Emang pilih sekolah untuk anak itu dasarnya apa sih? Cap cip cup, gengsi, idealisme, or what?
Barusan dengar kabar ada anak dikeluarin dari sekolah dan sekolah si anak jadi viral. Berawal dari curhatan si anak ke guru les dan guru les (mungkin) merasa kasian dengan muridnya. Lalu si guru menyebarkan berita ini ke media masa dan ndilalah jadi tranding topic; "Dikeluarkan dari sekolah karena ucapan Selamat Ulang Tahun kepada lawan jenis". Wow, hotline yang luar biasa ya.
Pihak sekolah jelas tidak terima dengan berita tersebut dan melakukan klarifikasi, meskipun tidak menyebut alasan khusus kenapa si murid dikeluarkan dari sekolah.
Anw, aku alumni sekolah itu. Jadi tahu dalamnya kaya apa dan sudah pasti sekolah tidak akan mengeluarkan murid hanya karena ucapan selamat ulang tahun pada lawan jenis.
Pun, aku pernah dapat murid les yang sekolahnya setipe dengan sekolahku dulu. Murid lesku kalau sambat jangan ditanya. Seandainya tidak pernah merasakan sekolah di sekolahan yang setipe dengan muridku, aku akan memberi penilaian negatif pada guru dan sekolah. Hla gimana enggak, muridku pernah cerita hanya karena dia melakukan kesalahan sepele, pihak sekolah memberinya poin banyak.
Jadi poin itu semacam penilain negatif yang diangkakan dan diberikan kepada siswa pelanggar aturan sekolah. Akumulasi poin tertentu akan mendapat hukuman tertentu. Makin berat aturan yang dilanggar, makin tinggi poin yang didapat, dan makin berat hukuman yang harus dikerjakan.
Tiap kali muridku cerita soal guru dan sekolahnya, tanggapanku lempeng aja sih. Awal-awal dengar curhatnya, aku selalu kasih komen, "Ealah dek, mana mungkin sih kaya gitu. Kamu sama temanmu yang emang lebay kali". Karena dia memaksa tingkat dewa kalau sekolahnya salah dan dia beserta teman-temannya adalah benar; pun aku pengen cepet-cepet kasih materi biar gajiku nggak buta sekedar dengerin muridku curhat; pada akhirnya aku akan bilang, "Ih masa gitu. Serius?". Lalu aku alihkan dia untuk lekas belajar dan stop gosip.
Serius ya, kalau aku tidak pernah merasakan bersekolah di sekolahan setipe dengan muridku, aku akan merasa iba padanya. Lalu merasa wajib bantu dia keluar dari penderitaannya dengan memviralkan kisah-kisahnya ke publik. Sama seperti kisah "kepahlawanan" guru les yang sedang naik daun itu.
Karena aku merasakan nyaman nggak nyamannya sekolah di sekolahan tipe X itu, aku tidak pernah punya niatan menyekolahkan Kaisar di sekolahan serupa. Kalau uangku hanya cukup untuk menyekolahkan Kaisar di sekolahan bertipe X dan tidak punya uang lebih untuk menyekolahkan di tempat yang lebih bagus, aku akan memilih sekolahnya negara saja katimbang sekolah tipe X itu. Jangan dihujat ya. Setiap kita punya sudut memandang yang berbeda dan itu tidak papa, kan.
Tidak semua siswa yang sekolah di sekolahan tipe X tidak baik. Banyak yang cerdas, akhlaknya mulia, sopan santunnya terjaga, pun bisa membentengi diri dari hal-hal yang dilarang agama di masa muda yang penuh kegamangan. Banyak. Hanya karena kesalahan kecil satu orang, tidak bisa digeneralisir bahwa sekolah bertipe X hanya mengedapankan tampilan luar. Sekali lagi kutegaskan, aku tidak memberi label buruk pada sekolah bertipe X.
