Anak dan Hari Tua

on Selasa, 25 Februari 2020

Beberapa waktu lalu aku dan adikku ngobrol soal mau punya anak berapa. Adikku bukan tipe ibu yang anaknya harus dibesarkan dengan standar tidak terdefinisi dan semi mengangkat diluar kemampuan. Ya, dia tidak sepertiku yang harus sempurna segala sesuatunya soal pengasuhan anak. Sekaligus, dia tidak suka momong. Wkwk.

Lalu aku tanya, "Emang nggak kapok ngurus new born?". Dan dia bilang nggak kapok karena toh bisa dititip-titipkan. Kami ngakak sama-sama.

Alasan dia bersedia punya anak lagi karena takut kesepian di masa tua. Tetangga di komplek perumahannya, seorang nenek-nenek penyakitan yang tanpa teman. Malam ada penjaga bayaran yang nemani tidur. Paginya mbak penjaga pulang dan sepulang penjaga, pintu rumah selalu terkunci. Adikku bilang si nenek tiap siang teriak-teriak dari dalam rumah. Mungkin bosan atau entah ada apa.

Anak si nenek kemana? Anaknya cuma satu dan kerja di luar kota. Menurut cerita adikku, anak si nenek jarang berkunjung, benar-benar sejarang itu.

Adikku kasian sekaligus tidak mau hidupnya seperti nenek di kompleknya. Maka dari itu dia kepengen beranak banyak dengan harapan ada satu yang menemani di hari tua.

Dengan alasan adikku yang menolak kesepian kalau banyak anak, aku bilang bahwa justru akan lebih senang kalau anakku nanti berkarir di tempat yang jauh dan tinggal di tempat yang membuat dirinya berkembang. Malah nggak mau merepotkan karena mengurus orang tua itu rekoso. Meskipun pahalanya banyak tapi noto atinya juga harus pinter. Serekoso itu lah. Senggak nyamannya ngurus bayi, lebih nggak nyaman ngurus orang tua. Lagi pula, mereka pada akhirnya akan menikah dan punya anak. Biarlah mereka melanjutkan hidup dengan keluarga mereka tanpa orang tua yang merepotkan dan menambah beban .

Depan rumahku ada sepasang kakek nenek yang anaknya banyak. Sepertinya semua anak beliau tinggal sedesa dengan beliau. Tapi aku jarang tuh lihat anaknya berkunjung. Entah aku yang nggak lihat atau emang anaknya nggak berkunjung, entahlah.

Dari kisah kedua nenek itu aku menyimpulkan bahwa punya anak berapa dan tidak peduli anaknya jauh atau dekat, pada akhirnya ya akan sendirian. Beruntung nenek depan rumahku masih ditemani sang kakek alias suaminya. Kalau suaminya sudah meninggal mungkin akan sekesepian dan sekasian nenek di komplek perumahan adikku.

Sekaligus aku berdoa semoga aku dan mas Bely menua bersama seperti kakek nenek depan rumah kami. Dengan bekal agama dan kemauan belajar yang kuat agar tidak tergilas jaman. DOANYA. Nanti bagaimana, urusan Ia Sang Penulis Cerita.

Yang jelas, aku tidak setuju dengan harapan punya anak banyak biar masa tua tidak kesepian. Sekali lagi, anak-anak punya jalan hidupnya sendiri. Berhak menentukan arah kemana mau pergi. Biarkan mereka melanglang menjelajah bumi tanpa pikiran egois orang tua, "nanti rumah mama jatahnya si X. Jadi si X nggak boleh pergi dari rumah mama. Harus ngopeni dan nemeni mama sampai mama meninggal dunia". Ya kalau pasangan si X bahagia tinggal dengan mama X. Kalau enggak? Kan kasian. Ya kalau pekerjaan si X di kota yang sama dengan rumah mama X. Kalau beda kota dan jauh dari rumah mama X? Kan kasian.

Maka aku selalu mengafirmasi diriku sedari masih berlabel anak sampai sekarang berstatus sebagai orang tua dengan quote, "Anakmu bukan milikmu. Kamu tidak berhak menjadikan dirinya sebagai atau sepertimu". Pun tidak berhak mengatur hidupnya harus begini dan begitu. Apalagi memaksa salah seorang dari mereka harus tinggal dan ngopeni orang tua.

Iya, mereka hanya titipan, wahai Bapak dan Ibu. Tugas kita adalah membesarkan dengan penuh tanggung jawab dan kerja keras. Banyaklah berharap pada diri sendiri sebagai orang yang dititipi, bukan pada jiwa yang dititipkan. Paksa diri untuk membaik karena para titipan itu tidak akan menjadi baik kalau yang dititipi tidak baik. Muluklah dengan mimpi sebagai orang yang dititipi, bukan pada jiwa yang dititipkan. Mereka ada bukan karene meminta, tapi karena orang tua mengusahakan kedatangannya.

0 komentar:

Posting Komentar