Akupun baby blues. Menurutku lumayan parah meskipun aku masih mau pegang bayiku. Hla ya gimana nggak mau urus bayiku, wong aku tinggal cuma berdua dengan suami. Padahal suami harus kerja.
Fyi first, aku dan suami pek nggo. Dan ini akan jadi kunci kemudahan dalam memahami kisah yang kutulis.
Paska lahiran aku tinggal di rumah ibuku. Dan para tetangga pada suka kepo kenapa nggak tinggal di rumah mertua. Helow, kenapa sih harus banget tinggal di mertua. Kalau tinggal di mertua jelas jadi mantu jagoan gitu? Belum lagi mertuaku memang agak memaksa untuk tinggal di rumah beliau. Padahal menurutku, tinggal di rumah mertua tidak bagus untuk membesarkan anakku pun kondisi jiwaku.
Entah apa juga yang mertuaku katakan ke orang-orang desa sampai mereka menganggapku ngemohi mertua. Dan sekali lagi sayangnya (dulu) aku bukan orang yang bisa seenteng itu memasabodohkan omongan orang.
Anakku umur 2 minggu dan kami pindahan. Memaksa pindah rumah karena aku kesal dengan keceriwisan tetangga.
Bukan sekedar adaptasi dengan anak baru, tapi juga rumah baru. Padahal aku bukan orang yang mudah beradaptasi dengan apapun. Bahkan aku tidak bisa tidur kalau bukan dikamarku, iya sekedar pindah tidur ke ruang tv saja aku tidak bisa tidur nyenyak. Bayangkan harus pindah rumah.
Sudah pindah rumah pun cemoohan itu belum berlalu. Masih, orang-orang desa kepo kenapa nggak tinggal di mertua. Bahkan mertuaku enggan berkunjung ke rumahku dengan alasan rumahku tepat berada di sebelah rumah ibuku. Padahal bangunan rumah kami jelas terpisah. Perasaan rumah orang-orang juga pada jejer gitu dan biasa aja. Kenapa rumahku jejer rumah ibuku dan orang-orang masih geger aku ngemohi mertua hanya karena tidak mau tinggal dimertua paska lahiran.
Sungguh lambenya orang desa itu ngalahi jempol jamaah instagram. Andai semua bude-bude dan pakde gosip desa main instagram, wow kupikir artis senusantara akan hapus akun mereka.
Bahkan kalau ditimeline ig kita sering nemu tulisan "me time ibu baru itu sesederhana belanja ke mamang sayur". Aku? Tidak bisa melakukan itu. Aku takut dicerca orang.
Dan akibatnya siapa lagi kalau bukan anak dan suamiku. Suamiku sampai bilang ke aku kalau aku gila. Tiap hari ngamuk, nangis, ngomel, teriak-teriak. Dan bayi merahku pun tidak luput dari tindak amarahku. Bahkan aku pernah mbanting bayiku yang belum genap sebulan (walaupun mbantingnya dikasur sih 😃). Sering juga aku bentak bayi merah itu kalau dia tidak segera tidur. Padahal aku tipe orang yang kalau udah marah akan ngeri banget. Suamiku? Setiap detik selalu ada keributan yang terjadi. Dimataku semua tindakannya keliru. Bahkan kami tidak berhubungan seks selama 6 bulan karena sungguh jiwaku tidak stabil. Mana mungkin hasrat seksual itu muncul kalau aku tidak mengenali diriku sendiri (saat itu).
Ya, akupun sadar AKU sedang GILA. Aku kacau karena merasa banyak tekanan. Aku tidak bisa mengendalikan diriku dan kehilangan jiwaku. Tidak boleh berlanjut dan harus berusaha "sembuh".
Aku mulai cari healing terbaik versiku. Curhat ke teman-teman dekat yang sudah duluan punya pengalaman hidup menjadi ibu baru. Salah satu temanku menyarankan untuk follow akun instagram annisast, grace melia, dan raden prisya. Selain baca hilight di ig story mereka, aku juga banyak baca buku gratis di ipusnas soal ibu baru, baby blues, dan mentah health; ikut kulwap gratis; dan alhamdulillah aku punya teman lumayan akrab yang tahu masa laluku dan dia sekarang jadi psikolog. Aku sering curhat ke dia dan (INI AKU ya) curhat bukan healing yang terlalu membantu kalau kitanya tidak berusaha sendiri keluar dari jiwa mengerikan yang sedang berada dalam tubuh kita. Serius INI AKU. Entah karena curhatnya dengan psikolog yang sudah lama kukenal atau bagaimana, yang jelas, INI AKU sekali lagi, tidak terlalu membantu.
Pun setiap baca-baca soal baby blues dan PPD, mereka bilang tidak ada sangkut pautnya dengan iman. Tapi sekali lagi INI AKU. Justru healing terbaikku adalah ketika aku "kembali". Lagi-lagi, INI AKU. Mohon maaf jika tidak sepemikiran.
Ya, jadi kalau pendapat umum berkata baby blues bukan soal iman dan healing paling tepat adalah cari psikolog, mungkin memang benar. Tapi pertolongan pertama, mendasar, dan paling penting adalah DIRI KITA. Kuncinya adalah benahi jiwa alias perkuat iman dan monolog dengan diri. Sekali lagi INI AKU.
Bermodalkan ingatan samar tentang sebuah surah dalam Al-Qur'an soal "jiwa-jiwa yang tenang". Aku penasaran, dan kembali menyempatkan diri baca Qur'an plus artinya, solat malam, dan berdialog dengan Allah Sang Pemilik Alam, memupuk rasa percaya padaNya bahwa iyalah Dia sebaik-baik penulis cerita, semua milikNya, kembali padaNya, dan segala sesuatu berjalan atas kehendakNya. Banyak-banyak juga monolog dengan diri sendiri. Menuliskan hal-hal yang menoreh luka dan membuat bahagia. List semua. Lalu pada akhirnya aku menemukan bahwa tidak ada alasan untuk merusak bahagiaku dengan segala remeh temeh tidak penting dalam hidup ini.
Perasaan merasa "lebih baik-baik saja" tidak instan terbentuk. Perlu setahun lebih bagiku sampai aku merasa "lebih baik-baik saja". Dalam proses penyembuhan diriku, aku masih sering merasa "gila". Masih suka marah, teriak, dan sering merasa tidak berguna. Ya begitulah, lika-likunya orang "gila" berusaha sembuh.
Bahkan sampai hari ini aku masih belum bisa melupakan trauma punya anak baru. Ya, setakut itu sampai aku berencana satu anak cukup.
Mungkin karena memang belum sepenuhnya sembuh dan kedekatanku dengan Sang Pemilik Alam belumlah seerat itu. Makanya masih ada rasa trauma yang belum sudah.
Sekali lagi mohon maaf jika tidak sepemikiran. Ini pengalaman pribadiku dan setiap orang punya caranya masing-masing dalam menyikapi keadaan meskipun keadaan itu hampir sama. Tapi ingat, tidak ada keadaan yang serupa. Pun kemampuan orang dalam memandang dan menyelesaikan masalah sangat berbeda-beda dan sendiri-sendiri bergantung pada banyak faktor. Mohon tidak dihujat.
Ps: finally aku berani post. Karena kemarin tilik bayi dan rasa tidak nyaman dua tahun lalu kembali berkeliaran dalam bayangan. Demi orang lain segera selesai dengan masalah yang sama, oke fiks posted. Semoga memberi manfaat untuk pembaca.