Kalau merunut ke belakang, ke jaman simbah-simbah kita dulu, siapa sih yang mau sekolah? Buat makan saja uangnya pas-pasan, gimana mau bayar sekolah? Bahkan ada tetanggaku yang cerita kalau jaman dulu, pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang akan hidup layak. Padahal kalau bisa raih pendidikan tinggi, peluang dapat pekerjaan bagusnya juga tinggi, a.k.a PNS. Tapi jaman dulu PNS gajinya kecil sih ya, mana ada yang mau jadi PNS. Lebih menyenangkan ke sawah atau beternak, uangnya banyak dan hidup nglaraszz.
Sekarang orang berlomba menyekolahkan anak di sekolah terbaik di kota masing-masing. Bahkan kalau di kotanya tidak ada sekolahan bagus, akan mengirim anak mereka ke luar kota bahkan luar pulau hanya untuk sekolah. Sepercaya itu orang sekarang sama sekolah. Karena jaman berubah, makin tinggi pendidikan seseorang, hidupnya makin layak dan makin dihargai.
Di circleku saat ini, sekolah bagus itu masih sekolah bertipe X. Aku pribadi, sekolah bagus itu ya sekolah internasional. Tapi aku sadar sih kalau aku bukan sesiapa. Membayangkan jumlah uang yang harus kutabung untuk menyekolahkan Kaisar di sekolah internasional saja rasanya mustahil terpenuhi. Tapi Allah Maha Kaya, kan ya. Siapa tahu suatu hari nanti, dalam waktu dekat ini, sebelum Kaisar masuk SD, tetiba Mas Bely jadi sultan dan simsalabim aku tidak perlu rekoso nabung, mak jegagik uang untuk menyekolahkan Kaisar di sekolah internasional sudah ada di depan mata.
Kenapa sekolah internasional? Bukan karena gengsi hlo ya. Bukan banget. Tapi aku berpikir, orang akan dibagi ke dalam dua golongan. Pertama, mereka yang bingung mau ngapain saking tidak adanya hal yang bisa dikerjain. Kedua, mereka yang kebingungan harus ngapain dulu saking banyaknya pekerjaan.
Jaman dulu ya, jaman aku masih sekolah. Sekolah bertipe X memang sih, berangkat pagi pulang sore. Sampai rumah sudah capek dan merasa tidak punya waktu untuk ini itu. Ditambah jarak rumahku ke sekolah sangatlah jauh dan aku berangkat-pulang sekolah selalu naik bus. Capeknya dobel-dobel. Aku merasa tidak punya waktu karena waktuku habis di sekolah. Sayangnya, akutu disekolah merasa kurang kerjaan. Santuy banget sekolahnya. Tidak ada yang mengejarku untuk melakukan lebih. Tidak diperas untuk memaksa otak bekerja keras. Pun, obrolanku dan teman-teman hanya seputar kehidupan remaja yang hura-hura; buku fiksi, cinta, kdrama, anime, film, and any else yang tidak menunjang kecerdasan sama sekali.
Sementara adikku yang sekolah di sekolahnya negara, kerja keras luar biar biasa bisa ngikuti pelajaran, bisa mengerjakan pekerjaan rumah yang sulitnya minta ampun. Semacam perjuangannya menuntut ilmu adalah sungguh-sungguh gitu hlo.
Saking gabutnya aku dan teman-temanku di sekolah mungkin ya, drama yang tercipta menurutku luar biasa. Tapi aku tidak bisa cerita disini, karena sampai sekarangpun aku tidak tahu kebenaran masa lalu itu seperti apa. Yang jelas aku dulu juga punya praduga negatif pada sekolahku; mereka yang anak-anak orang kaya dan melakukan kesalahan, sekolah kasih warning biasa aja. Mereka yang anaknya orang biasa dan melakukan kesalahan, sekolah kasih hukuman luar biasa. Tapi sekali lagi aku tidak tahu benarnya seperti apa. Yang kuyakini, sekolahku digawangi oleh guru-guru yang bijaksana dan insya Allah hatinya terjaga. Jadi, aku percaya bahwa mereka adalah manusia yang bisa dipercaya karena mengimani setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Sang Pemberi Titipan.
Sekali lagi bukan menjelekkan ya. Gambaran mengenai sekolah tipe X ini hanya dari sudutku dan pengalaman masa laluku. Ini aku, dan tidak memaksa kalian berstatemen sama.
