on Sabtu, 12 Juli 2014


“kau bilang aku harus bertahan bukan? Dan aku tidak perlu malu melakukan tindakan  apapun untuk bertahan. Setelah semua ini usai, aku akan membunuhmu.”

Park Chung Jo
witen by @niahaji

Biaya Kualitas

on Jumat, 04 Juli 2014


Satu-satunya langkah pencegahan untuk melakukan hal-hal yang dianggap tidak beradap adalah dengan ibadah. Apapun keyakinan yang kita anut, mengajarkan untuk melaksanakan ibadah sebanyak-banyaknya dengan tujuan mencegah perilaku buruk, khususnya agama yang saya anut.
Ibadah merupakan sarana seorang hamba berkomunikasi dengan tuhannya. Hamba yang beribadah dengan benar, akan memiliki keseimbangan dalam memperlakukan alam, dirinya, manusia lain, dan tuhan. Inilah hamba yang disebutkan berhati mulia, ia memiliki refleksi diri yang tak berbanding untuk mengoreksi diri, karena aduannya ditujukan pada Rabbal’alamin.

Jika seseorang mengatakan bahwa pencegahan dalam diri seseorang untuk menghindari kualitas buruk pada diri adalah suatu hal yang tidak perlu, bagiku terlalu randu. Di bumi siapa kita hidup?

Jika bagi seseorang menilai diri merupakan investasi terbaik dalam meningkatkan kualitas diri, katakan padaku acuan atau dasar apa yang akan digunakan dalam penilaian? Sebelum menilai, seseorang harus menetapkan standar, dan standar penilaian yang ia ajarkan adalah Al-Qur’an dan Sunnah-Nya.
witen by @niahaji

Sebab-Akibat



Kamu tahu apa yang aku rasakan saat ini? aku merasa gila dan ingin menjerit sekuat tenaga! Barangkali, karena jauhnya jiwa dari Pencipta.

Seseorang pernah menuliskan, “Jika sebabnya adalah keselamatanku, maka kupikir akibatnya adalah bertemu denganmu. Namun setelah semua terlalui, kupikir hidup di dunia barulah akibatnya. Dan malam ini, saat aku tidak tahu cara untuk kembali padamu, jika sebabnya adalah keselamatanku, maka kehilangan semua yang kumiliki adalah akibatnya. Tempat tinggalku, leluhurku, nilai-nilaiku, orang-orangku, dan kau.”

Akibat dari tulisannya, aku memikirkan sebab akibat tiap tingkah yang manusia perbuat.
Jika sebabnya adalah menolong saudara, maka melumpuhkan ekonomi dan kehilangan kehangatan dalam keluarga adalah akibatnya. Akibat dari sebab yang diciptakan saudara, namun ia tidak memikirkan, apa akibat dari permintaan tolongnya.
witen by @niahaji

BUSUK



Memang kadang hidup terasa sedikit ‘bullshit” dalam banyak hal. Seperti kisahku, saat ibuku sakit, aku harus pergi meninggalkan rumah selama 45 hari yang katanya untuk mengabdi. Sementara dulu, aku banyak lupa pada ibu padahal waktuku banyak berlalu untuk hal-hal yang sifatnya tidak mendesak.

Ibu, walaupun sering uring-uringan tidak jelas, namun saat mendengar batukmu dikala aku memenangkan egoku untuk pekerjaan lain dari pada membantumu rasanya hatiku membara, menanya diriku apa makna balas budi itu?

Lalu aku berpikir, apa gunanya mengabdi, membangun desa tetangga namun lupa pada sosok yang melahirkan kita? Dimana hati nuranimu, kau pembuat kebijakan? Ramadhan adalah waktu dimana rumah menjadi idaman setiap orang untuk pulang. Barangkali, ini ramadhan terakhir kami menikmati buka bersama keluarga. Mengapa tega memisahkan kami dengan mereka? Terlebih, orang-orang yang sepertiku, kuliah sambil membantu orang tua mengumpulkan rupiah. Ramadhan merupakan waktu dimana tidak ada toko yang sepi. Siapa yang akan membantu ibuku mengurus toko saat aku harus pergi? Kalian pembuat kebijakan, yang tahunya hanya uang, aku benar-benar heran.
witen by @niahaji

Tulisan Tanpa Makna



Kamu tahum aku hampir gila, bahkan aku benar-benar gila.
Seandainya tidak punya teman bicara, mungkin setibaku di Serenan, tujuku pertama kali anak sungai bengawan. Ahh, mengapa aku harus segila ini?

Barangkali akau terlalu memandang tinggi diri, mengutamakan emosi, menilai orang lain sesuatu yang tidak berarti.
Atau apakah ini bagian dari ketidakberdayaan atas putusan yang tidak aku inginkan? Manusia bumi menamakannya takdir.

Seseorang pernah bertanya padaku, “Mengapa semua orang baik di depanku, namun mereka membicarakan burukku saat aku tidak ada?”
Aku bungkam, memang hidup harus seperti ini bukan? Mau bagaimana lagi.
Setiap orang pun baik padaku kala mereka membutuhkan diriku, namun pergi saat aku tidak mampu berbuat apa-apa. Kecuali ia. Dan bagiku, barangkali temanku itu belum menemukan seseorang yang bagiku spesial, ia.

Simpulan akhirnya, aku gila. Entah ini karena apa. Aku harus segera bertemu untuk mengkonsultasikan kondisi jiwa pada orang itu, ia.

saat memikirkan hidup seseorang lebih dari pada hidupku sendiri, orang itu justru menganggap tindakanku tidak rasional. Lalu, apa definisi manusia mengenai cinta? Ah, aku benar-benar frustasi memikirkannya.

Hidup seseorang yang lebih kuperjuangkan dari pada hidupku sendiri, lalu kini orang lain mengacak-acak kehidupan itu. Apakah aku berdosa pabila meminta “I wanna him goes to the hell?”. Oh Allah, inikah hidup? Muaranya pada kematian, namun setiap orang tetap bekerja keras. Aku lelah hidup, takut mati. Aahh, mungkin aku benar-benar gila.


witen by @niahaji

Akankah kita?

Aku?
Tangis?
Hati?
Ego?

Aku menangis kala hati dinaungi ego untuk ditinggikan.

Kapan hidup berakhir? Aku, tidak begitu mengharap akhiran. Hanya, penat memikirkan keadaan. Kala, warna apa yang kau lihat dari rubik, berbeda dengan yang ku lihat, dan kita memperdebatkan tanpa usai dengan tak satu pun dari kita mau bertukar posisi.

Hanya mengenai sisiku biru dan yang kau lihat abu-abu. Sederhana, namun sekali lagi hati dinaungi ego untuk ditinggikan. Dan aku enggan memandang dari sisimu, begitu pula dirimu.

Mungkin kita dapat duduk bersama, seandainya tak satu pun dari kita lapang untuk hengkang dari posisi semula, setidaknya berusaha memutar-mutar rubik itu, agar aku dapat memandang warna yang kau pandang. Begitu pun kamu.
Akankah kita?
witen by @niahaji