada masyarakat sekitar saya. Demikian halnya dengan teman2. Mereka sebelas dua
belas dengan saya. Bahkan sebagian besar lebih parah dari pada saya yang akut
buruknya.
Kami calon guru yang akan
mendewasakan generasi penerus bangsa. Mendewasakan mereka dengan bekal ilmu,
iman dan keterampilam hidup yang mereka butuhkan. Padahal kami sendiri belum
mampu mendewasakan diri kami menjadi pribadi yang berilmu, beriman dan
berketerampilan. Ilmu yang kami pelajari tidak mendalam meskipun banyak
diantara kami yang memiliki nilai lebih dari memuaskan. Kami tidak belajar
keras, asal cukup untuk bekal menghadapi ujian. Kami tidak dapat menemukan
konsep kami sendiri namun hanya tahu prinsipnya. Atau tidak sedikit diantara
kami yang tidak belajar sama sekali. Mengandalkan contekan baik dari teman atau
buku2 yang sudah kami foto untuk dijadikan pegangan saat ulangan. Ya, budaya
tidak jujur itu yang menjadi masalah kami. Sekedar mengejar angka dan pujian
teman sekelas serta dosen pengampu. Tapi tidak peduli pada akibat ke belakang.
Sampai2 beberapa dosen kami
mewajibkan kami membuat pernyataan bahwa ulangan kami murni hasil sendiri dan
sanksi apabila kami melanggar. Namun apa daya jika curang sudah mendaging dalam
diri kami. Toh sanksi hanya dikenakan apabila dosen mengetahui kami berlaku
curang. Padahal sedikit sekali, bahkan saya belum menemui, dosen yang menjaga
ujian dengan benar. Benar disini maksudnya beliau konsen pada mahasiswa di
depannya tanpa nyambi beraktivitas apapun sehingga mahasiswa yang berbuat
curang mudah diketahui oleh dosen bersangkutan.
Dan mengenai surat pernyataan.
Menurut saya, tindak kecurangan itu tidak kunjung hilang juga disebabkan oleh
surat pernyataan itu sendiri. Seandainya surat pernyataan dihubungkan dengan
Tuhan, saya rasa kami akan berpikir dua kali apabila ingin curang. Namun itu
hanya praduga saya, karena bagi saya fitrah setiap jiwa itu takut pada
Tuhannya. Wallahualam.
Sekalipun surat pernyataan sudah
dibuat sedemikian mengikat, apabila pengawasan ketika ujian masih kurang,
kecurangan tetap akan terus berjalan. Mengapa saya menekankan pada pengawasan?
Karena memang tingkat kesadaran kami untuk berlaku jujur saat ujian hampir
tidak ada. Terlalu banyak godaan dan karena karakter kami yang lemah, akhirnya
kecurangan itu tetap kami lakukan.
Sebenarnya tidak sedikit diantara
kami yang menyesal apabila melakukan kecurangan. Namun apa daya, tidak ada orang
yang menilai keberhasilan kami dari sisi afektif. Orang2 hanya memandang angka
yang kami peroleh atas test kognitif kami tanpa mempertanyakan apakah hasil
yang kami peroleh halal atau tidak.
Ini kebohongan terkecil yang
dilakukan mahasiswa. Sementara suatu riwayat menegaskan, bahwa sedikit dosa
yang dikerjakan akan merangsang pelakunya untuk mengerjakan yang lebih besar.
Sekarang, saat masih duduk di bangku kuliah kita meneriakkan suara lantang2
mengenai hukuman pada para koruptor. Padahal kami sendiri menyemai bibit
koruptor itu pada diri kami tanpa kami sadari. Untuk memperoleh nilai yang
tidak mengenyangkan saja melalui tindak kecurangan, apalagi nanti jika kami
bekerja. Meskipun sekarang kami dapat mengatakan kami tidak akan melakukan
kecurangan, namun benih curang itu sudah kami tumbuhkan dan saya yakin, untuk
mengejar uang yang mengkayakan, memberikan kenyamanan, pujian, penghargaan dan
derajat yang tinggi di mata manusia, kami akan menghalalkan apapun untuk
memperolehnya.
Untuk itulah saya mengharapkan,
reformasi pendidikan di indonesia tidak harus muluk2 mengubah sistem yang sudah
ada. Tapi saya meminta tolong pada pihak2 yang sekiranya bersangkutan, bantu
kami menghilangkan kebiasaan buruk kami. Jangan budayakan menilai kami dari
angka hasil ujian kognitif kami. Coba hargai kami dari afektif baik yang kami
punya, agar afektif baik tersebut berusaja kami kembangkan. Ya, bagi saya
kejujuran adalah langkah awal perbaikan kualitas pendidikan negeri. Bantu kami
untuk berlaku jujur, bapak dan ibu atasan yang terhormat.
witen by @niahaji
0 komentar:
Posting Komentar