Selepas kematian mbah kakung, keluargaku mengadakan acara selamatan. Puncak selamatan jilid satu kalau adat disini ada pada hari ketujuh atau bahasa jawanya disebut pitung dinanan (red. tujuh harian).
Waktu itu, sepuluh tahun yang lalu, mamaku berkeras tidak mau datang ke acara selamatan mbah kakung. Mama bilang "Bapakku lagi wae ninggal kok malah do gawe pestha jane mikire piye. Nek niate meh ndongakne lak isoh ndongo dewe-dewe". Kalau dibahasaindonesiakan "Bapakku baru saja meninggal kok malah pesta, mikirnya pada gimana sih. Kalau mau mendoakan bisa kan doa sendiri". Kurang lebih begitu.
Aku, sepuluh tahun yang lalu masih dangkal ilmu. Tahunya ya kalau adatnya begitu lakukan saja. Toh tidak salah kan melestarikan adat istiadat. Tapi satu hal yang bikin aku mikir keras waktu itu, "iya, kenapa mereka malah berpesta".
Akhirnya kami sekeluarga datang ke rumah mbah ti. Mamaku tidak mau bantu urus logistik untuk para santri yang mengaji dan tetangga yang kalau bahasa jawanya melek (bahasa indonya apa ya lol) dan malah ngendon di mantan kamarnya waktu masih tinggal di rumah mbah ti. Sambil nangis kejer, mama bilang "Aku neng kene sih kebayang-bayang mbah kakung. Wong-wong kui kok isoh malah masak-masak ra penting koyo ngene. Nek ra nglegani mbah ti, wegah aku rene". Translate nggak nih? Gini Indonesianya "Aku disini masih terbayang-bayang sama keberadaan mbah kakung. Kenapa orang-orang malah pada masak-masak tidak penting gini. Kalau bukan karena nuruti maunya mbah ti, aku nggak mau datang ke acara ini".
Aku ngapain? Ngelap piring. Dan besoknya aku menyesal kenapa malah ngelap piring dan ngakak-ngakak bersama para rewang lainnya bukan ngaji bersama santri?
Iya, dulu aku masih terlalu kecil dan miskin ilmu untuk mengkritisi. Tapi sekarang aku merasa cukup diri dan tahu dimana letak kelirunya adat ini. Tanpa diadakan acara selamatan, apa bedanya kematian antara manusia dan kucing? Kamu mau tahu, kemana roh kembali baik manusia maupun kucing? Kepada tuhannya, gaes. ALLAH. Entah manusia, kucing, gajang, semut; setiap yang bernyawa akan mati dan nyawa itu kembali pada pemiliknya; TUHAN, ALLAH. Jadi kalau kucing mati, sama perlunya untuk diadakan selamatan seperti manusia nggak? Coba dipikirkan lagi ya.
Belum lagi kalau terkendala masalah biaya. Beberapa waktu lalu ibu tetangga belakang rumah meninggal dan si anak tidak punya uang untuk mengadakan selamatan untuk ibunya. Si anak khawatir kalau orang sedesa pada ceriwis ngrasani ini anu. Akhirnya yang bersangkutan mengadakan selamatan, entah duit siapa yang dipakai. Bukan hal urgen untuk didonasi sih, jadi aku masa bodoh aja. Kasihan sebenarnya, tapi sekali lagi, kenapa harus memaksa diri melakukan sesuatu yang memberatkan. Wong yang memerintah bukan syariat, semata adat, kenapa harus mengangkat diluar kemampuan? Sedih sama mereka yang masih terbelenggu adat begini.
Satu hal dari celetuk mamaku yang benar-benar membekas "iya, kenapa ditinggal mati kok malah berpesta". Malam itu aku ngelap piring sambil ngakak-ngakak dengan sepupu dan bulik-bulikku. Padahal malah itu, mbah kung kami tujuh hari yang lalu baru saja meninggal. Iya, kenapa aku malah pesta? Kenapa tidak berdoa untuk mbah kakung. Sesedih itu kalau dikenang kembali. Kenapa dulu bisa sebodoh itu.
Kok pelik ternyata bahas adat selamatan. Ini belum masuk ke syariat hlo. Ah, kalau kita mau dan mampu berpikir sedikit saja, tidak usah bawa-bawa syariat, semua adat yang memberatkan mah tinggalkan saja, udah! Sesat nggak sih ajaranku lol. Hla iya, ngapain hidup terbelenggu dengan hal yang jelas membuat tidak bahagia dan bukan perintahnya syariat? Kecuali kamu bahagia dengan pelaksanaan adat ini, suka-suka kalau mau menjalaninya. Bukan urusanku, sih. Urusanku cuma satu, mengingatkan kamu untuk belajar banyak-banyak biar tidak salah kaprah dengan adat-adat yang bertebaran luar biasa di tanah jawa tercinta kita. Iya, belajar banyak-banyak yuk.
Anw, aku mau sedikit masuk ke syariat. Tapi kalau kamu tidak pro aku minta maaf ya. Ini aku dengan keyakinanku. Lagipula nalarnya sudah kujelaskan panjang lebar di atas.
Makin banyak belajar aku makin mengerti bahwa ibadah yang diada-adakan itu menambah dosa, bukan berpahala. Maka sekarang aku tidak lagi menyesali kenyataan bahwa di malah tujuh harian mbah kungku, aku malah ngelap piring bukan ikut ngaji. Artinya aku tidak melaksanakan ibadah yang diada-adakan itu.
Bukan karena ngaji di MTA lalu jadi tidak pro dengan adat selamatan. Bahkan sebelum kenal MTA aku sudah merasa adat ini (dan banyak adat tidak masuk akal lainnya) janggal. Makanya aku selalu bilang "kalau yang memerintah adat, bukan syariat, tidak perlu taat". Justru ngaji di MTA lah yang meyakinkanku bahwa pemikiranku benar. Iya, kalau yang memerintah adat, bukan syariat, tidak perlu taat.
Yas, aku ngajinya di MTA hlo. Kamu dimana? Sekali lagi, banyak-banyak belajar ya. Pokoknya belajar saja dulu kalau belum mau bergolongan. Nanti kalau sudah saatnya, akan nemu yang pas dihati cocok diotak, baru deh gabung. Aku dulu juga gitu kok. Tidak ada yang memaksaku ngaji di MTA. Karena aku anaknya suka penasarana aja akhirnya aku banyak mendengarkan kajian sana sini. Eh mantabnya sama MTA. Udah, gitu aja.
Kita tetap teman dimana pun kita ngaji. Beda itu tidak apa-apa. Yang jadi apa-apa kalau saling memaksa, bukannya sama-sama belajar. Betul?
0 komentar:
Posting Komentar