Beliau --

on Sabtu, 23 Februari 2013



Hari ini aku bertemu dengan ibu baru. Cukup mengobati perih luka atas kejadian penolakan karena kekurangan. Ibu, yang mampu menjamah air mata dari tempat persembunyiannya. Sungguh, hampir-hampir aku menangis, namun hentakan angin membangunkan dari peka yang dicipta perasaan. Tuturnya menenangkan, solutif dan penuh kejujuran. Memang beda dengan ia yang jadi puja, tidak punya tatap tajam, kalimat-kalimat cepat dan mimik berpikir keras. Justru kelembutannya lah yang membuat terpana.

Jumpa pertama, namun mengandung sejuta makna. Meski aku tahu, begitulah ia dengan pribadinya. Mungkin ia lupa, atau baginya tak terbesit kesan apa-apa. Cukup bicang hangat sebelum jumat, dan ia mengambil alih hatiku yang hampir-hampir melayu.

Dan aku, disibukkan kembali dengan urusan hati :)

Jumat, 22-02-2012. My room, 09. 12 pm

Memaknai pemahaman



Aku menatap dari kaca. Seakan tanpa nyata, nampak seyogyanya. Masih, tentang lalu lalang, tidak ada yang pedulikan. Dari sela lalu lalang, aku ada, mengamati dengan tanya namun tertahan pada diam.

Mungkin dalam jejaring sosial, mereka akan menuliskan beragam. Namun tidak untukku yang lebih suka membeku tenggelam pada pikirku yang berusaha baku. Seperti yang kau tahu, otakku mengalami gangguan dengan kebisingan. Semoga sebentar lagi bertemu dengan jawaban, dari tunggu yang hanya aku sendirian di tengah lalu lalang.
Dan mengenai memilih teman, mungkin aku sudah punya jawaban, memahami alasan, dan tidak lagi menyalahkan mengapa aku tak pernah hengkang dari kebisuan. Lebih baik tidak usah menawarkan, daripada mendapat penolakan. Ya, jujur aku sakit hati, barangkali ia begitu peka akan bahasa hati. 

Lagi, mengenai superioritas. Entah, selalu ku terbayang, jika nanti jadi orang besar, masihkah ada reremehan?

Seharusnya aku berkaca pada kisah perjalanan, bukan kemegahan. Seorang bapak mengatuh becak mengantar anaknya sekolah, pria tua dan dorongan serta cucunya yang masih balita, loper koran yang berusaha memberi banyak pemahaman.

Ya, akhirnya aku menulis, meski acak-acakan dan terganggu kebisingan. Terima kasih, Engkau yang memberiku kesempatan menulis..


Jumat, 22-02-2012. Depan ruang dosen BKK Akuntansi Gd B.

Kita Keluarga..



“Kita makin beda. Semoga tidak kujadikan alasan untuk tetap mencintaimu punuh ketulusan. Mungkin melalui kitalah, kakek nenek kita membalas salah mereka. Melalui keluarga yang terhubung kembali, secara darah maupun ikatan suci pernikahan.”

Berkali ku ingatkan, namun tidak jua kau pedulikan. Aku tidak sedang mengancam. Hanya berusaha mengindahkan masa depan, untuk itulah aku berubah, dan kita membeda. Aku, dan kembaliku pada masa lalu, dimasa sekarang menarikmu kencang sambil menyibak tinggi rerumputan, penghalang jalan. Namun tak jua kau sadar, betapa yang ku lakukan semata demi kebaikkan. Tak jua kau gunakan tanganmu yang lain, membantuku menyisir.
Selalu kubayang dalam angan, kita bergandeng tangan, bersama mematah rintangan, bersenandung riang, dan pada akhirnya menemukan rumah impian. Tawa dari keluarga yang penuh sahaja, mendoa sederhana untuk jumpa di surga.

Kamis, 21-02-2012. My room, before I sleep.

Ketika begitu berat ..

Ini mengenai letih. Dan setiap kita mengalaminya dengan intensitas berbeda.

Kadang aku berpikir, letih dan halus-kasar sama-sama ilusi. Akan beradaptasi dengan sendirinya, jalan yang yang terlalui. Meski aku tak menyangkal, menjadikannya bagian dari rasa bahagia telah merajut detik di hari ini dengan penuh harga, merupakan satu kebanggaan penuh syukur pada Ia Sang Pemberi Kesibukan.

