:)

on Jumat, 15 November 2013
Dua puluh empat jam, hampir, dan baru kali ini kita terpisah beratus kilo meter jauhnya.
Kamu tahu, seberat apa harus mengangkat kaki memasuki bus yang mengantarku ke sini?
Kamu tahu, sekencang apa aku mengekang air mata untuk tidak frontal menunjukkan sedihku dihadapmu?
Kamu tahu, seerat apa aku menarik diriku untuk tidak menghambur ke kokoh lenganmu?

Lalu tatap terakhir, sebelum bus yang mengantar aku ke sini berlalu.
Dan masih terekat kuat pancar matamu yang membuncah rindu.

Aku tidak ingin pulang tanpa membawa apa-apa untukmu. Aku akan atau bahkan harus, mengambil posisi satu untukmu. Untuk perjuanganku mengalahkan rasa enggan berpisah jauh darimu.

Untuk kamu, ridhakah kau padaku?
Aku bukan wanita baik, lemah tutur, halus tingkah, alim tindakan.
Aku, begitu dimainkan kuat oleh perasaanku sendiri, sering berat sebelah dalam memperlakukan diriku atas orang lain.
Termasuk kamu.
Ya, ridhakah kau padaku?
Maafkan aku atas salah yang bukan lagi khilaf atau maaf yang sudah sekian kali terucap.

For my beloved, Bely Arta Jihad Khoirot.


witen by @niahaji
on Minggu, 10 November 2013
dalam setiap perlombaan, pasti ada yang menang dan yang kalah
hanya bagaimana diri menyikapi
menang belum berarti kita benar yang terbaik, barangkali ada proses yang tidak dilalui dengan sempurna
kekalahan, tidak berarti mengakhiri mimpi lain yang sudah tertulis rapi

terima ketentuan penuh lapang, sabar, rendah hati dan tetap berlari mengejar impian

too hard to fly away, as high as you..

witen by @niahaji

sepijak langkah

on Sabtu, 09 November 2013


Saat teman-teman seangkatan go international, aku masih stay di desa mengajari anak tetangga mengeja kata.
Tepatnya bulan Juli 2011, aku duduk di deret kursi ke tujuh dari depan, dengan teman-teman samping kanan kiri yang tidak kukenali. Presentasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di auditorium, beragam, memberi banyak pilihan pengembangan minat dan bakat mahasiswa baru. Aku tidak banyak ingat, hanya satu UKM yang wajah mbaknya masih terekam jelas di otakku yang pas-pas an. UKM itu mengambil hatiku, kemudian mengiming-imingi untuk bergabung menjadi salah satu anggotanya, dan aku membisiki diri dengan tujuan yang sama. Sayang, karena memilih peluang lain, akhirnya kuputuskan mematikan hasyrat untuk menjadi salah seorang di antara anggota UKM itu.
Dua tahun yang lalu. Ya, ia merupakan kenangan dua tahun lalu yang paling membekas di Audit kampusku. Mahasiswa baru. Ah, mahasiswa baru. Dua bulan terakhir banyak berseliweran mahasiswa baru di sekitarku. Mengingatkan akan potretku dulu. Andai waktu memiliki jalan kembali, akan ku rotasi ke belakang dimana aku duduk termenung di auditorium sembari mengagumi presentasi UKM itu. Mahasiswa baru. Ya, mahasiswa baru. Aku ingin menasihati setiap hati untuk bergabung dengan UKM itu, atau organisasi pengembangan bakat dan minta lain-lainnya di kampus ini.

Untuk melanglangkan ilalang yang mustahil terbang.

