Ketika tilawah mendadak teringat ibu-ibu, teman sepengajian yang ditinggal suaminya beberapa tahun lalu. Sebut saja namanya H. Suaminya meninggal ketika anak kedua mereka usia dua atau tiga, kurang lebih. Seorang ibu rumah tangga yang tidak pernah merasakan susahnya cari uang mendadak harus banting tulang demi menghidupi dirinya dan dua anaknya. Anak pertamanya usia SD, dua belas tahun mungkin. Belum bisa dijadikan teman seperjuangan cari uang. Harus ia sendiri yang merasakan derita ditinggal mati plus menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Bagaimana perasaannya?
Ada lagi cerita, sepupu suami meninggal diusia muda. Meninggalkan dua anak usia lima tahun dan sembilan bulan. Bagaimana perasaan suaminya? Bagaimana anak-anaknya bisa tumbuh besar tanpa ada ibu disampingnya? Sedih sekali, anak keduanya tidak punya ingatan dan kenangam apapun tentang mamanya. Sedih sekali, anak pertamanya harus sering mendengar teman-teman berujar "kasihan, mamanya sudah meninggal". Mungkin sekarang tidak begitu kerasa karena masih kanak-kanak, ketika meremaja dengan sendirinya akan bertanya "kenapa takdir ini sebegitu kejam sampai aku harus kehilangan mamaku cepat-cepat".
Begitulah takdir, semengerikan itu ketika sudah ditakdirkan lahir. Setiap saat harus siap menerima tetapan dan kejutan dadakan dari Sang Pemilik segala. Maka begitulah takdir, semua yang kita miliki dan tidak dimiliki adalah semata Ia yang merencana. Tidak ada jawaban lain dari semua perkara selain mengembalikan kepada pemiliknya, Ia Sang Kuasa. Meminta perlindungan kepadaNya, meminta keselamatan kepadaNya. Dan bersyukur atas semua.
Dan, inilah jawaban dari kegalauan mengenai masa remaja Kaisar: banyak berdoa dan serahkan semua pada pemiliknya. Setelah kerja keras apalagi yang bisa manusia lakukan selain berpasrah, bukan. Karena SEMUA HAL di dunia ini semata titipan, sejatinya manusia tidak pernah memiliki apa-apa dan tidak berhak atas segala bahkan tentang rasa.
0 komentar:
Posting Komentar