Kamu tahum aku hampir gila, bahkan aku benar-benar gila.
Seandainya tidak punya teman bicara, mungkin setibaku di
Serenan, tujuku pertama kali anak sungai bengawan. Ahh, mengapa aku harus segila
ini?
Barangkali akau terlalu memandang tinggi diri, mengutamakan
emosi, menilai orang lain sesuatu yang tidak berarti.
Atau apakah ini bagian dari ketidakberdayaan atas putusan
yang tidak aku inginkan? Manusia bumi menamakannya takdir.
Seseorang pernah bertanya padaku, “Mengapa semua orang baik
di depanku, namun mereka membicarakan burukku saat aku tidak ada?”
Aku bungkam, memang hidup harus seperti ini bukan? Mau bagaimana
lagi.
Setiap orang pun baik padaku kala mereka membutuhkan diriku,
namun pergi saat aku tidak mampu berbuat apa-apa. Kecuali ia. Dan bagiku, barangkali temanku itu belum menemukan seseorang
yang bagiku spesial, ia.
Simpulan akhirnya, aku gila. Entah ini karena apa. Aku harus
segera bertemu untuk mengkonsultasikan kondisi jiwa pada orang itu, ia.
saat memikirkan hidup seseorang lebih dari pada hidupku
sendiri, orang itu justru menganggap tindakanku tidak rasional. Lalu, apa
definisi manusia mengenai cinta? Ah, aku benar-benar frustasi memikirkannya.
Hidup seseorang yang lebih kuperjuangkan dari pada hidupku
sendiri, lalu kini orang lain mengacak-acak kehidupan itu. Apakah aku berdosa
pabila meminta “I wanna him goes to the hell?”.
Oh Allah, inikah hidup? Muaranya pada kematian, namun setiap orang tetap
bekerja keras. Aku lelah hidup, takut mati. Aahh, mungkin aku benar-benar gila.
witen by @niahaji