Untuk Para Orang Tua

on Kamis, 01 Mei 2014


Mr. F :  “Selamat malam, lancar kan kuliahnya hari ini?”
Aku   : “Iya, malam, Alhamdulillah sangat lancar.”
Mr. F : “Nilainya harus bagus hlo ya.”
Aku   : “Semoga saja, mohon doanya. Terimakasih.”

Beberapa selang phone cellku tak kunjung bergetar.

Aku   : “Mohon maaf saya lancang. Menurut ekspektasi saya setiap orang butuh teman bicara. Saya tidak yakin dapat menjadi teman bicara yang baik, niat saya hanya ingin sedikit membantu. Kalau boleh tahu, apa sebab sebuah bahtera pecah ketika berlayar di tengah samudera?”

Begitu pesan singkat itu terkirim, aku gemetar menanti phone cellku bergetar. Satu, dua, tiga, empat, pendulum jam berputar mulai mengganti setiap menit. Dan pesanku tak kunjung berbalas.

Lalu, getar itu terdengar juga, pesan singkat yang cukup panjang.

Mr. F : “Karena kru gagal mempertahankan kapal, sehingga begitu badai menyerang, bahtera pecah berpuing banyaknya. Kegagalan tersebut bukanlah suatu hal yang disengaja, setiap bahtera yang berlayar menghendaki pelayaran yang selamanya, namun ketika suatu hal yang tak kuasa di atasi tangan manusia (yang biasa kita sebut tetapan Tuhan) terjadi dan memecahkan bahtera tersebut, bukan salah kru yang melayarkan.”
Aku   : “Lantas, bagaimana nasib awak kapal?”
Mr. F : “Selamat tidaknya awak, tegantung pada kepandaian bertahan hidup. Bagaimana awak harus mencari papan untuk mengapung, mencari bala bantuan dan lain sebagainya.”
Aku   : “Sekiranya awak itu kanak-kanak, mampukah ia melakukan hal demikian?”
Mr. F : “Begitu bahtera diperkirakan pecah, orang dewasa harus segera menyelamatkan anak-anak.”
Aku   : “Ketika bahtera diperkirakan pecah setiap diri hanya memikirkan nyawa sendiri, tidak mungkin sempat memikirkan orang lain. Coba renungkan.”
Mr. F : “Sebenarnya, begitulah kenyataannya. Namun apa daya ketika kru tak mampu bertahan, seisi kapal harus menyelamatkan nyawa mereka masing-masing.”
Aku   : “Seandainya bahtera tersebut hanya dinaiki 3 orang; ayah, ibu dan seorang anak perempuan; ayah dan ibu sebagai kru kapal, dan anak sebagai penumpang. Apakah ayah dan ibu benar-benar tidak bisa bertahan ketika badai atau karang es menghantam? Tidakkah mereka memikirkan nasib buah hati yang dulu di awal pelayaran begitu mereka perjuangkan? Begitu si anak lahir, lantas orang tua tak peduli keberlanjutan hidupnya dengan memasrahkan nyawa pada si keras karang. Iyakah?”
Mr. F : “Saya tidak tahu.”
Aku   : “Maaf saya lancang, namun ketika bahtera pecah di tengah pelayaran, kru harus memperhatikan bagaimana nasib penumpang, bukan hanya secara fisik namun juga psikis. Terlebih kanak-kanak, mereka memiliki hati yang belum banyak bersentuhan dengan kekotoran seperti orang dewasa, untuk itulah perasaan dalam bentuk apapun sulit hilang dalam benak mereka. Saya memiliki beberapa teman yang orang tuanya tak mampu membertahankan kapal ketika menghadapi serangkai amukan alam. Sayangnya, saya belum menemukan satupun dari mereka yang kondisi jiwanya baik-baik saja. Pasti ada ketidakberesan yang sedikit nampak meski mereka bersikukuh menutupi rasa kecewa dalam dirinya. Seperti keinginan yang berusaha mereka wujudkan sekeras apapun pinta meraka pada Sang Kuasa, namun mustahil mereka gapai. Bayangkan, seorang anak perempuan manis yang mendoa pada Tuhannya “Allah, biarkan ayah dan ibu menemaniku sampai dewasa. Kami bertiga, tinggal di rumah yang bahagia, yang bagian depannya memiliki pelataran luas. Ibu menunggu ayah pulang kerja diteras rumah sambil menemaniku mengayuh sepeda baru. Allah, aku tidak tahu harus memohon pada siapa selain pada-Mu. Kabulkan pintaku”.
Pesan itu,, tak pernah tersampaikan karena aku tak memiliki cukup keberanian untuk mengutarakan.
Bagiku, pun bahtera itu terlanjur pecah, selama lautan belum tergulung dan masih gagah membentang memberi jalan bagi kapal siapa saja yang ingin berlayar; selama semua kru masih diberi napas untuk kembali melihat indahnya cakrawala tak berbatas; selama itu pula bahtera baru dipersilahkan melintas.
Sejatinya, tak ada seorangpun anak yang mengikhlaskan perpisahan orang tua mereka. Sekeras apapun hidup, selama keluarga masih pulang ke rumah yang sama, besit kebahagiaan iu senantiasa tercipta.

witen by @niahaji