Kentingan, Sore Itu

on Kamis, 04 Desember 2014


Saat itu hujan dan ruang kuliah kami basah oleh tetasan air yang menerobos langit-langit ethernit.

“Lingkungan adalah ruhnya pengendalian internal. Mengapa saya mengatakan ruh? Karena unsur-unsur dalam lingkungan adalah salah satunya etika. Etika yang dalam bahasa arab dapat diartikan sebagai akhlaq, bukan sekedar tata cara berperilaku.
Lusa saya menghadiri sebuah seminar yang diadakan di salah satu hotel kota kita. Keynote speaker dalam acara tersebut adalah seorang bule. Bisa kita bayangkan, terkadang beberapa hal mengenai kebiasaan mereka kita katakan tidak wajar, namun saya mengamati bahwa, kemarin, ketika penanya tidak dapat melantangkan suara sehingga tidak terdengar ke seluruh ruangan, sang moderator bertanya “mana panitia, mohon sediakan micro phone.” Sementara sang pembicara (si bule tadi), serta merta berjalan dengan langkah tegap dan cekatan, mengambil mic yang berada di depannya dan memberikan kepada penanya. Itulah akhlak, spontanitas ketika menghadapi sesuatu. Pun tadi ketika saya kesulitan memasang LCD, saya hanya mbatin, mengapa tidak satupun mahasiswa di ruangan ini datang dan membantu saya.”
Ruangan dipenuhi gelak tawa. Pun diriku, namun aku tertawa sambil menanya.

Sesampainya kuliah berakhir, bahkan sampai aku menuliskannya, masih diriku bertanya, seburuk itukah akhlakku? Aku memang bukan ahlinya bahasa arab yang tahu apa arti harfiah akhlaq, namun aku cukup punya hati untuk merasa tersindir dengan buah pikir dosen kami. Seburuk itukah aku? Yang harus berpikir berulang kali untuk memutuskan harus berbuat baik atau tidak? Seburuk itukah aku? Yang tidak peka melihat penderitaan orang lain. Seburuk itukah aku? Yang masih sempat berdiskusi dengan diri, apakah menarik tubuhnya atau sekedar berdoa, ketika melihat nenek-nenek tua siap melompat ke perlintasan ketika kereta sedang melaju kencang. Seburuk itukah aku? Bagaimana jika hari itu si nenek benar-benar melompat? Dimana akhlakku? Dimana hatiku sebagai manusia yang katanya beradab?

Betapa aku kalah dengan seorang tokoh sebuah cerita, dan justru menertawakan dengan kebombongan sambil mengumpat bodoh ketika ia berkata “Aku hanya berusaha menjadi manusia yang beradab dengan tidak membunuhmu. Meskipun aku lebih suka ketika kau berubah menjadi sepertiku, itu akan lebih mudah bagi kita untuk hidup bersama.”

Dan aku baru benar-benar mamahami perasaannya hari ini. Akhlak, manusia beradab. Lambannya aku.
witen by @niahaji

0 komentar:

Posting Komentar