Jawaban dari Tanya "kamu akan ngapain"

on Sabtu, 27 Juli 2019

Waktu aku posting tentang "mbahku dulu ngapain" dan merekontruksi menjadi kalau Kaisar nanya mbahnya dulu ngapain yang berkaitan dengan postingan Jouskan tentang 1000 orang diisolir dalam tempat asing, saling tidak kenal, dan sama-sama tidak berpendidikan, empat dari lima teman yang komen di DM paham kemana arah yang aku maksud. Tapi ada seorang teman yang DM kurang lebih bilang "besok Kaisar gede dan baca status ini, dia akan mikir mamaku itu ngapain".

Aku sedih dikomen begitu. Ketika kita hidup diera financial literacy (bahkan literacy untuk segala macam lifeskill) bertebaran di media sosial untuk kehidupan yang lebih baik, kenapa masih tidak paham dengan klue yang aku lontarkan. Sebuah klausa yang jadi penasaran kita "mbahku dulu ngapain" menurutku refleksi diri paling hebat agar kita tidak meninggalkan generasi lemah; SANDWICH GENERATION.

Dalam agama pun diajarkan agar tidak meninggalkan generasi lemah: baik lemah iman, lemah mental, lemah financial. Jadi, salah tidak kalau aku merefleksi "mbahku dulu ngapain"?

Aku punya teman, kakek dia bisa dibilang "Sang Pemilik Kota". Dia pernah cerita betapa masa muda kakeknya dihabiskan untuk bekerja keras. Anggap saja kakekku semasa dengan kakek temanku. Kenapa kakekku tidak meninggalkan kekayaan sebanyak kakek temanku? Apa karena kekekku tidak bekerja keras?

Kakekku petani, berasa dari keluarga tidak berada. Bapaknya meninggal ketika kakekku masih kecil; dan kakekku adalah anak sulung alias mbarep. Betapa kalau orang jawa jaman dulu, anak mbarep selalu punya tanggung jawab yang luar biasa berat. Kakekku pernah bercerita kalau beliau sampai datang ke makam bapaknya dan mengeluh kenapa harus meninggal secepat itu, merasa tidak berdaya, sekaligus berjanji akan menjadi mbarep yang baik dan bertanggung jawab.

Berbekal sawah sepetak peninggalan bapaknya, beranak jadi berpetak-petak. Selain memberi warisan kepada anak-anaknya, kakekku juga ninggali masing-masing satu sawah kepada saudara-saudara laki-lakinya.

Tapi, kenapa hidupku tidak sekaya temanku si cucu pemilik kota? Padahal kakekku bekerja keras hlo. Bahkan bisa dilabel sangat keras. Karena kakeku kalah dalam sebuah hal paling fundamental: ILMU PENGETAHUAN.

Ketika kakek temanku sudah tahu bahwa bisnis masa depan adalah X, maka beliau bekerja keras merintis bisnis itu. Sementara kakekku yang orang desa tahunya hanya bertani. Padahal di masa depan, sawah di desa nilainya tidak seberapa dan bertani tidak bisa dijadikan sumber penghasilan. Keputusan kakekku tidak salah, hanya saja intuisi yang kurang tepat karena ilmu pengetahuan yang sedikit. Dilain sisi, kalau saat itu tidak bertani, sudah jelas tidak bisa hidup.

Jadi, seandainya kamu satu dari 1000 orang yang berada dalam tempat asing, saling tidak kenal, dan sama-sama tidak berpendidikan, kira-kira kamu ngapain? Beberapa hal yang mampu kuimija dalam otakku, kalau aku adalah satu dari 1000 orang itu:
1. Berkenalan dengan sebanyak mungkin orang, banyak berbincang, bertukar pikiran; karena meskipun sama-sama tidak berpendidikan, tidak semua manusia punya kemampuan sama dalam berpikir.
2. Mengikuti yang paling dominan dalam kelompok. Satu dari 1000 orang itu pasti ada yang paling menonjol, berjiwa kepemimpinan kuat.
3. Membentuk kelompokku sendiri bersama orang-orang berpola pikir sama (setelah berkenalan dengan banyak orang). Berjalan tanpa pemimpin, asal merasa klik dengan setiap jiwa dalam kelompok.
4. Jalan sendiri, berusaha mencari sumber mata air agar bisa menjadi bos dalam kelompok karena aku penemu mata air. Sumber air pasti dibutuhkan oleh semua orang.

Waktu aku posting tentang "mbahku dulu ngapain" dan merekontruksi menjadi kalau Kaisar nanya mbahnya dulu ngapain yang berkaitan dengan postingan Jouskan tentang 1000 orang diisolir dalam tempat asing, saling tidak kenal, dan sama-sama tidak berpendidikan, empat dari lima teman yang komen di DM paham kemana arah yang aku maksud. Tapi ada seorang teman yang DM kurang lebih bilang "besok Kaisar gede dan baca status ini, dia akan mikir mamaku itu ngapain".

