Tentang Sekolah

on Sabtu, 29 Februari 2020

Emang pilih sekolah untuk anak itu dasarnya apa sih? Cap cip cup, gengsi, idealisme, or what?

Barusan dengar kabar ada anak dikeluarin dari sekolah dan sekolah si anak jadi viral. Berawal dari curhatan si anak ke guru les dan guru les (mungkin) merasa kasian dengan muridnya. Lalu si guru menyebarkan berita ini ke media masa dan ndilalah jadi tranding topic; "Dikeluarkan dari sekolah karena ucapan Selamat Ulang Tahun kepada lawan jenis". Wow, hotline yang luar biasa ya.

Pihak sekolah jelas tidak terima dengan berita tersebut dan melakukan klarifikasi, meskipun tidak menyebut alasan khusus kenapa si murid dikeluarkan dari sekolah.

Anw, aku alumni sekolah itu. Jadi tahu dalamnya kaya apa dan sudah pasti sekolah tidak akan mengeluarkan murid hanya karena ucapan selamat ulang tahun pada lawan jenis.

Pun, aku pernah dapat murid les yang sekolahnya setipe dengan sekolahku dulu. Murid lesku kalau sambat jangan ditanya. Seandainya tidak pernah merasakan sekolah di sekolahan yang setipe dengan muridku, aku akan memberi penilaian negatif pada guru dan sekolah. Hla gimana enggak, muridku pernah cerita hanya karena dia melakukan kesalahan sepele, pihak sekolah memberinya poin banyak.

Jadi poin itu semacam penilain negatif yang diangkakan dan diberikan kepada siswa pelanggar aturan sekolah. Akumulasi poin tertentu akan mendapat hukuman tertentu. Makin berat aturan yang dilanggar, makin tinggi poin yang didapat, dan makin berat hukuman yang harus dikerjakan.

Tiap kali muridku cerita soal guru dan sekolahnya, tanggapanku lempeng aja sih. Awal-awal dengar curhatnya, aku selalu kasih komen, "Ealah dek, mana mungkin sih kaya gitu. Kamu sama temanmu yang emang lebay kali". Karena dia memaksa tingkat dewa kalau sekolahnya salah dan dia beserta teman-temannya adalah benar; pun aku pengen cepet-cepet kasih materi biar gajiku nggak buta sekedar dengerin muridku curhat; pada akhirnya aku akan bilang, "Ih masa gitu. Serius?". Lalu aku alihkan dia untuk lekas belajar dan stop gosip.

Serius ya, kalau aku tidak pernah merasakan bersekolah di sekolahan setipe dengan muridku, aku akan merasa iba padanya. Lalu merasa wajib bantu dia keluar dari penderitaannya dengan memviralkan kisah-kisahnya ke publik. Sama seperti kisah "kepahlawanan" guru les yang sedang naik daun itu.

Karena aku merasakan nyaman nggak nyamannya sekolah di sekolahan tipe X itu, aku tidak pernah punya niatan menyekolahkan Kaisar di sekolahan serupa. Kalau uangku hanya cukup untuk menyekolahkan Kaisar di sekolahan bertipe X dan tidak punya uang lebih untuk menyekolahkan di tempat yang lebih bagus, aku akan memilih sekolahnya negara saja katimbang sekolah tipe X itu. Jangan dihujat ya. Setiap kita punya sudut memandang yang berbeda dan itu tidak papa, kan.

Tidak semua siswa yang sekolah di sekolahan tipe X tidak baik. Banyak yang cerdas, akhlaknya mulia, sopan santunnya terjaga, pun bisa membentengi diri dari hal-hal yang dilarang agama di masa muda yang penuh kegamangan. Banyak. Hanya karena kesalahan kecil satu orang, tidak bisa digeneralisir bahwa sekolah bertipe X hanya mengedapankan tampilan luar. Sekali lagi kutegaskan, aku tidak memberi label buruk pada sekolah bertipe X.

Kalau merunut ke belakang, ke jaman simbah-simbah kita dulu, siapa sih yang mau sekolah? Buat makan saja uangnya pas-pasan, gimana mau bayar sekolah? Bahkan ada tetanggaku yang cerita kalau jaman dulu, pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang akan hidup layak. Padahal kalau bisa raih pendidikan tinggi, peluang dapat pekerjaan bagusnya juga tinggi, a.k.a PNS. Tapi jaman dulu PNS gajinya kecil sih ya, mana ada yang mau jadi PNS. Lebih menyenangkan ke sawah atau beternak, uangnya banyak dan hidup nglaraszz.

Sekarang orang berlomba menyekolahkan anak di sekolah terbaik di kota masing-masing. Bahkan kalau di kotanya tidak ada sekolahan bagus, akan mengirim anak mereka ke luar kota bahkan luar pulau hanya untuk sekolah. Sepercaya itu orang sekarang sama sekolah. Karena jaman berubah, makin tinggi pendidikan seseorang, hidupnya makin layak dan makin dihargai.

Di circleku saat ini, sekolah bagus itu masih sekolah bertipe X. Aku pribadi, sekolah bagus itu ya sekolah internasional. Tapi aku sadar sih kalau aku bukan sesiapa. Membayangkan jumlah uang yang harus kutabung untuk menyekolahkan Kaisar di sekolah internasional saja rasanya mustahil terpenuhi. Tapi Allah Maha Kaya, kan ya. Siapa tahu suatu hari nanti, dalam waktu dekat ini, sebelum Kaisar masuk SD, tetiba Mas Bely jadi sultan dan simsalabim aku tidak perlu rekoso nabung, mak jegagik uang untuk menyekolahkan Kaisar di sekolah internasional sudah ada di depan mata.

