Inferior (Lagi dan Entah Kapan Sudah)

on Senin, 23 September 2019

Kalau lagi inferior dan maunya buang-buang uang itu hal yang wajar. Ada nggak, orang yang lagi inferior dan sujudnya direndahin; solatnya dikhusyu'in, tilawahnya dibanyakin, dzikirnya dikencengin. Ajarin aku dong. Serius minta tolong hlo.

Tapi bersyukur sih karena aku ikut ngaji dan itu menurutku sebuah hal yang wajib dicongkakkan. Lol.

Bukan apa-apa, tapi berkat ngaji cintaku pada dunia agak terselamatkan. Bahwa sejatinya dunia tempat yang akan ditinggal, sebuah kefanaan dan tidak kekal. Aku sadar, tapi seringnya khilaf jadi banyak cintanya dan pada akhirnya munculah Sang Inferior itu. Cry banget deh.

Sudah inferior, dibikin kecewa lagi. Duh lah, kiamat sudah dunia. Buang uang mah lewat. Lakukan semua hal yang disenangi dong. Urusan lain pikir nanti asal inferior dan kecewanya lewat dulu.

Tapi menurutku inferior itu bisa dibuang lewat cerita. Iya, cerita saja, tidak perlu ditanggapi apa-apa. Butuh didengar dan sudah. Bahkan kadang sekedar butuh teman. Duduk saling bisu menikmati lalu lalang.

Makanya teman itu penting. Tapi nyatanya aku kehilangan semua circleku kecuali via maya dan jarak tercipta sejauh itu. Mustahil bertemu kalau mendadak ada perlu sekedar ditemani dalam kehadiran sejati.

Padahal manusia punya Tuhan semesta alam yang setiap saat siap mendekap hangat. Kenapa sering tidak sadar sih. Kalau menurutku karena kasat mata. Susah memercai kekasatmataan adalah wajar bagi manusia yang secara kodrat tercipta lemah.

Atau hanya yang lemah iman yang tidak bisa percaya pada dekapan hangat Sang Kasat Mata? Kalau memang iya, makanya aku susah percaya. Wong imanku nggak seberapa. Sebuah pengakuan. Hla iya ngapain menyangkal kalau memang iya sih.

Justru dengan mengaku hidup jadi lebih mudah.

Ah, ikut ngaji saja perilakuku seburuk ini, apalagi kalau tidak ngaji. Aku berterima kasih banyak-banyak Allah.

Barangkali kenapa aku merasa serendah itu karena kalau Allah memberiku apa yang membuatku merasa tinggi, aku akan lari dariNya (lagi). Aku berterima kasih Dia tidak membuangku dengan memberi yang aku mau; sesuatu yang membuatku merasa tinggi. Dia ingin aku mendekat agar Ia mampu mendekap hangat, memantaskan diriku menerima mauku. Kenapa sesusah itu memahami. Kenapa sesulit itu mencerna. Kenapa sekeras itu menerima.

Iya, terima saja. Barangkali memang nandur iku ngundhuh adalah benar adanya. Walaupun diluaran terlalu banyak yang tidak nandur saja bisa ngundhuh. Tidak papa. Ada Allah yang kuasa, menetapkan siapa yang nandur dan siapa yang berhak ngundhuh.

Iya, sejatinya semua milikNya. Jangan berkecil hati hanya karena tidak punya. Jangan berbesar diri karena dititipi. Semua milikNya dan segala sesuatu yang menurutmu keliru adalah sebaik-baik kisah. Tugasmu hanya percaya, bahwa Ia sebaik-baik penulis cerita.

Antara Adat dan Syariat (2)

on Sabtu, 21 September 2019

Selepas kematian mbah kakung, keluargaku mengadakan acara selamatan. Puncak selamatan jilid satu kalau adat disini ada pada hari ketujuh atau bahasa jawanya disebut pitung dinanan (red. tujuh harian).

Waktu itu, sepuluh tahun yang lalu, mamaku berkeras tidak mau datang ke acara selamatan mbah kakung. Mama bilang "Bapakku lagi wae ninggal kok malah do gawe pestha jane mikire piye. Nek niate meh ndongakne lak isoh ndongo dewe-dewe". Kalau dibahasaindonesiakan "Bapakku baru saja meninggal kok malah pesta, mikirnya pada gimana sih. Kalau mau mendoakan bisa kan doa sendiri". Kurang lebih begitu.