Itu pun cerita lama. Aku SMP SMA udah bertahun-tahun lalu. Barangkali sekarang tuntutan kognitif di sekolah tipe X sudah lebih banyak jadi siswa tidak sekedar capek secara fisik.
Lagi pula sekarang sekolah negara juga disamaratakan, kan. Nggak ada sekolah unggulan lagi karena sekarang sistemnya zonasi. Memang pilihan sekolah ternyaman itu yang paling dekat dengan rumah sih. Tapi ya kalau tinggal di ku gini, sekolah mana aja akan jauh. Saking ndlesepnya desaku. Lol.
Sekolah internasional gimana? Sezuzurnya aku miskin info soal sekolah internasional. Sengaja tidak cari info lebih banyak karena hopeless duluan, "emang mampu nyekolahin anak disana?". Maksud mampu disini bukan sekedar kuat bayar uang pangkal dan SPP hlo ya. Tapi juga membiayai gaya hidup; mulai dari antar jemput naik mobil apa, peralatan sekolah, habisin weekend dimana, liburan semester kemana, bebeli barang-barang tidak penting macam figure or else (barang-barang pricy) apa aja, etc. Kasihan sekali kalau Kaisar sekolah di sekolahan internasional tapi malah jadi minder atau dibully karena tidak setara dengan teman-temannya. Nggak tega aku mah jadi ibu. Pernah nonton Kdrama The Heirs kan? Takut aja kalau anakku diperlakukan semena-mena sama teman sekolahnya.
Padahal sendirinya miskin info sekolah internasional, kenapa punya kepengenan nyekolahin anak disana?
Kalian pasti pernah dengar tentang kisah galaunya seorang musisi Indonesia karena diterima di dua universitas kenamaan dunia. Akan biasa saja kalau seseorang galau memilih antara dua universitas terbaik Indonesia. Tapi ini univ terbaik tingkat dunia hlo. Keren banget kan. Kita semua sampai termlongo-mlongo lalu stalking akun instagram musisi itu. Dan tertemukanlah kenyataan bahwa dia alumni sekolah internasional.
That is the reason kenapa aku punya kepengenan nyekolahin Kaisar di sekolah internasional. Tapi tidak ambi juga sih karena sadar hamba ini siapa. Lol.
Sudahlah, toh sebenarnya sebaik-baik penjagaan adalah Ia yang memberi titipan. Mau disekolahin mana aja kalau sebagai orang tua aku B, mana bisa anakku A.
Merencana itu boleh, yang tidak boleh adalah mendikte Sang Pemilik Cerita. Sudah, gitu aja. Jadi, kalau sekarang aku punya angen-angen nyekolahke Kaisar di sekolah internasional tapi nyatanya aku tidak mampu, ya nggak papa banget, aku tidak sedih. Niatku adalah kasih pendidikan terbaik versiku untuk anakku, bukan sekedar gaya-gayaan dan pamer pada dunia, "ini hlo, anakku sekolahnya mahal". Nggak sama sekali.
Lagi pula, kalau Kaisar punya bakat diluar kemampuan kognitif yang menonjol dan di atas rata-rata, badminton misal, aku akan tidak menyekolahkan Kaisar di sekolah bagus. Ngapain buang-buang uangku dan waktu Kaisar untuk sekolah di sekolah bagus. Lebih baik dipakai untuk les badminton, kan.
Kembali, bagaimana nanti sudah tertulis rapi. Aku hanya merencana dan setiap cerita punya pemiliknya. Kalian juga boleh hlo merencana mau sekolahin anak dimana. Siap-siap semuanya dari sekarang; soal ujian masuknya, soal biaya, soal gaya hidup di sekolah incaran.
Anw, kalau bukan turunan sultan, biaya sekolah itu selalu jadi momok, kan. Ayo mulai menabung. Nggak papa hidupmu sekarang tidak sefancy teman-temanmu, asal tabungan pendidikan anakmu meningkat eksponensial. Karena aku selalu berprinsip, "mahal murahnya sesuatu akan sebanding dengan kualitas nilai yang diperoleh". Jadi, jangan eman kasih pendidikan yang mahal buat anak. Semangat ya semuaaa.
Ps: ditulis sejak cerita anak sekolah itu viral.