Menjadi Ibu itu Rekoso

on Rabu, 04 September 2019

Suka sedih sama wanita yang masih tidak memrioritaskan dirinya dengan peran baru sebagai ibu. Merasa punya kehidupan diluar anak dan berakhir anaknya dititipkan siapa saja yang bersedia ngasuh sementara ibunya berdalih metime agar tetap waras. Asal ASIP aman, atau sufor sedia, ya udah sih bebas aja mau kemana dan kapanpun. Aku juga pengen hlo sebenarnya, masih bisa kesana kemari dan tertawa tanpa terikat tanggungan disebut anak. Tapi setiap aku berdiskusi (lagi) dengan diriku simpulannya selama sama: dia ada karena aku mengusahakannya. Kalau keberadaannya adalah tanggungan ya wajar aku harus bersedia menanggung; kalau harus kehilangan banyak kesempatan untuk jadi atau melakukan ini itu.

Wajar kalau hidup mendadak berubah setelah punya anak. Berubahnya bukan makin kepenak dan santai tapi makin rekoso. Bebannya bukan sekedar dunia, sekaligus akhirat. Tanggung jawab yang kalau dibayangkan kok rasanya nggak kuat memikul. Tapi pada akhirnya kembali lagi pada simpulan: dia ada karena aku mengusahakannya. Ya sudah sih tidak ada pilihan lain selain BERTANGGUNGJAWABLAH! Kiranya banyak hal harus dikorbankan demi anak, lakukan saja. Dia tidak meminta ada tapi kamu yang mengadakan kok. Ngapain merasa dibebani. Kalau pun memang terasa berat ya karena memang beban. Hloh gimana? Ya memang gitu bukan sih. Wkwk. Punya anak memang berat, maka jangan sembarangan bebuat.

Seorang teman pernah cerita kalau selain jadi ibu, dia juga anak, kakak, guru, mahasiswa, dan teman. Dia merasa harus membagi rata semua perannya sementara anak meminta jatah paling banyak dan itu bikin bingung. Dulu aku tidak bisa bilang apa-apa. Tapi makin kesini dan kupikir-pikir, ya udah jangan memaksa diri untuk menjalani semua peran itu. Kalau ada yang berpikir bahwa prioritas itu bullshit, bagiku anak tetaplah nomor satu dan MEMANG PRIORITAS. Lah gimana mau tetap enak-enakkan nongkrong sama teman sampai larut sementara anak ditinggal gitu aja di rumah. Situ waras? Situ ibu?

Dih, aku kok jadi sewot banget ya. Tapi emang aku merasa kasian dengan anak yang harus "kehilangan" ibunya dimasa-masa yang paling ia butuhkan: BREASTFEEDING. Serius Bu, aku mengatakan dengan sepunuh jujur hatiku bahwa neneni itu melelahkan sekaligus mengeratkan. Jangan pernah main api selama masih neneni. Nikmati masa itu karena seumur anakmu hanya akan terjadi dalam dua tahun (atau lebih) pertama hidupnya. Sepengalamanku neneni 20 bulan ini; selama ada mama dan nenen Kaisar tidak butuh hal lain yang lebih nyaman karena nyaman adalah mama dan nenen; dan itu so sweet. Aku merasa tidak pernah merasa sebahagia ketika memeluk Kaisar selama nenen. Percayalah. Jangan sembarangan menitipkan anak kalau urgensinya tidak tinggi. Dia titipan yang memerbaiki dirimu; kalau kamu bersedia sedikit saja berpikir. Karena anak sholeh/sholehah tidak pernah terbentuk dari ibu yang tidak sholehah. Yuk cintai peran sebagai ibu meskipun tanggung jawabnya memang berat.

Maaf ya julid. Serius aku cuma kasihan dengan anak-anak yang harus "kehilangan" ibunya hanya karena ibunya masih terlalu cinta pada dirinya sendiri. Kalau ndilalah kamu yang baca tulisanku adalah ibu yang aku nyinyir, sekali lagi aku minta maaf. Tatap anakmu dan peluk erat. Dia tidak meminta apa-apa selain dirimu, cukup baginya; melebihi dunia dan semesta. Kalau kamu memang ada "penyakit" katakan PPD atau inner child yang bikin tidak bisa urus anak, sembuhkan dirimu. Semangat demi anak. Serius, dia tidak butuh apa-apa selain adamu, DIRIMU, Bu.

Anw aku juga bukan ibu The Real Sholihat yang bersedia beranak pinak sementara diriku sendiri sebagai wanita bebas tidak terapresiasi. Aku masih mau jadi dan melakukan ini itu makanya aku berdoa kenceng banget agar anakku cuma satu. Jadi kalau kiranya kamu memang sangat cinta pada dirimu, urus saja SATU ANAK DAN CUKUPKAN. Berdoa dan berusaha agar tidak ada anak lagi. Setelah anakmu besar hidupmu akan kembali "normal", bersabar saja. Jangan tinggalkan dia di masa-masa dirinya paling butuh kamu. Membesarkan anak adalah jihad dan wajar kalau berat. Pahalanya surga loh. Invisible ya, makanya berasa sulit dirasionalisasi. Wkwk. Tidak apa-apa sih memang kadar iman setiap manusia beda-beda. Bagiku memang sesusah itu merasionalisasi, tapi aku tetap sekuat tenagaku tidak keblinger dunia dan meninggalkan jalan jihad ini. Kan anakku (kudoak dan usahakan) satu doang jadi ya nggak papa doong rekoso untuk satu jiwa aja. Minta bantu doakan ya.

0 komentar:

Posting Komentar