Oktober 2013, empat semester terlewat begitu cepat. Mendadak aku disadarkan pada semester kelima, yang dua semester lagi harus mulai menyusun skripsi. Seakan baru kemarin. Saat aku bertanya pada seorang ibu dimana arah kentingan. Ya, seorang ibu. Aku harus menceritakannya padamu.
Ketika lampu marka berwarna merah, aku tepat berada di samping kiri beliau. Tanpa malu –dan untuk apa pula harus malu, tanpa tanya hari itu aku tidak akan pernah sampai di kampus- aku menanyakan jalan mana yang harus kuambil untuk sampai ke UNS. Beliau menjelaskan sampai lampu berubah hijau, namun aku masih belum paham. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengantarku sampai ke gerbang belakang UNS. Tetapi sebelum itu, beliau harus mengantar roti dan kue di salah satu kedai roti ternama di kota Solo terlebih dulu.
Setibanya kami di gerbang belakang, beliau bercerita tentang putri tunggalnya yang elok rupawan.
“Kamu mirip sekali dengan anak saya. Lihat, ini fotonya.” Beliau menunjukkan gantungan kunci motor bergambar paras rupawan remaja 16tahunan. “Oiya, siapa namamu?”. Lanjut beliau sembari menunggu komentarku yang asyik menganalisa rupawan wajah di foto itu.
“Nama saya Citra, Ibu.” Jawabku dengan senyum yang kata teman-teman melenakan. “Aduh, Ibu, anak Ibu cantik sekali. Jauh lebih cantik dari pada saya.” Mengomentari pendapat beliau mengenai kemiripanku denganku.
“Mirip sekali begini. Sama cantiknya. Saya jadi ingat anak saya saat pertama melihat kamu di lampu merah tadi.”
Aku tidak mampu membalas kalimat beliau. Dengan kelebihan -sekaligus kurangku- yang peka terhadap makna rasa, aku meraba ada yang janggal dari kalimat beliau barusan.
Beliau melanjutkan, memahami ketidaksanggupanku berkata-kata. “Anak saya meninggal dua tahun lalu. Kecelakaan di depan sekolahnya. Dia seusia denganmu, seandainya masih hidup tahun ini masuk perguruan tinggi.” Entah mengapa aku tidak mendengar nada kecewa, barangkali karena sudah terbiasa.
Singkatnya demikian. Kemudian beliau memberiku beberapa bungkus roti dan kue yang ternyata setelah kucicipi rasanya enak sekali.
Aku tidak akan lupa, atau berusaha menghapusnya menjadi ingatan usang. Temu kami memang sudah direncana, begitulah yakinku. Aku yang berharap di antar ibu ke kampus pada hari pertama masuk kuliah, dan ibu yang mengangankan mengantar anak tunggalnya ke kampus pada hari pertama masuk kuliah. 

Jalan akan selalu terbentang bagi siapapun yang memiliki harapan.

Kembali pada semester kelima. Akhirnya dua semester yang lalu aku bergabung menjadi anggora UKM itu, sebuah club study yang fokus pada pengembangan kemampuan menulis karya ilmiah. Satu semester tidak pernah hadir di sekre, tapi semester ini alhamdulillah lebih sering stay meskipun sebentar.
Selama tiga semester, kuliah adalah prioritas kedua setelah mencari uang, dalam bahasaku disebut ngelesi (mengajar). Dalam satu hari aku bisa memperoleh jadwal mengajar dua kali. Selama satu minggu, dengan waktu kerja enam hari, lima hari mengajar dua kelas per hari, dan satu hari mengajar satu kelas. Luar biasa lelah namun rupiah yang kuperoleh tidak bisa dibilang sedikit meskipun secara hitungan ekonomi aku rugi karena diupah lebih rendah dari pada tentor di bimbingan belajar lain.
Tepatnya pada semester tiga, aku memutuskan untuk mengurangi jadwal terbangku demi kuliah. Dan aku memutuskan untuk bergabung menjadi salah satu anggota dari perkumpulan itu. Perkumpulan yang ternyata beranggotakan orang-orang luar biasa di fakultas kami.
Dan aku bukan apa-apa, layaknya sebutir debu di padang pasir.
Tidak membuatku berkecil diri untuk bergaul dengan mereka yang luar biasa. Setiap datang ke sekre dan bertemu teman-teman disini, aku berusaha mempelajari diri mereka dan merekam semua polah tingkah untuk ku analisa mengapa mereka bisa luar biasa sementara aku masih bukan apa-apa.
Setelah puing demi jawaban ku temukan dan tersusun struktural, aku sontak keheranan karena pilihan yang kuputuskan untuk mengambilnya ternyata salah besar. Ngelasi (mengajar). Terlebih semester lima ini, aku tidak kuat melihat kenyataan bahwa tidak ada yang peduli pada anak-anak kecil di desaku. Bahkan TPA di masjid pun kekurangan guru. Dan aku, merasa terpanggil untuk hadir sebagai perawat “aset” desa.
Lebih banyak waktu terbuang untuk sekedar mengajari belajar anak orang. Terlebih sekarang, tidak banyak pundi rupiah yang kudapatkan tetapi jadwal mengajar semakin padat merayap. Kuliah, pekerja sosial bidang pendidikan, organisasi, dan beberapa lomba. Aku mulai berpikir ulang, untuk apa hal ini kulakukan?

Apabila sekedar mencari dunia, rasanya satu gunung emas tidak akan cukup untuk memuaskan.