Aku, sepuluh tahun yang lalu masih dangkal ilmu. Tahunya ya kalau adatnya begitu lakukan saja. Toh tidak salah kan melestarikan adat istiadat. Tapi satu hal yang bikin aku mikir keras waktu itu, "iya, kenapa mereka malah berpesta".

Akhirnya kami sekeluarga datang ke rumah mbah ti. Mamaku tidak mau bantu urus logistik untuk para santri yang mengaji dan tetangga yang kalau bahasa jawanya melek (bahasa indonya apa ya lol) dan malah ngendon di mantan kamarnya waktu masih tinggal di rumah mbah ti. Sambil nangis kejer, mama bilang "Aku neng kene sih kebayang-bayang mbah kakung. Wong-wong kui kok isoh malah masak-masak ra penting koyo ngene. Nek ra nglegani mbah ti, wegah aku rene". Translate nggak nih? Gini Indonesianya "Aku disini masih terbayang-bayang sama keberadaan mbah kakung. Kenapa orang-orang malah pada masak-masak tidak penting gini. Kalau bukan karena nuruti maunya mbah ti, aku nggak mau datang ke acara ini".

Aku ngapain? Ngelap piring. Dan besoknya aku menyesal kenapa malah ngelap piring dan ngakak-ngakak bersama para rewang lainnya bukan ngaji bersama santri?

Iya, dulu aku masih terlalu kecil dan miskin ilmu untuk mengkritisi. Tapi sekarang aku merasa cukup diri dan tahu dimana letak kelirunya adat ini. Tanpa diadakan acara selamatan, apa bedanya kematian antara manusia dan kucing? Kamu mau tahu, kemana roh kembali baik manusia maupun kucing? Kepada tuhannya, gaes. ALLAH. Entah manusia, kucing, gajang, semut; setiap yang bernyawa akan mati dan nyawa itu kembali pada pemiliknya; TUHAN, ALLAH. Jadi kalau kucing mati, sama perlunya untuk diadakan selamatan seperti manusia nggak? Coba dipikirkan lagi ya.

Belum lagi kalau terkendala masalah biaya. Beberapa waktu lalu ibu tetangga belakang rumah meninggal dan si anak tidak punya uang untuk mengadakan selamatan untuk ibunya. Si anak khawatir kalau orang sedesa pada ceriwis ngrasani ini anu. Akhirnya yang bersangkutan mengadakan selamatan, entah duit siapa yang dipakai. Bukan hal urgen untuk didonasi sih, jadi aku masa bodoh aja. Kasihan sebenarnya, tapi sekali lagi, kenapa harus memaksa diri melakukan sesuatu yang memberatkan. Wong yang memerintah bukan syariat, semata adat, kenapa harus mengangkat diluar kemampuan? Sedih sama mereka yang masih terbelenggu adat begini.

Satu hal dari celetuk mamaku yang benar-benar membekas "iya, kenapa ditinggal mati kok malah berpesta". Malam itu aku ngelap piring sambil ngakak-ngakak dengan sepupu dan bulik-bulikku. Padahal malah itu, mbah kung kami tujuh hari yang lalu baru saja meninggal. Iya, kenapa aku malah pesta? Kenapa tidak berdoa untuk mbah kakung. Sesedih itu kalau dikenang kembali. Kenapa dulu bisa sebodoh itu.

Kok pelik ternyata bahas adat selamatan. Ini belum masuk ke syariat hlo. Ah, kalau kita mau dan mampu berpikir sedikit saja, tidak usah bawa-bawa syariat, semua adat yang memberatkan mah tinggalkan saja, udah! Sesat nggak sih ajaranku lol. Hla iya, ngapain hidup terbelenggu dengan hal yang jelas membuat tidak bahagia dan bukan perintahnya syariat? Kecuali kamu bahagia dengan pelaksanaan adat ini, suka-suka kalau mau menjalaninya. Bukan urusanku, sih. Urusanku cuma satu, mengingatkan kamu untuk belajar banyak-banyak biar tidak salah kaprah dengan adat-adat yang bertebaran luar biasa di tanah jawa tercinta kita. Iya, belajar banyak-banyak yuk.

Anw, aku mau sedikit masuk ke syariat. Tapi kalau kamu tidak pro aku minta maaf ya. Ini aku dengan keyakinanku. Lagipula nalarnya sudah kujelaskan panjang lebar di atas.