Kenapa sekolah internasional? Bukan karena gengsi hlo ya. Bukan banget. Tapi aku berpikir, orang akan dibagi ke dalam dua golongan. Pertama, mereka yang bingung mau ngapain saking tidak adanya hal yang bisa dikerjain. Kedua, mereka yang kebingungan harus ngapain dulu saking banyaknya pekerjaan.

Jaman dulu ya, jaman aku masih sekolah. Sekolah bertipe X memang sih, berangkat pagi pulang sore. Sampai rumah sudah capek dan merasa tidak punya waktu untuk ini itu. Ditambah jarak rumahku ke sekolah sangatlah jauh dan aku berangkat-pulang sekolah selalu naik bus. Capeknya dobel-dobel. Aku merasa tidak punya waktu karena waktuku habis di sekolah. Sayangnya, akutu disekolah merasa kurang kerjaan. Santuy banget sekolahnya. Tidak ada yang mengejarku untuk melakukan lebih. Tidak diperas untuk memaksa otak bekerja keras. Pun, obrolanku dan teman-teman hanya seputar kehidupan remaja yang hura-hura; buku fiksi, cinta, kdrama, anime, film, and any else yang tidak menunjang kecerdasan sama sekali.

Sementara adikku yang sekolah di sekolahnya negara, kerja keras luar biar biasa bisa ngikuti pelajaran, bisa mengerjakan pekerjaan rumah yang sulitnya minta ampun. Semacam perjuangannya menuntut ilmu adalah sungguh-sungguh gitu hlo.

Saking gabutnya aku dan teman-temanku di sekolah mungkin ya, drama yang tercipta menurutku luar biasa. Tapi aku tidak bisa cerita disini, karena sampai sekarangpun aku tidak tahu kebenaran masa lalu itu seperti apa. Yang jelas aku dulu juga punya praduga negatif pada sekolahku; mereka yang anak-anak orang kaya dan melakukan kesalahan, sekolah kasih warning biasa aja. Mereka yang anaknya orang biasa dan melakukan kesalahan, sekolah kasih hukuman luar biasa. Tapi sekali lagi aku tidak tahu benarnya seperti apa. Yang kuyakini, sekolahku digawangi oleh guru-guru yang bijaksana dan insya Allah hatinya terjaga. Jadi, aku percaya bahwa mereka adalah manusia yang bisa dipercaya karena mengimani setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Sang Pemberi Titipan.

Sekali lagi bukan menjelekkan ya. Gambaran mengenai sekolah tipe X ini hanya dari sudutku dan pengalaman masa laluku. Ini aku, dan tidak memaksa kalian berstatemen sama.

Itu pun cerita lama. Aku SMP SMA udah bertahun-tahun lalu. Barangkali sekarang tuntutan kognitif di sekolah tipe X sudah lebih banyak jadi siswa tidak sekedar capek secara fisik.

Lagi pula sekarang sekolah negara juga disamaratakan, kan. Nggak ada sekolah unggulan lagi karena sekarang sistemnya zonasi. Memang pilihan sekolah ternyaman itu yang paling dekat dengan rumah sih. Tapi ya kalau tinggal di ku gini, sekolah mana aja akan jauh. Saking ndlesepnya desaku. Lol.

Sekolah internasional gimana? Sezuzurnya aku miskin info soal sekolah internasional. Sengaja tidak cari info lebih banyak karena hopeless duluan, "emang mampu nyekolahin anak disana?". Maksud mampu disini bukan sekedar kuat bayar uang pangkal dan SPP hlo ya. Tapi juga membiayai gaya hidup; mulai dari antar jemput naik mobil apa, peralatan sekolah, habisin weekend dimana, liburan semester kemana, bebeli barang-barang tidak penting macam figure or else (barang-barang pricy) apa aja, etc. Kasihan sekali kalau Kaisar sekolah di sekolahan internasional tapi malah jadi minder atau dibully karena tidak setara dengan teman-temannya. Nggak tega aku mah jadi ibu. Pernah nonton Kdrama The Heirs kan? Takut aja kalau anakku diperlakukan semena-mena sama teman sekolahnya.

Padahal sendirinya miskin info sekolah internasional, kenapa punya kepengenan nyekolahin anak disana?

Kalian pasti pernah dengar tentang kisah galaunya seorang musisi Indonesia karena diterima di dua universitas kenamaan dunia. Akan biasa saja kalau seseorang galau memilih antara dua universitas terbaik Indonesia. Tapi ini univ terbaik tingkat dunia hlo. Keren banget kan. Kita semua sampai termlongo-mlongo lalu stalking akun instagram musisi itu. Dan tertemukanlah kenyataan bahwa dia alumni sekolah internasional.

That is the reason kenapa aku punya kepengenan nyekolahin Kaisar di sekolah internasional. Tapi tidak ambi juga sih karena sadar hamba ini siapa. Lol.

Sudahlah, toh sebenarnya sebaik-baik penjagaan adalah Ia yang memberi titipan. Mau disekolahin mana aja kalau sebagai orang tua aku B, mana bisa anakku A.