Sore hari, menjelang petang di sabtu malam. Ia, lelakiku, datang ke rumah dengan wajah berseri ria. Kami berdialog panjang lebar menghadap ke taman samping rumah. Duduk tanpa alas di atas lantai, bersandar pada dinding krem kekuningan.
Dua cangkir teh panas manis yang masih mengepulkan asap lekas-lekas memanggil nama kami agar segera menyesapnya.
 “Aku ingin pulang”
“Maksudmu? Mengapa mendadak menanya demikian?” jemari tangan kananya merapikan rambutku yang berantakan dihembus angin.
“Ternyata perjalanku tidak dihargai apa-apa. Untuk apa dilanjutkan. Aku ingin kembali pada kenyamanan, tidak terbebani dengan pikiran-pikiran, atau tanggungan-tanggungan.”
“Aku menyesalkan, ternyata pandangamu tentang kehidupan masih sama dangkalnya dengan mereka.” Gerutunya pedas.
“Siapa?”
“Kamu ingat tidak, saat Nabi melarang umat untuk tidak turun dari bukit sebelum beliau memerintah? Seandainya, pasukan mematuhi, barangkali tidak ada sejarah kalah perang umat islam.”
“Dan tidak ada sejarah panglima perang hebat Khalid bin Walid.” Kekehku.
“Ya, barangkali. Ia sebaik-baik kesempurnaan. Atas izin-Nya skenario itu terjadi.”
“Lantas, apa hubungannya denganku?”
“Kau sama gegabahnya dengan pasukan perang islam kala itu. Terburu mengejar dunia yang belum tentu nyata adanya.”
“Apakah iya? Serendah itukah aku? Kau belum mendengar lengkap kasusku.”
“Ceritakan!”
“Aku gamang, haruskah melanjutkan perjalanan atau pulang. Namun aku cenderung ingin pulang, selagi ada persimpangan yang memberiku kesempatan untuk memilih jalan. Untuk apa mengakumulasi lelah sementara tidak banyak rupiah yang kukumpulkan, tidak ada pengumuman pemenang lomba atas namaku, tidak menduduki posisi penting organisasi. Aku ingin pulang.” Mataku mulai sembab.
Ia menarik selembar tissue dari tas cokelat mudanya, elegan sekali, menurutku. “Persis dengan alasan umat melanggar larangan Nabi. Mereka mengejar yang sejatinya tidak pernah ada, tidak akan terpuaskan, nafsu. Nafsu mendapat tempat di dunia, memperoleh harta tak hingga banyaknya, disebut-sebut sebagai pahlawan yang rela berkorban.”
Aku tidak menanggapi meski patahan kata. Ada yang salah, namun tidak tahu dimana dan membenahinya. Barangkali pernyataannya perlu direka ulang untuk diteliti lebih jeli. Senaif itukah aku?
“Kamu berada di jalan yang benar, jangan pernah ingin pulang. Nyamannya rumah hanya akan mengendurkan jiwamu yang mulai tegar.” Ia melanjutkan.
“Sebentar.” Akhirnya kalimatku mulai tersusun. “Tidakkah aku terlalu berpikiran sempit, tidak fokus pada satu bidang. Semuanya ingin kulakukan, mengajar tanpa bayaran rupiah melimpah, bertanggung jawab dengan amanah yang diberikan organisasi padaku, menjajal berbagai ajang perlombaan yang hasilnya hanya nihil. Di luar itu semua, urusan akademis kurang kuperhatikan. Sementara, aku bisa memperoleh lebih banyak rupiah dari tempat lain, tidak banyak waktu yang kukeluarkan sebagai pekerja sosial. Lebih bisa berkonsentrasi pada urusan yang dapat melambungkan namaku, melalui organisasi dan lomba-lomba” 
“Tidakkah kau pernah berpikir, mengajar itu amal jariyah, ibadah yang pahalanya tidak akan terputus sampai mati. Kau kaya dengan itu semua, meski kelihatannya miskin pujian manusia. Sungguh, itu merupakan kemuliaan.”
“Apa? Mulia?”
“Ya, sangat mulia.”
“Bukan berpikiran sempit, atau tidak progresif.”
“Bukan.”
Aku menganggung-angguk girang sekaligus berleleran air mata dan sesenggukan, di bahu kekarnya yang mendekapku. Sementara bulan, sebagai saksi pilu hatiku dan tulusnya cinta yang ia suguhkan untukku. 

A little thing called reinforcement.

Dalam kehidupan, sesekali ia hitam
Namun lebih sering putih
Asal jangan pernah abu-abu
Karena kebaikan tidak akan bersenyawa dengan tindakan buruk sekecil apapun.

witen by @niahaji

Harapan Siang



Berharap suatu hari bisa berdiri di atas kaki sendiri..
Seperti teman-temanku yang luar biasa di Lingkar Studi Pendidikan FKIP UNS
Dhany Pangestu, Inayah Adi Oktaviana, Nurul Khotimah.

Some day I will fly, as high as you.
Amin, Allah rabbal’alamin.
Maybe higher than you :D
I hope..

Dalam sendiriku bertanya
“Can I?”

Pertanyaan yang mengindikasikan jauhnya jiwa dari tuhannya.
Naudzubillah.
Ampuni aku Allah, dengan kehendakMu aku bisa.

Melalui jalanMu, kebenaran.

Bismillah :)

witen by @niahaji