Aku sedih dikomen begitu. Ketika kita hidup diera financial literacy (bahkan literacy untuk segala macam lifeskill) bertebaran di media sosial untuk kehidupan yang lebih baik, kenapa masih tidak paham dengan klue yang aku lontarkan. Sebuah klausa yang jadi penasaran kita "mbahku dulu ngapain" menurutku refleksi diri paling hebat agar kita tidak meninggalkan generasi lemah; SANDWICH GENERATION.

Dalam agama pun diajarkan agar tidak meninggalkan generasi lemah: baik lemah iman, lemah mental, lemah financial. Jadi, salah tidak kalau aku merefleksi "mbahku dulu ngapain"?

Aku punya teman, kakek dia bisa dibilang "Sang Pemilik Kota". Dia pernah cerita betapa masa muda kakeknya dihabiskan untuk bekerja keras. Anggap saja kakekku semasa dengan kakek temanku. Kenapa kakekku tidak meninggalkan kekayaan sebanyak kakek temanku? Apa karena kekekku tidak bekerja keras?

Kakekku petani, berasa dari keluarga tidak berada. Bapaknya meninggal ketika kakekku masih kecil; dan kakekku adalah anak sulung alias mbarep. Betapa kalau orang jawa jaman dulu, anak mbarep selalu punya tanggung jawab yang luar biasa berat. Kakekku pernah bercerita kalau beliau sampai datang ke makam bapaknya dan mengeluh kenapa harus meninggal secepat itu, merasa tidak berdaya, sekaligus berjanji akan menjadi mbarep yang baik dan bertanggung jawab.

Berbekal sawah sepetak peninggalan bapaknya, beranak jadi berpetak-petak. Selain memberi warisan kepada anak-anaknya, kakekku juga ninggali masing-masing satu sawah kepada saudara-saudara laki-lakinya.

Tapi, kenapa hidupku tidak sekaya temanku si cucu pemilik kota? Padahal kakekku bekerja keras hlo. Bahkan bisa dilabel sangat keras. Karena kakeku kalah dalam sebuah hal paling fundamental: ILMU PENGETAHUAN.

Ketika kakek temanku sudah tahu bahwa bisnis masa depan adalah X, maka beliau bekerja keras merintis bisnis itu. Sementara kakekku yang orang desa tahunya hanya bertani. Padahal di masa depan, sawah di desa nilainya tidak seberapa dan bertani tidak bisa dijadikan sumber penghasilan. Keputusan kakekku tidak salah, hanya saja intuisi yang kurang tepat karena ilmu pengetahuan yang sedikit. Dilain sisi, kalau saat itu tidak bertani, sudah jelas tidak bisa hidup.

Jadi, seandainya kamu satu dari 1000 orang yang berada dalam tempat asing, saling tidak kenal, dan sama-sama tidak berpendidikan, kira-kira kamu ngapain? Beberapa hal yang mampu kuimija dalam otakku, kalau aku adalah satu dari 1000 orang itu:
1. Berkenalan dengan sebanyak mungkin orang, banyak berbincang, bertukar pikiran; karena meskipun sama-sama tidak berpendidikan, tidak semua manusia punya kemampuan sama dalam berpikir.
2. Mengikuti yang paling dominan dalam kelompok. Satu dari 1000 orang itu pasti ada yang paling menonjol, berjiwa kepemimpinan kuat.
3. Membentuk kelompokku sendiri bersama orang-orang berpola pikir sama (setelah berkenalan dengan banyak orang). Berjalan tanpa pemimpin, asal merasa klik dengan setiap jiwa dalam kelompok.
4. Jalan sendiri, berusaha mencari sumber mata air agar bisa menjadi bos dalam kelompok karena aku penemu mata air. Sumber air pasti dibutuhkan oleh semua orang.

Berbekal dari pembelajaran yang aku dapat dari mengkomparasi masa lalu kakekku dan kakek temanku, aku ingin menjadi nomor 4 tapi aku takut lol. Mungkin aku akan dinomor 1 dan kalau memang ada yang jiwa kepemimpinannya kuat, aku akan ikut dia sih. Kenapa tidak nomor 3 saja? Aku anaknya tidak kuat bekerja keras, tidak tahan banting; maka kalau circleku orang-orang setipe denganku, hidupku akan tidak berkembang dan aku tidak mau. Kalau hanya bergaul dengan mereka yang klik denganku, aku takut akan meninggalkan generasi yang lemah. Harus banyak belajar, mengumpulkan sebanyak mungkin pengetahuan, dan menajamkan intuisi. Lalu, kira-kira aku akan diposisi mana setahun kemudian? Aku tidak tahu. Yang penting kemampuanku harus bertambah dalam segala hal. Tidak berharap menjadi nomor satu, asal hidupku baik-baik saja untuk masa sekarang; dan wajib membaik di masa depan.

0 komentar:

Posting Komentar