Sensitifku dan Angkuhmu

on Kamis, 04 Desember 2014


Haruskah kita hilang saat aku sedang menginginkan KITA selamanya?
Kita berada pada saling diam yang sama. Aku dengan sensitifitasku, dan kamu dengan angkuhmu.
Pertemanan yang kita bangun bertahun akhirnya rusak di satu hari dengan sebab yang konyol dan kekanakan sampai pada perang dingin berkepanjangan.
Berawal dari drama, namun kamu tak kunjung memahami kodeku.
Pada akhirnya, aku menunggumu dan kamu, mungkin, pun menungguku.

Dan aku tahu, dari kita sama-sama tidak akan ada yang memulai. Karena hati yang kujaga agar tidak disakiti ternyata harus hancur karena ulahmu yang kekanakan dan balasku yang konyol tak beralasan. Sementara angkuhmu, tak akan mendekati dan menyentuh hatiku yang terlanjur kau sakiti.

Apakah sebenarnya aku yang angkuh terhadapmu, sahabat? Tingkahkulah yang membuatmu memperlakukan aku seakan bukan siapa-siapamu di depan teman baruku? Karena aku merebut seseorang darimu? Kurangkah usahaku untuk menjadikanmu bagian dari kami? Merangkulmu setiap aku bisa, menyanya kabarmu selagi lenggang. Namun sahabat, bertanyalah pada dirimu apa balas terhadap usahaku?

Aku, ingin menjadi temanmu, seerat aku dengan mereka. Untuk itulah aku berusaha, namun sudah aku menyerah. Jika memang menyentuh hatimu membutuhkan energi yang luar biasa, aku tidak bisa karena akhlakku tidak mulia.
witen by @niahaji

Kentingan, Sore Itu



Saat itu hujan dan ruang kuliah kami basah oleh tetasan air yang menerobos langit-langit ethernit.

“Lingkungan adalah ruhnya pengendalian internal. Mengapa saya mengatakan ruh? Karena unsur-unsur dalam lingkungan adalah salah satunya etika. Etika yang dalam bahasa arab dapat diartikan sebagai akhlaq, bukan sekedar tata cara berperilaku.
Lusa saya menghadiri sebuah seminar yang diadakan di salah satu hotel kota kita. Keynote speaker dalam acara tersebut adalah seorang bule. Bisa kita bayangkan, terkadang beberapa hal mengenai kebiasaan mereka kita katakan tidak wajar, namun saya mengamati bahwa, kemarin, ketika penanya tidak dapat melantangkan suara sehingga tidak terdengar ke seluruh ruangan, sang moderator bertanya “mana panitia, mohon sediakan micro phone.” Sementara sang pembicara (si bule tadi), serta merta berjalan dengan langkah tegap dan cekatan, mengambil mic yang berada di depannya dan memberikan kepada penanya. Itulah akhlak, spontanitas ketika menghadapi sesuatu. Pun tadi ketika saya kesulitan memasang LCD, saya hanya mbatin, mengapa tidak satupun mahasiswa di ruangan ini datang dan membantu saya.”
Ruangan dipenuhi gelak tawa. Pun diriku, namun aku tertawa sambil menanya.

Sesampainya kuliah berakhir, bahkan sampai aku menuliskannya, masih diriku bertanya, seburuk itukah akhlakku? Aku memang bukan ahlinya bahasa arab yang tahu apa arti harfiah akhlaq, namun aku cukup punya hati untuk merasa tersindir dengan buah pikir dosen kami. Seburuk itukah aku? Yang harus berpikir berulang kali untuk memutuskan harus berbuat baik atau tidak? Seburuk itukah aku? Yang tidak peka melihat penderitaan orang lain. Seburuk itukah aku? Yang masih sempat berdiskusi dengan diri, apakah menarik tubuhnya atau sekedar berdoa, ketika melihat nenek-nenek tua siap melompat ke perlintasan ketika kereta sedang melaju kencang. Seburuk itukah aku? Bagaimana jika hari itu si nenek benar-benar melompat? Dimana akhlakku? Dimana hatiku sebagai manusia yang katanya beradab?

Betapa aku kalah dengan seorang tokoh sebuah cerita, dan justru menertawakan dengan kebombongan sambil mengumpat bodoh ketika ia berkata “Aku hanya berusaha menjadi manusia yang beradab dengan tidak membunuhmu. Meskipun aku lebih suka ketika kau berubah menjadi sepertiku, itu akan lebih mudah bagi kita untuk hidup bersama.”

Dan aku baru benar-benar mamahami perasaannya hari ini. Akhlak, manusia beradab. Lambannya aku.
witen by @niahaji

Apa Kabar 21 Tahunku?



Dan hari itu adalah 6 bulan dari sekarang namun aku masih terdiam

21 tahun
Namun pilihan masih bergelantungan dan belum satu pun yang ku pertahankan karena banyaknya pertimbangan.
21 tahun
Aku harus tahu, seharusnya.
Apakah aku tahun depan.
Dimanakah tempatku berada tahun depan.
Bagaimana harus menggapainya, tahun depan.
Namun aku masih sama seperti tahun lalu.
Yang berbeda adalah kebingunganku berlipat karena hari itu adalah 6 bulan dari sekarang.

“Profesi terbaik untuk wanita adalah guru. Mengapa? Karena waktu bekerja tidak menguras letih sampai tidak bisa mengurus rumah; anak-anak dan suami.”
“Kamu harus memanfaatkan kartu yang sekarang sudah kamu pegang dengan baik.”
“Percaya padaku, kamu coco jadi guru.”
“Saat aku seusiamu, aku menolak untuk melamar pekerjaan karena kecongkakan. Dalam pikiranku, menjadi pengusaha artinya kamu menikmati surga, namun pada akhirnya aku harus menyerah pada kecongkakan, sayang sudah tidak ada jalan kembali, berusaha melamar pekerjaan.”

Haruskah aku kembali mendengar kata orang? Seperti kisah 3 tahun silam yang sesalnya masih ku kenang hingga sekarang?
Haruskan aku tidak mempercayai kemampuan diriku? Seperti kisah 3 tahun silam, hingga detik ini masih ku rutuki diri.

Dan aku menyukai kalimat yang memancarkan energi positif dari maestroku, maestro kami.
“Selagi berusaha dan berdoa, serta niat yang lurus, kamu pasti bisa. Asal kamu punya mimpi. Percayalah padaku, muridku. Allah tahu dan selalu mendengar hambanya yang memohon.”

Mereka yang percaya, 3 tahun sejak hari itu menjadi orang berjaya. Orang-orang skeptis sepertiku, masih mengurung singa dirinya dan takut untuk melecut, membawanya melejit setinggi langit, angkasa. Mimpiku. Akhirnya benar-benar terpenjara dalam dialog dirinya.

witen by @niahaji