Kran Air Pakde Brahim

on Jumat, 06 September 2019

Kemarin malam, bapak tanya ke aku waktu aku mau beli gas di toko mama "Koe ngrusak kran ngarepan ro, Ia?". Aku yang tidak tahu apa-apa ya teng plenggong dong (apa bindonya teng plenggong lol). Prediksiku pelakunya anak-anak sih. Memang kran depan rumah itu tempat bermain anak-anak karena kran itu biasanya dipakai tukang cari air untuk mencetak batako. Dan kalau ada tukang batako, sudah pasti anak-anak ikut berkerumunan disitu. Ikutan main pasir dan air atau bantu tumpang batako ke pick up. Karena kejadian kran rusak setelah tukang pada pulang dan tidak seorang pun di rumah, makanya tidak tahu siapa pelakunya. Tapi ya sekali lagi, paling anak-anak. Wong yang suka main disitu cuma anak-anak.

Sampai pagi ini pelaku perusak kran belum ditemukan, tapi pelaku meninggalkan barang bukti; sampah semangka dua biji. Herannya kenapa tidak ada satupun anak yang melapor ke bapakku tentang kejadian kran rusak kemarin? Setidaknya kalau anaknya takut ya orang tuanya gitu yang melapor. Bosa-basi minta maaf atau gimana. Kenapa tidak ada sama sekali? Aku jadi sedih.

Kemungkinan pertama, anak memang tidak lapor ke orang tua kalau dia habis merusak kran Pakde Brahim karena takut kena marah. Merusak barang sama dengan merugikan pemiliknya hlo, kenapa harus takut kena marah kalau sudah terlanjur merugikan orang lain.

Kemungkinan kedua, anak sudah lapor tapi orang tua tidak merespon karena takut harus gantu rugi. Ah, mana ada sih cerita barang orang tuaku di rusak dengan tidak sengaja oleh anak-anak dan minta ganti rugi. Kaca yang mayan mahal aja nggak minta ganti kok apalagi cuma kran yang bapakku aja jual. Berarti tidak mungkin kalau anak sudah lapor tapi orang tua tidak merespon. Dugaanku masih kuat di kemungkinan pertama. ANAK TIDAK BERANI LAPOR KE ORANG TUA KARENA TAKUT KENA MARAH.

Masih kanak-kanak dan melakukan kesalahan yang sebenarnya tidak terlalu fatal wong yang dirusak cuma kran, kenapa tidak berani bilang. Mungkinkah orang tua anak itu GALAK SEKALI sampai anaknya tidak berani mengutarakan kesalahan karena setakut itu dimarahi? Masih kanak-kanak hlo, sudah tidak mau mengatakan kesalahan lakunya pada orang tua. Bagaimana kalau anak itu meremaja, mendewasa, dan melakukan kesalahan yang jauh lebih fatal? Mana bersedia cerita ke orang tua.

Sekaligus bersyukur dengan kejadian kran rusak ini, jadi beginilah awal dimulainya orang tua tidak tahu kalau kelakuan anaknya ternyata seburuk itu. Sering sekali tetangga ngrasani anaknya X itu suka mabok. Tapi kalau X dengar anaknya dirasani suka mabok, dia akan ngamuk. Padahal faktanya anak X memang sering mabok-mabokan. Bukan sekedar mabok, juga judi dan main perempuan. Tapi dimata ibunya anaknya adalah malaikat yang tidak pernah neko-neko. Iya, jadi dari sinilah cerita itu dimulai; sedari kanak-kanak.

Pembelajaran NYATA juga buat aku yang ibu baru; luangkan waktu mendengarkan anak bercerita. Agar ketika dia merusak barang orang lain, dia berani menceritakan pada ibunya. Ketika dia merusak dirinya sendiri pun dia tidak malu bilang pada ibunya. Anak tidak butuh apa-apa selain pelukan ibunya dan kalimat "aku memahami". Sampai besar nanti, anak-anak adalah manusia yang hobinya eksplorasi. Namanya saja eksplorasi, kadang melakukan hal yang salah itu tidak apa-apa. Dia hanya perlu cerita pada ibunya dan ibu akan membantunya meluruskan semua.

Bukan berarti ibu punya wewenang ikut campur kehidupan anak seratus persen, ibu adalah rumah yang selalu dirindu untuk pulang dan menjadi satu-satunya kenyamanan; ibu adalah teman perjalanan paling hangat dan petunjuk arah paling tepat. Meskipun mereka anak kita, tapi kita tidak pernah berhak atas hidupnya, bahkan tentang agamanya. Yang bisa kita lakukan hanyalah terus menyontohi dan menuntunnya tetap berada pada jalan syariat. Berusaha dan kerja keras agar anak menjadi pribadi sholeh yang takut pada Tuhannya. Berdoa banyak-banyak dan menyerahkan hidup anak kita pada pemiliknya, Rabb Semesta.

Iya, karena menjadi pendengar yang baik saja tidak cukup (apalagi kalau tidak bisa jadi pendengar yang baik). Ada kehendak di luar diri kita yang mengatur segala. Sang Pencipta. Usahakan yang terbaik, berdoa banyak, dan berserahlah. Ia sebaik-baik penulis cerita dan tetapanNya adalah sempurna.

Selain belajar menjadi pendengar yang baik, belajar untuk jadi shalihat sama-sama yuk. Kenapa sih harus shalihat? Karena baik saja tidak pernah cukup.

Banyak orang diluaran yang kalau dilihat secara lahir tidak kurang satu apapun; jebolan pesantren, ibunya pendengar yang baik, karirnya bagus, tapi ternyata dia guy/lesbian. Kenapa? Karena ternyata ibunya tidak shalihat. Anak dimasukkan pesantren karena si ibu malas berbenah tapi menginginkan anaknya sholeh/sholehah. Banyak yang salah pergaulan, merasa mendapat pacar yang hangat dan mau mendengarkan keluh lalu menyerahkan kehormatan. Hanya karena ibunya tidak pernah memberikan ia pelukan dan telinga untuk mendengarkan, padahal ibunya "shalihat"; solat aja 50 rekaat sehari semalam, belum puasa, zakat, dan berkali-kali haji.

Dapat gambaran kan yang dimaksud mendengarkan dan shalihat itu korelasinya seperti apa? Jadi, mari berbenah. Sudah banyak yang diperbaiki saja masih salah sana-sini, apalagi yang tidak mau melakukan perbaikan? Semangat berbenah menjadi pendengar yang baik dan ibu shalihah 😘.

0 komentar:

Posting Komentar