Merencana itu boleh, yang tidak boleh adalah mendikte Sang Pemilik Cerita. Sudah, gitu aja. Jadi, kalau sekarang aku punya angen-angen nyekolahke Kaisar di sekolah internasional tapi nyatanya aku tidak mampu, ya nggak papa banget, aku tidak sedih. Niatku adalah kasih pendidikan terbaik versiku untuk anakku, bukan sekedar gaya-gayaan dan pamer pada dunia, "ini hlo, anakku sekolahnya mahal". Nggak sama sekali.

Lagi pula, kalau Kaisar punya bakat diluar kemampuan kognitif yang menonjol dan di atas rata-rata, badminton misal, aku akan tidak menyekolahkan Kaisar di sekolah bagus. Ngapain buang-buang uangku dan waktu Kaisar untuk sekolah di sekolah bagus. Lebih baik dipakai untuk les badminton, kan.

Kembali, bagaimana nanti sudah tertulis rapi. Aku hanya merencana dan setiap cerita punya pemiliknya. Kalian juga boleh hlo merencana mau sekolahin anak dimana. Siap-siap semuanya dari sekarang; soal ujian masuknya, soal biaya, soal gaya hidup di sekolah incaran.

Anw, kalau bukan turunan sultan, biaya sekolah itu selalu jadi momok, kan. Ayo mulai menabung. Nggak papa hidupmu sekarang tidak sefancy teman-temanmu, asal tabungan pendidikan anakmu meningkat eksponensial. Karena aku selalu berprinsip, "mahal murahnya sesuatu akan sebanding dengan kualitas nilai yang diperoleh". Jadi, jangan eman kasih pendidikan yang mahal buat anak. Semangat ya semuaaa.

Ps: ditulis sejak cerita anak sekolah itu viral.

Penguatan Diri #1

on Selasa, 25 Februari 2020

Berisik soal tidak mau menggadaikan anak demi keegoisan diri, sementara lupa bahwa setiap waktu bersama justru menoreh luka pada hati si kecil. Mungkin ia akan lupa. Tapi rasa bersalahmu tak akan lekang oleh masa. Telah menatu hatinya dengan amarah yang tidak perlu. Minta maaf saja tidak menyelesai semua. Kamu perlu sembuh. Cari cara untuk sembuh adalah tugas beratmu.

Tapi ingat, hanya karena kamu sakit bukan berarti kamu diijinkan abai pada hak anakmu untuk bermain. Tugas utamamu tetap menemaninya bermain sembari mengobati jiwamu yang penyakitan. Barangkali membuat rancangan permainan untuk anak adalah salah satu obat untuk kesembuhan mentalmu. Mari dicoba, jangan cuma ditulis saja. Kamu bisa, Nia.

Tidak perlu memaksa harus begini begitu agar seperti ini dan anu. Bagi Kaisar, dirimu adalah cukup. Tidak perlu takut anakmu tidak tumbuh seperti anak ini atau anu. Semata Kaisar hanyalah titipan, dan sebaik-baik penjagaan adalah Dia yang memberimu amanah itu. Kembalikan pada pemiliknya, niscaya semua akan baik-baik saja. Ingat, kamu hanya perlu taat.

Semangat Nia. Tidak perlu jadi ibu yang sempurna, cukuplah jadi ibu yang tidak pernah berhenti berusaha.

Cerita Kaisar 24022020

Menanyai diri sekaligus ragu dengan sendirinya, kenapa aku segalak itu?

Sedang lelah, atau mungkin terlalu banyak beban sampai rasanya terlalu lelah. Beban yang penciptanya diriku sendiri. Semenyebalkan itu dikelilingi laki-laki yang ngurusi dirinya sendiri saja tidak becus, apalagi diminta bertanggung jawab atas anak-istri. Lalu memaksa diri untuk membesarkan anak laki-lakiku agar tumbuh menjadi sosok yang penuh integritas. Sampai rasanya kewalahan karena aku saja tidak tahu integritas itu seperti apa dan bagaimana. Jadinya lelah, SELELAH itu sampai kerjanya MARAH-MARAH melulu.

Hari ini puncak banget. Harapannya besok udah sembuh sih. Membentak Kaisar sampai separah itu. Pasti akan membekas, dia akan selalu ingat bahwa mamanya galak. Aku tidak mau dengan sendirinya dia menjauh dariku karena aku galak. Galak mungkin tidak papa ya, tapi ngamuknya yang harus ilang. Galak means tegas dalam menegakkan kesepakatan-kesepakatan. Bukan berarti membentak ketika aku merasa Kaisar melanggar kesepakatan.

Sesepele dia nyuntak mainan dan berantakan parah. Awalnya aku nggak ngamuk. Bilang pelan-pelan kalau mainan tidak boleh sengaja dibikin berantakan dan beritikad bantu dia nata mainan biar agak rapian. Tapi malah dianya makin parah, mainan yang udah ku tata dibuang-buang lagi. Aku ngamuk. Sampai dua atau tiga kali ngamuk. Bahkan sempet mau ngambrukne meja mainan dia dengan niat biar berantakan semua sekalian mainannya.

