Saat
itu hujan dan ruang kuliah kami basah oleh tetasan air yang menerobos
langit-langit ethernit.
“Lingkungan
adalah ruhnya pengendalian internal. Mengapa saya mengatakan ruh? Karena
unsur-unsur dalam lingkungan adalah salah satunya etika. Etika yang dalam
bahasa arab dapat diartikan sebagai akhlaq,
bukan sekedar tata cara berperilaku.
Lusa
saya menghadiri sebuah seminar yang diadakan di salah satu hotel kota kita. Keynote speaker dalam acara tersebut
adalah seorang bule. Bisa kita bayangkan, terkadang beberapa hal mengenai
kebiasaan mereka kita katakan tidak wajar, namun saya mengamati bahwa, kemarin,
ketika penanya tidak dapat melantangkan suara sehingga tidak terdengar ke
seluruh ruangan, sang moderator bertanya “mana panitia, mohon sediakan micro
phone.” Sementara sang pembicara (si bule tadi), serta merta berjalan dengan
langkah tegap dan cekatan, mengambil mic yang berada di depannya dan memberikan
kepada penanya. Itulah akhlak, spontanitas ketika menghadapi sesuatu. Pun tadi
ketika saya kesulitan memasang LCD, saya hanya mbatin, mengapa tidak satupun mahasiswa di ruangan ini datang dan
membantu saya.”
Ruangan
dipenuhi gelak tawa. Pun diriku, namun aku tertawa sambil menanya.
Sesampainya
kuliah berakhir, bahkan sampai aku menuliskannya, masih diriku bertanya,
seburuk itukah akhlakku? Aku memang bukan ahlinya bahasa arab yang tahu apa
arti harfiah akhlaq, namun aku cukup
punya hati untuk merasa tersindir dengan buah pikir dosen kami. Seburuk itukah
aku? Yang harus berpikir berulang kali untuk memutuskan harus berbuat baik atau
tidak? Seburuk itukah aku? Yang tidak peka melihat penderitaan orang lain.
Seburuk itukah aku? Yang masih sempat berdiskusi dengan diri, apakah menarik
tubuhnya atau sekedar berdoa, ketika melihat nenek-nenek tua siap melompat ke
perlintasan ketika kereta sedang melaju kencang. Seburuk itukah aku? Bagaimana
jika hari itu si nenek benar-benar melompat? Dimana akhlakku? Dimana hatiku
sebagai manusia yang katanya beradab?
Betapa
aku kalah dengan seorang tokoh sebuah cerita, dan justru menertawakan dengan
kebombongan sambil mengumpat bodoh ketika ia berkata “Aku hanya berusaha menjadi manusia yang beradab dengan tidak
membunuhmu. Meskipun aku lebih suka ketika kau berubah menjadi sepertiku, itu
akan lebih mudah bagi kita untuk hidup bersama.”
Dan
aku baru benar-benar mamahami perasaannya hari ini. Akhlak, manusia beradab.
Lambannya aku.
witen by @niahaji
0 komentar:
Posting Komentar