Aku dan Mimpiku part 2

on Sabtu, 29 Juni 2019

Karena dari dulu modal hidupku itu cuma MIMPI. Ada yang menyata, ada yang entah apa kabarnya, ada yang ambu-ambunya bablas aja. Ya ndak apa wong namanya mimpi.

Banyak yang menyata atau yang tidak? Sepertinya banyak yang menyata.

Jadi, meskipun sekarang mimpiku (lagi-lagi) terdengar ketinggian dan tidak masuk akal, bodo amat! Aku percaya Allah Maha Kuasa dan semua sudah tertetap olehNya. Tinggal berusaha saja sekuat tenaga. Perkara hasil, Allah tidak pernah keliru dengan takaranNya.

Bos, anw, usahanya juga dilogika hlo. Sekiranya nggak mungkin mampu ya jangan dipaksa. Mimpinya aja yang jangan pakai logika. Wkwk.

Aku dan Mimpiku

Barusan ngobrol sama temen umbel via whatsapp. Dia bilang bahwa sejatinya tidak ada mimpi yang meninggalkan kita. Kitalah yang berhenti mengejarnya.

Lalu aku langsung ndusel-ndusel toodlerku yang lagi susah makan. Iya, benar. Aku meninggalkannya; mimpiku. Aku memilih makluk yang mendadak ada dalam hidupku daripada mimpi yang rapi kutulis entah sedari kapan.

Iya, benar. Awalnya susah sekali menerima kenyataan bahwa aku dinyatakan hamil dan tidak lolos seleksi administrasi beasiswa yang pradugaku karena hal sepele (tidak mengunggah surat keterangan sehat). Dua hal paling mengentekkan hati terjadi di tahun yang sama berjarak sebulan saja. Bagaimana rasa sensitifku? Ku misuh-misuh gaes mikir takdir yang mblereng. Ya Allah, ampunilah. Lol.

Ditambah kondisi ekonomi kami (aku dan suami) jauh dari kata stabil. Sepanjang kehidupan perhamilanku aku hanya bergulat dengan tanya pada diriku dan takdir masa depan, "Haruskah setelah jabang bayi ini lahir, aku meninggalkannya untuk mencarikan ia makan? Ibu macam apa aku. Sementara dalam list mimpi sepanjang rentetan gerbong Lodaya itu salah satunya adalah menjadi ibu yang stay di rumah menemani anak 24jam seharian? Haruskah semua list mimpi itu tak ada yang tercontreng? Iyakah semua silang? Omg hellooowww, hidup gue amblas gini dimana Engkau, Allah?".

Akhir tahun anakku lahir dan hidupku makin berasa berantakan. Ibarat piring, dibilang pecah saja tidak cukup. Remekmekmek sak emekemeknya laah pokoknya. Menggalau sejadinya-jadinya entah sampai anakku umur berapa baru aku bisa terbangun. Bahkan dalam bulan pertama ia hidup, aku masih berharap kelahirannya hanya mimpi. Iya, semacam berharap dia jangan ada padahal nyatanya dia sudah kutimang.

Mungkin 3 bulan setelah ia hidup, barulah aku benar-benar sadar.

Iya, meskipun masa sekarangku bukanlah masa depan yang diharapkan masa laluku; TAPI AKU BAHAGIA. Aku memiliki Kaisar dan mas Bely yang tak henti-hentinya membuatku tersenyum, yang membuatku banyak berdoa, yang mendekatkanku pada pemilik kami bertiga.

Terima kasih Allah telah menakdirkanku tidak lolos seleksi beasiswa. Terima kasih Allah telah menakdirkanku meteng dan berakhir momong. Aku sungguh bahagia menjadi ibu yang 24 jam ngurusi rumah. Sekalipun belajar sudah menjadi prioritas terakhir, tetap bisa to ra ketang sambil tikluk tikluk ngantuk. Sekalipun baca jurnal in english itu berakhir keturon, toh tetap kebaca to. Lagi pula ini belajar tanpa berujung ujian. Sebisanya aja, betul? Lol. Pembelaaan.