Saking horornya sampai Sheza naik kasur karena takut. Lalu aku mesem, dan justru setelah mesem itu makin menjadi ngamuknya. Aku sedih banget kalau udah bentak parah gitu. Galak bukan berarti ngamuk kan ya. Galak itu Bu Susi. Dan aku malah manut sama Bu Susi. Galak itu tegas, menaati kesepakatan, dan menegakkan pelaksanaan konsekuensi. Bukan ngamuk, sekali lagi.

Bahkan sore waktu Kaisar dan Sheza main di halaman dan aku lihat mereka dorong truk di halaman, aku langsung nada tinggi meskipun belum sampai bentak.

Apa lagi ya, hari ini banyak bentak sih. Waktu Kaisar ngantuk siang hari dan tingkahnya ngeselin. Mau nyelup roti tawar berkali-kali ke gelas susu lalu dikobok-kobok. Ya aku nada tinggi lagi, bukan sekedar nada tinggi tapi bentak sih.

Bahkan ngomongan sama orang aja aku nggak bisa santai. Sama mas bely, sama mama, and else. Ya itu doang sih, soalnya lagi males juga imbas-imbis sama orang lain. Sekedar turun mobil dan beli ayam bakar aja nggak mau karena malas bosa-basi sama bakulnya.

Kasian Kaisar kalau aku gini terus. Nggak ada yang salah sih, pun saat ini ketika rejeki sedang sempit. Semua tertakar dan tidak tertukar. Kalau dirasa ada yang salah, yang perlu diperbaiki adalah diriku sendiri. Solatku kurang khusyuk, tilawahku kurang rutin, dzikirku kurang banyak, jadi aku lemah mengendali amarah karena posisi jiwaku saja salah; IMANKU SEDANG DIBAWAH.

Wahai diri. Gegara mainan berantakan saja kamu menyakiti hati anakmu separah itu. Apa kamu berpikir dia akan lupa dan tak menatu sama sekali diingatan soal sosok ibunya yang monster? Sekalipun dia lupa, tapi kamu tidak. Dan sesalmu akan panjang kalau tidak segera ambil tindakan. Semangat sembuh.

Solat khusyuk, tilawah rutin, dzikir yang banyak, menulis, membaca, dan Allah saja, Allah lagi, Allah terus.

Padahal hari ini Kaisar pintar sekali, sebangun tidur nggak pakai drama nangis dan malah mesam-mesem lucu. Pun makan lahap dan screen time sebentaran doang. Kenapa pada anak selucu, semanut, dan sepintar dia, aku sering ngamuk?

Semangat sembuh, wahai jiwa yang lemah. Meskipun terkadang salah, yang penting jangan mau kalah.

CPNS dan Jatah

Wow, tahun ini baru nulis empat judul. Itu pun belum ada yang dipublish di blog. Apakah aku akan berdalih tidak punya waktu untuk menulis karena CPNS? Bukan karena CPNS sih sebenarnya. Bukan banget. Karena waktuku habis buat tidur, makanya sekedar nulis yang cuma lima belas menit aja tidak ada waktu. Bisa dibilang hidupku gabut, useless.

Anw, pun karena CPNS, rasanya aku punya bahan tulisan buanyaak banget. Dan akan mulai kutulis SEKARANG juga.

Tentang CPNS dan jatah, apa bahasa Indonya jatah? Ketetapan?

Ya, CPNS itu, selain usaha keras baik kerja maupun usaha, ada faktor X besar dibaliknya. Dia adalah jatah. ~Serius aku nanya jatah itu bahasa Indonya apa sih?~ Mari kita terjemahkan jatah ke dalam bahasa Indonesia menjadi ketetapan saja. Karena kalau jatah diartikan takdir menurutku kurang pas.

Sebelum mengalami sendiri tes CPNS itu seperti apa, aku selalu beranggapan bahwa yang pintarlah yang akan lolos tes. Makanya aku belajar, meskipun tidak sekeras adikku. Tapi bisa dikategorikan aku belajar cukup keras ditengah lelahku ngurusi anak-anak. Sekali lagi, meskipun tidak sekeras adikku.

Setiap tryout di aplikasi berbayar, nilaiku selalu lumayan. Sampai aku berpikir, kalau soal tes nanti lebih mudah dari pada tryout, mungkin aku bisa dapat nilai kepala empat.

Adikku jangan ditanya. Mengerjakan soal tryout kategori sulit saja nilainya kepala empat. Bikin aku minder sekaligus semangat karena biasanya takdir kami berdekatan. Dalam hati berharap, kalau dia dapat nilai tes kepala empat, mungkin aku juga akan dapat kepala empat meskipun tiap tryout aku jarang dapat nilai kepala empat. Ngarep banget, tapi waktu itu pikirku "ih, bodo amat".

Basically aku dan adik-adikku punya bakat menghitung di atas rata-rata. Aku yang paling bodoh, adikku yang tes CPNS bareng aku yang paling pintar.

Waktu tes kami selisih satu hari. Aku tes tanggal 18 Februari sementara adikku tanggal 19. Ketika sedang mengerjakan soal, utamanya Tes Intelegensi Umum yang mana soalnya terdiri dari berhitung, silogisme, figural, posisi, dan analogi, aku yakin sekali akan dapat nilai tinggi. Terlebih, mengerjakan tryout yang soal TIUnya susah aja nilaiku lumayan, apalagi mengerjakan soal TIU segampang ini. Saking gampangnya soal tesku, aku jadi lupa dzikir dan merasa takabbur.