Makin banyak belajar aku makin mengerti bahwa ibadah yang diada-adakan itu menambah dosa, bukan berpahala. Maka sekarang aku tidak lagi menyesali kenyataan bahwa di malah tujuh harian mbah kungku, aku malah ngelap piring bukan ikut ngaji. Artinya aku tidak melaksanakan ibadah yang diada-adakan itu.

Bukan karena ngaji di MTA lalu jadi tidak pro dengan adat selamatan. Bahkan sebelum kenal MTA aku sudah merasa adat ini (dan banyak adat tidak masuk akal lainnya) janggal. Makanya aku selalu bilang "kalau yang memerintah adat, bukan syariat, tidak perlu taat". Justru ngaji di MTA lah yang meyakinkanku bahwa pemikiranku benar. Iya, kalau yang memerintah adat, bukan syariat, tidak perlu taat.

Yas, aku ngajinya di MTA hlo. Kamu dimana? Sekali lagi, banyak-banyak belajar ya. Pokoknya belajar saja dulu kalau belum mau bergolongan. Nanti kalau sudah saatnya, akan nemu yang pas dihati cocok diotak, baru deh gabung. Aku dulu juga gitu kok. Tidak ada yang memaksaku ngaji di MTA. Karena aku anaknya suka penasarana aja akhirnya aku banyak mendengarkan kajian sana sini. Eh mantabnya sama MTA. Udah, gitu aja.

Kita tetap teman dimana pun kita ngaji. Beda itu tidak apa-apa. Yang jadi apa-apa kalau saling memaksa, bukannya sama-sama belajar. Betul?

Memilih Pasangan (2)

on Minggu, 15 September 2019

Mendadak kok sedih ya kalau ada yang nulis "kebahagian rumah tangga dimulai dari memilih pasangan". Aih, apa kabar dengan mereka yang rumah tangganya sedang tidak bahagia.

Jangan menyesal kalau ternyata menurutmu kamu sedang ada diposisi merasa salah memilih pasangan. Tidak selalu yang ideal itu memberi kebahagiaan kok. Yang tidak idealpun bisa bahagia asal saling memahami. Iya, memahami atas apapun keputusan dan setiap keadaan. Yang penting jangan melupakan hal fundamental dalam memilih pasangan: agamanya. Insya allah bisa sama-sama berusaha memahami meskipun sering tidak sependapat.

Sedang nulis tentang pasangan gini tetiba ada teman yang nge-insta story tentang 'finansial dalam rumah tangga itu tidak penting' hahaha. Iya sih, kalau dipikir lagi sebenarnya Ali dan Fatimah tidak hidup dalam keberlimangan harta. Tapi mereka bahagia wahaha. Jadi, menabung untuk pendidikan anak, untuk dana darurat, untuk lifestyle yang dibelinya memang harus lewat ngumpulin uang sedikit-sedikit, sejatinya tidak perlu terlalu dipusingkan asal kamu punya iman yang kuat. Aku sepakat.

Sayangnya, hidup keras dan dunia selalu nampak indah bagaimanapun itu. Mereka yang bilang finansial bukan sumber masalah utama bisa jadi karena tidak pernah merasakan bagaimana susahnya hidup susah. Tapi sekali lagi, meneladani Ali dan Fatimah adalah bukti bahwa finansial memang bukan hal terkrusial yang menjadi alasan cukup kuat untuk dinashkan sebagai salah satu sumber masalah berat dalam rumah tangga. Apa kuncinya? Syukur dan sabar. Sudah.

Gampang ya ngomongnya. Iya gampang. Praktiknya? Yo embuh wahahha. Tapi jujur aku tidak kaya raya gaes. Pekerjaan utama suamiku juga cuma apa. Tapi aku bersyukur dan merasa dicukupkan. Dan kami tidak pernah bertengkar masalah uang, alhamdulillah. Semoga sampai nanti ya doanya. Maka aku tulis di Memilih Pasang part 1 tentang banyak orang cerai karena finansial, kecuali. Nah, pengecualian ini kalau kamu orang yang beriman. Tapi sekali lagi kutegaskan gaes, hidup keras dan iman naik turun. Jadi, memang surga itu sulit diraih kalau mengusahakannya tidak serius.

Hlo kok sampai surga. Hla iya kaan. Tujuan orang menikah adalah menyempurnakan separuh agama means ada teman jalan bareng ke surga. Kalau pernikahan tidak bisa mengcover tujuan itu, sama-sama evaluasi ya.