Perasaan-perasaan itu hanya sebentar. Nantinya akan menghilang, atau sekarang pun bisa saja pudar pabila semangat terpupuk subur tumbuh dipikiran. Menumbuhkan semangatlah yang menjadi pekerjaan rumah lanjutan dan perlu direnungkan. Lagi pula, untuk apa hidup, jika dihabiskan dengan kemubadziran? Sayang bukan? Pun, kepuasannya tak akan sama, kerena setiap perolehan memiliki kadar kualitas masing-masing. Karena tak ada perbuatan yang tak berbalas, meski takdir berkarakteristik unik dalam membayar jerik kita yang payah. Terkadang melalui canda untuk memahamkan akan kekufuran, seringkali lewat nikmat tanpa batas menguji kesanggupan hamba mengucap segala puji.

Terlebih malam ini, berdosa sekali mengubur cita mereka untuk tulis baca. Kegigikan dalam meningkatkan kualitas hidup, layaknya aku dengan serangkai rutinitasku. Untuk memaknai kehidupan lebih lagi, memberi lebih banyak, memperoleh lebih baik.

Kamis, 21-12-2012. My room, menjelang isya’.

Khayalan Pagi



Ia terbangun dengan wajah nampak murung. Menuruni anak tangga dengan seret kaki berderek.

“Pagi, Ibu.”

Mataku mengernyit, kening menyipit, “Ada apa, Sayang?”

“Aku lapar. Adakah makanan?” Ia bergegas pergi.

“Mengapa masih pura-pura?”

“Pura-pura? Aku hanya berusaha.”

Aku masih menghitung detik, mempertimbangkan menghampirinya.

“Kamu adalah pejuang anakku. Lebih kuat dari dugaku. Tapi aku disini jika kau butuh teman menumpah lelah aksi tangguhmu. Ingatlah, aku tidak akan membiarkanmu sendiri.”

Menghambur ke arahku, bulir tangis pilu membanjiri wajah kami yang sendu.

“Ibu, Ibu dia pergi. Saat aku begitu mengharapnya menemani, saat langkahku berdentum keras menghantam deduri lalu terhenti. Apapun silahkan terjadi, tapi mengapa harus ini?”

“Kau beruntung.”

“Ibu kau tidak tahu.”

“Hanya dia yang pergi. Dulu aku tidak punya siapa-siapa untuk menemani, kecuali sesapan teh melati di setiap saga yang selalu mati karena kerinduan pada esok untuknya mengucap selamat pagi. Tidak ada Ibu yang merangkulku penuh syahdu ketika tubuh mungilku terdampar pada pelik urusan. Namun aku meyakini, meski tidak memiliki jilbab-jilbab berkibar lebar, bahwa Dia tak pernah luput mengasihi. Tanpa sesiapa, aku beranjak meremaja. Badai-badai menemukan jati diri hampir mengoyakku dalam pusarannya. Namun aku selalu berpikir dari pembelajaran yang diajarkan keadaan. Belajar sendiri dengan caraku memahami. Sampai akhirnya aku dewasa. Memilih jalan dan mengimani bahwa jalan itu terbaik menurut Illahi. Akan tetapi aku sadar, berkali aku ikut berpusar di badai krisis jati diri, namun aku tahu, meski kadang ragu untuk berlalu, itu merupakan suatu yang keliru. Dan aku pun kembali, pada guru yang tak pernah mengacangiku sendiri, keadaan. Belajar, menganalisa, menyimpulkan, sampai tercipta wacana relevan bahwa aku harus berlari. Mengejar asa yang lama kuasingkan. Banyak ketertinggalan, kegagalan, rendah diri, frustasi, namun aku tidak lagi sendiri.

Senyum kami mengembang.

“Dia kembali?”

“Bukan, bukan dia.”

“Lantas, siapa?”

“Ayahmu.” Aku menjawabnya dengan nada malu-malu.

“Bagaimana?”

“Apa?”

“Bagaimana ia begitu berpengaruhnya?”

“Meski tujuan kami tak pernah sama, aku tidak menjadikan penghalang untuk tetap bersanding. Ia, tanpa banyak berkata, aku dapat melihat aura motivasi yang begitu menginspirasi.”

“Apa itu, Ibu?”

“Kemauan menerima tetapan, yang kita sebut syukur. Pada hakikatnya begitu sulit, namun ayahmu menerapkan tanpa kesulitan.”

Senyumnya kembali bak tentara.

Kau tahu, masaku tak akan ku ulang padamu, putriku.
Ingatkan aku pabila terlalu banyak bicara, namun lupa menghargai cerita.
Cela aku ketika antusias mendengarkan orang lain, sayang alpa menemukanmu yang menerangi cahaya dengan lilin.
Aku ingin kau tumbuh dalam dekapan keluarga harmonis, ada pelukku yang siaga menopang ambrukku saat beban menggelayut berat di pundak.