Selesai tes, submit jawaban dan nilai langsung muncul di layar komputer. Aku kaget, rasanya langsung tidak semangat dan pengen cepat-cepat pulang. TIUku cuma dapat poin 125. Sesedih itu. Padahal kupikir akan dapat 150. Kenapa bodoh sekali, soal gampangnya nggak karuan gini cuma dapat poin rendah. Marah, kesal, lelah, rasanya dunia hancur. Langsung menyalahkan diri sendiri karena tidak meneliti ulang jawaban padahal punya sisa waktu dua menit.

Aku tes setengah satu siang, selesai jam dua. Selesai tes langsung dzuhur sekaligus nunggu ashar. Sehabis ashar langsung cari busway ke stasiun. Di busway aku bener-bener seperti orang linglung. Otakku isinya cuma, "Ya Allah aku salah apa sampai poin TIUku serendah itu." Tetiba aku jadi kepikiran, satu-satunya alasan paling mungkin kenapa nilai TIUku jelek adalah salah klik pada opsi jawaban di soal figural. Seketika itu langsung WA adikku yang besok tes, warning dia untuk hati-hati lihat posisi opsi jawaban soal figural.

Oke baik, saking linglungnya aku, kesasarlah sampai kebun binatang Ragunan padahal harusnya transit Ampere dan ganti busway. Berkat kesasar ini aku jadi lupa kalau sedang sedih. Otakku berubah haluan, dari kepikiran gagal dapat nilai tinggi di tes SKD ke gimana caranya biar nggak ketinggalan bus Jakarta-Solo. Alhamdulillah, tsumma Alhamdulillah. Sesenang itu kesasar, serius. Nanti aku cerita ya gimana enak dan nggak enaknya transportasi di Jakarta. Ditulisan terpisah, Insya Allah.

Tanggal 19 malam adikku selesai tes. Aku kaget ketika dia WA kalau poin TIUnya cuma 135. Hah, adikku si jenius cuma dapat nilai serendah itu di tes semudah itu? Ih, nggak mungkin ah. Lalu dia cerita, sama sepertiku, sudah PD akan dapat nilai TIU tinggi. Eh, ternyata cuma 135.

Seketika aku berpikir, mungkin aku mengklik opsi jawaban benar di soal figural. Mungkin memang kunci jawabannya yang keliru. Human error selalu ada, apalagi tes CPNS yang katanya ada delapan ribu soal. Jelaslah bahwa human errornya akan tinggi sekalipun dibuat oleh mereka yang profesional.

Kalau adikku mendapat nilai TIU tinggi, aku akan tetap berpikir bahwa aku salah klik opsi jawaban. Karena, ini adikku hloh, si jenius yang nilai matematikanya selalu sempurna, yang kemampuan matematikanya di atas rata-rata. Mana mungkin cuma dapat poin 135 di soal TIU CPNS yang gampang luar biasa. Kalau bukan karena kunci jawaban yang keliru, adikku tidak mungkin dapat poin serendah itu.

Untungnya nilai kami rendah di TIU. Kalau rendah di TWK atau TKP mungkin aku tidak akan sesadar ini kalau PNS itu jatah. TIU jawabannya jelas kan ya (kecuali soal analogi sih). Kalau salah ya salah, kalau benar ya benar. Namanya matematika, satu tambah satu gimana pun jawabannya akan dua.

Saking mutlaknya jawaban benar dan salah dalam matematika, rasa-rasanya aku berani congkak kalau jawabanku yang benar, bukan jawaban yang bikin kunci. Lol.

Aku tidak menyalahkan sesiapa dalam tulisan ini. Sekali lagi, human error akan selalu ada sebaik-baik manusia berusaha. Tidak papa, kami legowo menerima jatah Yang Kuasa. Kalau tidak lolos CPNS tahun ini, semoga tahun depan. Insya Allah kami tidak akan kehilangan tekad dan terus semangat mengusaha terbaik versi masing-masing kami.

Yang ingin aku katakan, sekali lagi, CPNS itu jatah banget. Sekuat apa kamu berusaha kalau Allah Pemilik Cerita belum mengiyakanmu menjadi PNS, kamu akan tidak PNS. Percayalah karena aku mengalaminya sendiri. Dan untungnya lagi, poin jelekku ada di TIU yang mana jawaban benar dan salahnya jelas. Jadi aku benar-benar bisa mengimani sedalam itu kalau PNS itu JATAH.

Kalian yang sudah keras menempa banyak usaha baik kerja maupu doa, percayalah bahwa yang Ia nilai bukan hasil tapi proses yang rasanya selalu lelah. Tapi yakinlah, setiap proses lelah adalah ibadah, semoga menjadi pemberat neraca sisi kanan. Tetap bersyukur atas setiap capaian. Jangan berhenti berjuang karena manusia tidak tahu kapan Ia akan mengiya pinta.

Ingat, hanya karena kamu gagal bukan berarti Allah menistakanmu dan keberhasilan bukan sebuah kepastian Ia memberi kemuliaan. Percaya saja bahwa setiap alur ditulis dengan penuh sempurna tanpa perlu berprasangka buruk atas tetapanNya.

Ingat, tugasmu hanya taat, bukan mendikte Sang Penulis. Selamat bagi yang lolos CPNS tahun ini. Dan tetap semangat bagi para pejuang CPNS. Niatkan setiap lelah karena Allah; untuk mendekatkan diri kepada Sang Penulis Cerita, untuk menggapai surga Sang Pemilik Segala.