Maka, meskipun tidak gampang, untuk kalian yang merasa sedang berada diposisi salah memilih pasangan, duduklah berdua; diskusi! Turunkan ego masing-masing dan kembalikan setiap urusan pada pemiliknya.

Maka, aku bilang ke kamu kalau key point memilih pasangan adalah AGAMAnya. Bukan main-main, serius. Agamanya not means sekedar rajin solat rajin tilawah pakaian taqwa hlo. Orang kalau agamanya bagus itu akhlaknya juga bagus. Entah dia mau pakai baju model bagaimana, dia tetap adalah orang baik dan salih/salihat.

Memilih pasangan (muslim's point of view)

Mencari pasangan bukan hal mudah, sayang. Dari semua aspek yang paling penting kalau Rasul berpesan: agamanya. Tapi ingatlah bahwa menikah bukan hanya tentang kamu dan dia, termasuk di dalamnya adalah keluargamu dan keluarganya.

Karena aku sudah menikah dan seratus persen bisa memahami (dan menyadari) bahwa mencari pasangan selevel itu sangat perlu! Selevel dalam hal apapun. Memang sudah dinash dalam beberapa hadist dan qur'an bahwa wanita yang baik untuk lelaki yang baik dan sebaliknya. Kalau merasa tidak mendapat pasangan yang baik bisa jadi kamu belum baik. Atau memang salah sedari awal. Menikah belum tentu jodoh, kan?

Dulu aku kolot banget masalah jodoh. Menurutku asalkan klik ya tidak apa-apa kalau tidak selevel. Tapi setelah menikah dan baca-baca atau dapat cerita dari banyak orang aku baru benar-benar paham dan sadar bahwa kebahagiaan pernikahan dimulai dari memilih pasangan.

Sebelum memutuskan menikah, pastikan keluargamu dan keluarganya punya level value yang sama. Iya, lebih ke value bukan harta. Value disini maksudku nilai agama, bukan semata nilai budaya gitu. Karena kebanyakan pasangan sesama muslim cek cok itu karena value agama (anw aku muslim, dan diagamaku menikah beda agama tidak dibenarkan, bagaimanapun). Kalau valuenya sudah klik, insya Allah sudut pandangnya juga akan sama. Jadi enak mau gimana-gimana kedepannya.

Kalau value agama pasangan sesuai dengan kamu tapi keluarganya tidak, gimana? Haha, menurutku baiknya renungkan ulang. Kecuali kalau pasanganmu benar-benar komitmen bersedia pegang teguh valuenya yang sejalan sama kamu sekeras apapun keluarga menolak. Ingat bahwa menikah bukan sekedar kamu dan dia. Sekalipun kamu pergi merantau jauh, gangguan keluarga itu pasti ada. Yang sevalue aja kadang bikin risih, gimana yang enggak.

Jangan lupa juga dengan level pendidikan. Penting bangetttt kalau aku bilang. Pendidikan atau lebih ke kecerdasan ya bahasanya. Misalpun pasanganmu lulusan SMA dan kamu sarjana sebenarnya tidak apa kalau pasanganmu tipe orang yang hobi belajar. Daripada kamu dapat pasangan magister tapi kaleng-kaleng. Pendidikan tidak harus dibangku sekolah formal, kan. Bisa dari baca buku, workshop, seminar etc. Akan tidak nyaman kalau nantinya setelah menikah dan mendiskusikan hal-hal terpenting dalam hidup dengan seorang yang pengetahuan dan kecerdasannya tidak setara.

Dari semua di dunia ini, uang selalu yang paling indah to? Wkwk. Jadi tidak bisa dipungkiri yang wajahnya rupawan kalah sama yang mobilnya BMW. Nikah dan kehidupan setelahnya butuh dana cuy. Tampang tidak bikin kenyang, tapi uang bisa beli tampang. Memastikan bahwa pekerjaan calon pasangan sudah mapan dan gajinya cukup bahkan melimpah untuk menghidupmu (kalau kamu wanita) tidak bisa disebut matre. Justru tidak apa-apa banget karena biaya hidup mahal cynt.

Dan, satu hal yang sulit tapi memang harus ada obrolan di depan: VISI; tentang finansial, karir, anak, rumah, dan pendidikan. Finansial tentu seputar duit, mau inves apa, tabungan berapa, gaya hidup bagaimana. Kupas tuntas finansial sama dengan mengurangi kemungkinan cekcok dalam rumah tangga. Nggak jarang kan pasangan cerai karena finansial. Kalau finansial tidak kuat memang banyak susahnya sih, kecuali!

