Dua Garis Kedua (part 3)

on Jumat, 05 Juli 2019

Mereka yang mendoakan semoga anakmu segera punya adik adalah mereka yang tidak tahu betapa beratnya mengasuh bayi. Golongan ini adalah mereka yang belum menikah, tidak segera diberi momongan padahal usia pernikahan sudah tua, sudah punya anak tapi masih dibantu asuh oleh banyak orang, atau para ningrat yang semua hal keduniawian cemepak di depan mata sehingga tidak perlu mumet kalau punya anak (lagi).

Iya, aku selalu kesal dengan mereka yang mendoakan semoga Kaisar segera punya adik. Men, kondisi financial kami, karirku, ah! Memang setiap anak membawa rejekinya masing-masing, tapi merupakan keharusan sebagai orang tua memberi yang terbaik bukan sekedar semampunya tapi wajib dimampukan, bukan? Sudah, cukup rasa bersalahku pada Kaisar yang tiap hari kuajak menangisi ketidakjelasan masa depan, yang tidak kuat memberikan vaksin lengkap sesuai anjuran IDAI, yang tidak bisa membelikannya baju, stroller, bantal, gendongan, dan mainan mahal. Sudah, cukup pada Kaisar saja.

Kenapa tidak mendoakan aku semoga dapat pekerjaan yang bagus, yang gajinya bersisa banyak untuk mendaycarekan Kaisar di tempat terbaik. Kenapa malah mendoakan hamil lagi?

Oke, punya anak adalah jihad terbesar orang tua. Tapi bu, bukankah kamu lebih memilih aktualisasi diri daripada mengasuh anakmu? Kamu masih berlomba menyuarakan me time yang aku tidak paham sama sekali esensinya. Kamu kesana kemari layaknya gadis tanpa tanggungan nyawa. Dan anakmu? Kamu titipkan! Itu jihad?

Bu, jihad itu konsekuensinya lelah. Namun, lelah yang tidak lillah tidak mendapat jannah. Jihad itu tidak ada kata istirahat sebentar. Jihad itu berat, bu! Dan jihad terberat seorang ibu adalah mengasuh new born. Dipikir bagaimanapun, dengan kondisi yang sekarang, aku tidak kuasa kalau harus ada dua garis kedua! So many things i want to do. Kesemuanya hanya bisa kesampaian kalau tidak ada new born lagi dalam waktu dekat ini dihidupku.

Makilah aku karena imanku lemah. Tidak apa-apa. Aku memang bukan hamba yang bersedia berjihad terlalu berat. Aku mengakuinya dan aku memohon ampun padaNya. Punya anak lagi, jihad berat lagi, sungguh aku tidak mampu membayangkan akan segila apa.

Exactly masalah selesai jika aku bersedia menitipasuhkan anakku. Tetapi menitipkan kepada yang bukan ahlinya bukanlah jihad menurut versiku. Jihad itu kalau aku full mengasuh sendiri, atau aku bekerja dengan gaji yang setidaknya sekedar cukup untuk memberikan mereka lingkungan yang baik; sebut saja daycare mahal. Kalau cuma dititipkan pada pengasuh sak-sake atau ke simbahnya, BIG NO bagiku. Karena aku yakin parenting styleku jauh berbeda dengan mereka. Bahkan bukan jaminan day care mahal akan memiliki keyakinan parenting yang sefrekuensi denganku. Tapi setidaknya pengasuh daycare akan menurut kalau aku ingin ini itu; karena mereka pintar, disekolahkan!

Lebih baik anak satu tapi dibesarkan dengan segala kebaikan daripada beberapa tapi dibersamai beberapa cela. Its not mean yang anaknya beberapa buruk dan yang anaknya satu selalu baik. Hanya, kalau belum mampu dua, ya jangan ada dua garis kedua. Sudah.

Kaisar, iya aku bangga dan kalau tidak takut pada Allah bisa saja kusombongkan segalanya pada kalian. Aku bangga anakku adalah Kaisar. Sudah, cukup. Aku tidak ingin menulis lebih tentang kalimat takabur apapun. Yang jelas aku tidak menyesal telah memilih mengasuh daripada bekerja. Aku hanya merasa bahwa pengorbananku tidak sia-sia.

Seandainya ada dua garis kedua, aku tidak kuasa harus berkorban lagi untuk nyawa baru itu. Tapi disisi lain aku harus. Dan pilihannya hanya dua: mengasuh (lagi) atau mendaycarekan di tempat terbaik yang benar-benar baik (red. MAHAL). Sedihnya, pilihan satu (untuk sekarang) terdengar lebih mungkin daripada pilihan dua, yang berarti aku harus mengorbankan kebebasanku sebagai wanita milenial, lagi. Dan, aku tidak kuasa.

Doakan saja, semoga tidak ada dua garis kedua. Terima kasih.

0 komentar:

Posting Komentar