Ps: buat kalian yang hopeless duluan karena merasa tidak pintar, percayalah bahwa tes CPNS bukan sekedar adu pintar. Mendaftarlah selagi ada kesempatan. Setiap kita tidak tahu dijatah dimana dan kapan.
Yang memang tidak mau atau tidak bisa ndaftar CPNS, definisi hidup bukan sekedar PNS. Rejeki itu luas, tertakar, dan tidak tertukar. Poinnya adalah tetap berjuang di jalan masing-masing tanpa perlu berburuk sangka terhadap apapun.

Anak dan Hari Tua

Beberapa waktu lalu aku dan adikku ngobrol soal mau punya anak berapa. Adikku bukan tipe ibu yang anaknya harus dibesarkan dengan standar tidak terdefinisi dan semi mengangkat diluar kemampuan. Ya, dia tidak sepertiku yang harus sempurna segala sesuatunya soal pengasuhan anak. Sekaligus, dia tidak suka momong. Wkwk.

Lalu aku tanya, "Emang nggak kapok ngurus new born?". Dan dia bilang nggak kapok karena toh bisa dititip-titipkan. Kami ngakak sama-sama.

Alasan dia bersedia punya anak lagi karena takut kesepian di masa tua. Tetangga di komplek perumahannya, seorang nenek-nenek penyakitan yang tanpa teman. Malam ada penjaga bayaran yang nemani tidur. Paginya mbak penjaga pulang dan sepulang penjaga, pintu rumah selalu terkunci. Adikku bilang si nenek tiap siang teriak-teriak dari dalam rumah. Mungkin bosan atau entah ada apa.

Anak si nenek kemana? Anaknya cuma satu dan kerja di luar kota. Menurut cerita adikku, anak si nenek jarang berkunjung, benar-benar sejarang itu.

Adikku kasian sekaligus tidak mau hidupnya seperti nenek di kompleknya. Maka dari itu dia kepengen beranak banyak dengan harapan ada satu yang menemani di hari tua.

Dengan alasan adikku yang menolak kesepian kalau banyak anak, aku bilang bahwa justru akan lebih senang kalau anakku nanti berkarir di tempat yang jauh dan tinggal di tempat yang membuat dirinya berkembang. Malah nggak mau merepotkan karena mengurus orang tua itu rekoso. Meskipun pahalanya banyak tapi noto atinya juga harus pinter. Serekoso itu lah. Senggak nyamannya ngurus bayi, lebih nggak nyaman ngurus orang tua. Lagi pula, mereka pada akhirnya akan menikah dan punya anak. Biarlah mereka melanjutkan hidup dengan keluarga mereka tanpa orang tua yang merepotkan dan menambah beban .

Depan rumahku ada sepasang kakek nenek yang anaknya banyak. Sepertinya semua anak beliau tinggal sedesa dengan beliau. Tapi aku jarang tuh lihat anaknya berkunjung. Entah aku yang nggak lihat atau emang anaknya nggak berkunjung, entahlah.

Dari kisah kedua nenek itu aku menyimpulkan bahwa punya anak berapa dan tidak peduli anaknya jauh atau dekat, pada akhirnya ya akan sendirian. Beruntung nenek depan rumahku masih ditemani sang kakek alias suaminya. Kalau suaminya sudah meninggal mungkin akan sekesepian dan sekasian nenek di komplek perumahan adikku.

Sekaligus aku berdoa semoga aku dan mas Bely menua bersama seperti kakek nenek depan rumah kami. Dengan bekal agama dan kemauan belajar yang kuat agar tidak tergilas jaman. DOANYA. Nanti bagaimana, urusan Ia Sang Penulis Cerita.

Yang jelas, aku tidak setuju dengan harapan punya anak banyak biar masa tua tidak kesepian. Sekali lagi, anak-anak punya jalan hidupnya sendiri. Berhak menentukan arah kemana mau pergi. Biarkan mereka melanglang menjelajah bumi tanpa pikiran egois orang tua, "nanti rumah mama jatahnya si X. Jadi si X nggak boleh pergi dari rumah mama. Harus ngopeni dan nemeni mama sampai mama meninggal dunia". Ya kalau pasangan si X bahagia tinggal dengan mama X. Kalau enggak? Kan kasian. Ya kalau pekerjaan si X di kota yang sama dengan rumah mama X. Kalau beda kota dan jauh dari rumah mama X? Kan kasian.

Maka aku selalu mengafirmasi diriku sedari masih berlabel anak sampai sekarang berstatus sebagai orang tua dengan quote, "Anakmu bukan milikmu. Kamu tidak berhak menjadikan dirinya sebagai atau sepertimu". Pun tidak berhak mengatur hidupnya harus begini dan begitu. Apalagi memaksa salah seorang dari mereka harus tinggal dan ngopeni orang tua.

Iya, mereka hanya titipan, wahai Bapak dan Ibu. Tugas kita adalah membesarkan dengan penuh tanggung jawab dan kerja keras. Banyaklah berharap pada diri sendiri sebagai orang yang dititipi, bukan pada jiwa yang dititipkan. Paksa diri untuk membaik karena para titipan itu tidak akan menjadi baik kalau yang dititipi tidak baik. Muluklah dengan mimpi sebagai orang yang dititipi, bukan pada jiwa yang dititipkan. Mereka ada bukan karene meminta, tapi karena orang tua mengusahakan kedatangannya.