Karir apakah dia setipe denganmu, jangan-jangan kamu tipe yang setia, tetap stay dengan satu korporasi meskipun gaji naiknya merangkak asal posisi aman dan calonmu adalah kutu loncat asal gaji banyak. Perlu banget diskusi hlo karena menyangkut finansial juga. Samakan persepsi tentang karir ini. Jangan sampai nantinya karena karir jadi bertengkar tidak jelas.

Setiap yang menikah mimpinya adalah anak, to. Dan memang anak itu harga paling berharga yang dimiliki orang tuanya. Sekarang kayaknya udah tidak jaman mabuk-mabukam di depan gang gitu ya. Tapi kenapa orang bilang nggedein anak makin sulit? Karena orang tuanya kebingungan gaes. Tidak sevisi. Saking banyaknya informasi dan kemudahan aksesnya, kadang orang malah bingung; yang benar yang mana sih. Dan pada akhirnya benar dan salah kembali ke value masing-masing orang. Padahal dalam sebuah hadist disebutkan yang haq jelas yang batil jelas. Jadi kalau valuemu dan valuenya tidak sesuai, bisa tidak sinkron kan. Maka sejalan dalam value agama itu penting gaes. Penting banget note!

Karena ilmu parenting itu kedengerannya semua benar, kembalikan pada pemilik kebenaran. Banyak hlo sebenarnya yang kedengarannya indah, baik, dan benar, tapi tidak sesuai dengan yang Rasul ajarkan. Hati-hatilah calon ibu dan bapak semua.

Pasangan baru menikah wajar sih kalau memimpi punya rumah sendiri. Tapi banyak hlo yang orang tuanya keep anak tidak boleh hengkang dari rumah orang tua karena alasan lalala. Menurutku tidak apa-apa kalau memang orang tua sangat membutuhkan anaknya. Tapi kalau serumah banget jujur aku tidak bisa. Wahaha. Daripada serumah banget lebih baik rumah sendiri-sendiri tapi sebelahan atau paling nggak ya deket banget lah. Barangkali banyak ya yang bisa, tapi kalau aku serius gengs lebih baik kujadi anak durhaka (lol) daripada harus serumah banget sama orang tua. Setidaknyaman itu gimanapun. Maaf ya, tidak bermaksud mendiskredit kalian yang tinggal serumah banget sama ortu gaes. Kalian anak berbakti, serius!

Pendidikan yang aku maksud bukan sekedar dunia. Melainkan pendidikan agama misal mau ngaji (means ikut pengajian) dimana. Once more aku muslim gengs. Kesemuanya kutulis sesuai yang Rasul dan Allah perintah, karena ya hidup dunia tidak bisa dipisah dari akhirat kan. Wong mereka sepaket, pada dasarnya.

Pendidikan untuk anak-anak baik dunia maupun akhiratnya juga harus diskusi banget hlo. Bisa jadi kamu tipe yang mau sekolah setinggi-tingginya dan ngaji di X sementara pasanganmu tidak apa-apa tidak sekolah tinggi dan tidak apa-apa tidak ikut pengajian asal upgrade kualitas diri selalu. Diskusikan semuanya sejelas mungkin. Ilmu yang didapat dari tempat yang berbeda bisa menghasilkan sudut pandang berbeda dan menimbulkan pertengkaran kalau pemilik ilmunya merasa superior. Lebih baik jelas di awal daripada di tengah jalan banyak hal-hal tidak nyaman.

Lalu, ijinkan aku berterimakasih kepada Allah karena telah memberiku pasangan yang meskipun sering tidak sevisi, tapi selalu memahami. Iya, sebenarnya tidak papa kalau tidak sevisi ternyata, asal mampu memahami dan bersedia mencari jalan terbaik dalam setiap problema rumah tangga. Jalan yang benar menurutNya dong, pasti. Bukan jalan yang semata akal pikiran manusia.

Antara Adat dan Syariat bagi Ibu Baru

Setelah melahirkan, wanita harus tinggal di rumah ibu suami? Ingat ya, yang perlu ditaati itu syariat, bukan adat! Dan tinggal dimana itu sekedar urusan adat. Urusan netijen melambe ding. Wkwk.

