Ia terbangun dengan wajah nampak murung. Menuruni anak
tangga dengan seret kaki berderek.
“Pagi, Ibu.”
Mataku mengernyit, kening menyipit, “Ada apa, Sayang?”
“Aku lapar. Adakah makanan?” Ia bergegas pergi.
“Mengapa masih pura-pura?”
“Pura-pura? Aku hanya berusaha.”
Aku masih menghitung detik, mempertimbangkan menghampirinya.
“Kamu adalah pejuang anakku. Lebih kuat dari dugaku. Tapi
aku disini jika kau butuh teman menumpah lelah aksi tangguhmu. Ingatlah, aku
tidak akan membiarkanmu sendiri.”
Menghambur ke arahku, bulir tangis pilu membanjiri wajah
kami yang sendu.
“Ibu, Ibu dia pergi. Saat aku begitu mengharapnya menemani,
saat langkahku berdentum keras menghantam deduri lalu terhenti. Apapun silahkan
terjadi, tapi mengapa harus ini?”
“Kau beruntung.”
“Ibu kau tidak tahu.”
“Hanya dia yang pergi. Dulu aku tidak punya siapa-siapa
untuk menemani, kecuali sesapan teh melati di setiap saga yang selalu mati
karena kerinduan pada esok untuknya mengucap selamat pagi. Tidak ada Ibu yang merangkulku penuh syahdu ketika
tubuh mungilku terdampar pada pelik urusan. Namun aku meyakini, meski tidak
memiliki jilbab-jilbab berkibar lebar, bahwa Dia tak pernah luput mengasihi.
Tanpa sesiapa, aku beranjak meremaja. Badai-badai menemukan jati diri hampir
mengoyakku dalam pusarannya. Namun aku selalu berpikir dari pembelajaran yang
diajarkan keadaan. Belajar sendiri dengan caraku memahami. Sampai akhirnya aku
dewasa. Memilih jalan dan mengimani bahwa jalan itu terbaik menurut Illahi.
Akan tetapi aku sadar, berkali aku ikut berpusar di badai krisis jati diri,
namun aku tahu, meski kadang ragu untuk berlalu, itu merupakan suatu yang
keliru. Dan aku pun kembali, pada guru yang tak pernah mengacangiku sendiri,
keadaan. Belajar, menganalisa, menyimpulkan, sampai tercipta wacana relevan
bahwa aku harus berlari. Mengejar asa yang lama kuasingkan. Banyak
ketertinggalan, kegagalan, rendah diri, frustasi, namun aku tidak lagi sendiri.
Senyum kami mengembang.
“Dia kembali?”
“Bukan, bukan dia.”
“Lantas, siapa?”
“Ayahmu.” Aku menjawabnya dengan nada malu-malu.
“Bagaimana?”
“Apa?”
“Bagaimana ia begitu berpengaruhnya?”
“Meski tujuan kami tak pernah sama, aku tidak menjadikan
penghalang untuk tetap bersanding. Ia, tanpa banyak berkata, aku dapat melihat
aura motivasi yang begitu menginspirasi.”
“Apa itu, Ibu?”
“Kemauan menerima tetapan, yang kita sebut syukur. Pada
hakikatnya begitu sulit, namun ayahmu menerapkan tanpa kesulitan.”
Senyumnya kembali bak tentara.
Kau tahu, masaku tak
akan ku ulang padamu, putriku.
Ingatkan aku pabila
terlalu banyak bicara, namun lupa menghargai cerita.
Cela aku ketika
antusias mendengarkan orang lain, sayang alpa menemukanmu yang menerangi cahaya
dengan lilin.
Aku ingin kau tumbuh
dalam dekapan keluarga harmonis, ada pelukku yang siaga menopang ambrukku saat
beban menggelayut berat di pundak.