Kekhawatiran Pada Masa Depan Anak

on Senin, 24 Februari 2020

Pergi malam-malam dan ada aja anak laki-laki usia belasan sampai awal dua puluhan nongkrong sepanjang jalan; entah di hik, di halaman rumah orang, cafe, hingga bengkel yang demi apa sampai jam 9 malam masih buka.

Lalu aku nyletuk, "Kaisar sok mben piye yo?". Mas Bely jawab kurleb gini, "Ya nggak papa nongkrong, kenapa dilarang. Toh cuma duduk main hp sesekali ngobrol dengan teman. Lagi pula mana ada laki-laki Ngreden (red. Desa kami) yang nggak nongkrong. Aku ndisik yo nongkrong".

Dan dengan nada ngezelin aku bilang, "nek gawene nongkrong po mungkin iso kerjo ndek UNDP". Dan mas Bely, "Yo hoo yo. Mosok uripe ndak wengi mung arep dientekne dinggo hal ra manfaat".

Yes, that's the point. Apa manfaat nongkrong? Nggak ada sama sekali kecuali punya teman. Dari sudut pandangku yang sudah lewat dua puluhan, lebih baik tidak punya teman dari pada berteman dengan mereka yang toxic. Kalau masih remaja memang bisa berpikir sejauh itu? Belum lagi soal bullying, bakal dihina karena laki kok nggak nongkrong, dst dsb.

Rumit amat cuma masalah nongkrong doang. Karena ya memang, percayalah setelah tahu bahwa tespek menunjukkan dua garis biru, detik itu juga hidupmu mulai complicated. Makanya punya anak satu aja biar mumet mikir satu doang. Kalau banyak anak ya jelas frekuensi dan konsistensi mumetnya akan meningkat. Bisa gila kalau aku mah. Mohon maaf ya imanku memang serendah itu.

Sejauh ini kami belum menemukan solusi tertepat karena selain tidak tahu dua belas tahun lagi pergaulan di desa kami akan seperti apa dan atau kami akan tinggal dimana. Yang jelas jawaban termasuk akal sementara ini adalah carikan kegiatan yang positif.

Anak-anak dan remaja itu energinya berlimpah baik pikiran maupun kekuatan. Tapi kadang mereka bingung mau ngapain karena tidak ada hal bermanfaat yang bisa dikerjakan. Makanya kerjaan mereka ya mengerjakan hal-hal tidak manfaat bahkan cenderung merugi. Solusinya carikan kegiatan positif; yang bermanfaat, bermakna, mengembangkan diri mereka, membantu mereka gemilang di masa depan. Dan yang paling penting adalah dekatkan pada Tuhan.

Berbekal dari observasi bakat alaminya sampai dengan usia dua, aku sudah pikirkan beberapa hal yang mungkin bisa Kaisar kerjakan di masa remaja. Mana yang akan kejadian ya lihat saja dulu dia akan interest dimana.

Dan aku mengajak kalian untuk observasi anak kalian kiranya berbakat dibidang apa. Lalu carikan kegiatan yang bisa menunjang bakat alaminya sebagai penyalur energi berlimpah mereka di masa remaja. Kalau kalian tidak mau ya tidak apa-apa. Tidak memaksa sama sekali. Hanya, alangkah baiknya kalau semua hal tentang anak diobservasi dan dirumuskan sedari mereka kecil karena akan memudahkan orang tua membesarkan anak dalam jalan yang benar.

Kalaupun sudah diupayakan begini begitu ternyata Kaisar maunya masih nongkrong dengan teman-teman, ya mau diapa. Yang Allah nilai itu usaha alias prosesnya kan ya, bukan hasil akhir. Asal sudah keras berusaha, berproses sebaik mungkin, berdoa penuh harap dan rasa cemas; hasil akhirnya biar Allah yang tetapkan. Dia anak kami tapi kami tidak berhak menjadikan dia sebagai atau seperti kami. Toh anak remaja kalau dilarang-larang gitu bukannya malah jadi pembangkang berat ya.

Makanya dasar moral itu perlu banget. Sedari kecil, sedari dia nol tahun, sebagai orang tua kami berusaha contohkan dia value yang baik dengan harapan dia tumbuh dengan value sesuai dengan ajaran kami. Menanamkan keyakinan padanya bahwa kami satu-satunya yang dapat dipercaya dan membuatnya nyaman dalam setiap keadaan. Bukan pada teman-teman yang entah berlatar belakang seperti apa, tapi pada kamilah dia senang bergaul. Harapannya ya. Berharap muluk tidak dosa kan. Nyatanya sebagian besar remaja lebih percaya pada teman dan lebih nyaman dengan teman. Kalau dapat teman dengan value yang baik sih kepeneran ya. Tapi kalau temannya zonk. Ya wasalam.

Karena aku bukan ibu yang akan melarang Kaisar bergaul dengan X atau Y. Jadi lebih baik aku bikin dia lebih percaya dan nyaman denganku dari pada sibuk melarang Kaisar tidak boleh berteman dengan sesiapa. Lagi pula aku yakin, makin besar dia akan makin paham bahwa menghindari orang-orang beracun itu wajib.

Melarang anak nongkrong apa berarti melarang anak punya teman? Nongkrong dan punya teman bagiku sesuatu yang bedanya jelas. Punya teman itu ya yang membawa manfaat, bukan yang mengajak atau bisa diajak pada sesuatu yang tidak bermanfaat macam nongkrong. Pun, maksud dari nongkrong itu suatu pekerjaan yang hampir setiap malam kumpul di suatu tempat yaaa. Garis bawahi, hampir setiap malam. Bukan malam-malam tertentu misal malam liburan aja. Gimana, khawatir kan kalau tiap malam anak remajaku pamit, "Ma, dolan dulu". Akan klenger aku, JELAS.

Relosusi 2020

Sesenang itu bisa layat. Tahun ini sudah dua kali layat dan akan selalu melayat kecuali kalau aku yang jadi objek layat. Oh, horor hiks. Mau mendoa semoga dikasih panjang umur, tapi apa daya kalau semua kisah tertulis rapi bahkan sebelum si lakon lahir. Ya sudahlah, serah dan pasrah saja pada Yang Punya Cerita.

Resolusiku agak muluk atau bahkan muluk banget 2020 ini. Selain target harian, aku juga menulis hal-hal gila (lagi) yang kemungkinan besarnya akan tidak tercapai karena yaaa, nggak realistis aja.

Sekaligus aku ternganga ketika dua kali kematian dan dua kali itu pula melayat. Lalu jadi berpikir kalau sebenarnya untuk mencapai sesuatu cuma butuh diusahakan. Jadi, MUNGKIN kalau aku mengusahakan resolusi gilaku, akan bisa kucapai meskipun banyak hal harus terkorban. Yang penting berusaha aja dulu, hasil mah udah ada yang nulis. Mereka selalu memotivasi dengan perintah "berproseslah", bukan "berhasilah". Kalau berhasil, otomatis alhamdulillah sebenarnya. Lol.

Jadi mari kerja keras dan berdoa penuh harap serta rasa cemas, semoga resolusi yang ditulis dengan tinta bukan emas itu menyata biar bisa beli emas mulia. Hloh gimana wkwk.

Yang jelas aku maunya kerja 2020 ini. Kerja yang gajinya banyak dan dimata orang desa bergengsi gitu hlo. Ah, ngapain melulu masih memikir gengsi. Asal gajinya nyukupi untuk biaya foya-foya dunia, tabungan akhirat, dan biaya sekolah Kaisar aja, CUKUP.

Cukupku berlebihan nggak sih untuk kualitas diriku yang soft maupun hard skillnya rendah banget. Wkwk. Udalah, semua tertakdir. Maunya jadi PNS di Jakarta biar 'cukup' sesuai impianku bisa kuraih, meskipun nanti setelah dijalani akan merasa kurang (lagi). Tapi semua cerita punya alurnya. Tugasku cuma berusaha. Kalau takdirnya aku gagal seleksi, semua tertakdir. Aih, apakah aku sungguh sudah keras mengerja, wahai diri yang lemah konsistensi?

Pun aku merasa 2020 ini keadaan jiwaku membaik. Setelah seberat itu berjibaku dengan mental illness pasca punya anak. Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk struggling melalui banyak hal sulit, sekaligus terlalu singkat untuk menyembuhkan jiwa yang kelelahan lalu penyakitan. Maka aku bilang bahwa jiwaku membaik karena aku sadar bahwa sembuh bukan frasa yang tepat untuk mengungkap kondisi mentalku saat ini. Masih banyak yang harus diperbaiki agar benar-benar sembuh.

Tapi karena merasa membaik maka aku berani bermimpi lagi 😀. Biarlah terdengar tolol asal aku bahagia. Lagi pula, kalau saat ini semua yang aku punya bagi sebagian orang adalah previllege, itu semua karena aku menuliskannya. Jadi, untuk masa depan, tulis aja dulu maunya seperti apa. Kalau iyaNya senada, segala puji bagiNya. Kalau masih belum jadi punya, Dialah pemilik hidup manusia. Tetap berprasangka baik, bersyukur, dan berusaha. Betul?

Anw, semua yang aku tulis adalah usahaku untuk sembuh. Karena bagiku, aku menulis maka aku berobat. Jadi setiap kalimat yang kulontar bukan jaminan ia adalah aku. Semua adalah penguat diriku, bukan sepenuhkan definisi tentangku. Barangkali aku mampu menuliskan, bisa jadi masih sekuat tenaga berusaha mengimani. Jadi tolong, jangan judge aku dari tulisanku karena kamu akan keliru 😂😂.

Mari membaik bersama. Demi mereka yang tidak mungkin tumbuh menjadi shalih/shalihat tanpa orang tua yang berusaha memperbaiki diri menaati perintah dan menjauhi laranganNya. Apa gunanya jadi orang tua kalau tidak bisa menyontohi kebaikan pada ananda?

Mari bermimpi bersama. Demi dunia mereka yang meskipun sementara tapi merupakan tilas utama menuju kehidupan kekal selamanya. Apa gunanya tinggal di bumi kalau tidak bermimpi dan tidak punya orientasi?

2020 menjadi manusia bertakwa seutuhnya. Diberi kebaikan dunia yang membawa manfaat untuk kebaikan akhirat. Tercapai semua mimpi duniawi dengen berlelah mengusaha sebagai bandul pemberat amalan baik dihari perhitungan. Aamiiin.