Kalau memang tidak bahagia dengan tinggal di rumah ibu suami, boleh kok tinggal di rumah ibu sendiri. Disini aku bicaranya kalau belum punya tempat tinggal sendiri ya. Punya tempat tinggal sendiri sih enak, tinggal aja di rumah sendiri. Bebas mau gimana aja. Tapi tetap tidak bebas dari julidan karena lambe-lambe itu selalu turah.

Kenapa harus menggadaikan kebahagian sih demi kalimat indah orang? Yakin semua orang akan bersenandung indah karena kamu merasa sudah membahagiakan mereka? Namanya orang banyak, setiap keputusan yang kita ambil akan tetap dinyinyir. Tinggal di rumah ibu sendiri dibilang "kok ra gelem melu bojone", tinggal di rumah ibu suami dikatai "bar lahiran kok ra melu buke dewe po buke ra gelem ngopeni". Nah kan.

Gaes, yang perlu ditaati itu syariat, bukan adat. Karena syariat sifatnya mengekang dan berhubungan dengan kehidupan yang kekal. Jadi bikin bahagia atau enggak, manusia wajib taat pada syariat. Tapi kalau adat? Walaupun di beberapa daerah sifatnya mengekang banget, tapi hubungannya cuma sama keduniawian. Nggak bikin bahagia ya tinggalin ajalah kenapa dibikin ribet.

Ibu baru itu tidak butuh apa-apa kecuali semangat. Jangan julid, jangan nyinyir! Bahkan ibu baru itu tidak butuh kamu ujug-ujug datang begitu dia lahiran. Dia butuh semangat gaes, bukan komentar. Udah itu aja. Ngurusi dirinya dan bayinya aja sudah rempong. Jangan dibikin makin rempong dengan ngurus lambemu.

Ibu baru itu harus mampu beradaptasi dengan banyak hal dan itu sulit. Adaptasi dengan perannya, rasa sakitnya, manusia baru dalam hidupnya a.k.a bayi. Jangan dibikin makin sulit dengan ngurus lambemu, sekali lagi.

Jadi Bu, kamu bahagianya tinggal dimana, ya udah sih tinggal aja disitu. Harap Bapak-bapak menyesuaikan kemauan ibu ya. Karena aku serius dobel-dobel, IBU BARU ITU REKOSO! Makanya udah, turuti aja semua maunya asal tidak melanggar syariat. Syariat ya, bukan adat.

Mau makan makanan pedes, ya boleh. Mau ngemol padahal anak baru tujuh hari, ya boleh. Mau nggak pakai stagen, ya boleh. Mau apapun bilang aja "YA BOLEH" asal tidak melanggar syariat. Dan kesehatan serta keselamatan ibu dan bayi itu sendiri tentunya ya.

Anw, bahkan dihari aqiqah Kaisar aku dilarang makan daging atau bahkan sekedar tulang karena menurut adat memang tidak boleh. Menurut syariat boleh nggak? Ya boleh-boleh aja wong malah hadist shahihnya mewajibkan aqiqah dihari ke tujuh setelah kelahiran. Maknanya apa? Maknanya, recovery pasca lahiran perlu banyak asupan gizi yang baik, yang tinggi protein; salah satunya daging kambing aqiqahan. Kalau aku makan urap tiap hari, udah nggak bikin napsu makan, nggak bikin cepat pulih lagi. Nggak bahagia amat hidupku.

Oiya, kalau kamu bilang "wong aturan adat ki ben marai apik kok". Aturan adat yang seperti apa itu? Yang melarang ibu baru makan makanan terlalu panas, terlalu dingin, dan makanan pedas? Yang mewajibkan pakai stagen kenceng-kenceng? Yang harus pareman dan minum jamu? Aturan adat apalagi tolong sebutkan? Dan aku cuma bisa komentar tentang aturan adat tidak penting ini dengan: BELAJARLAH!

Sekali lagi, jangan gadai kebahagiaanmu demi aturan adat. Yang perlu ditaati itu syariat, bukan adat.

Eh, aku nulis ini bukan berarti semua wanita yang lahiran tidak bahagia tinggal di rumah ibu suami ya. Banyak kok yang bahagia. Aku nulis ini karena beberapa waktu lalu ada teman yang sedang hamil curhat masalah tempat tinggal paska lahiran. Dia tinggal di kota X. Niatnya besok pas lahiran kepengen pulang ke rumah ibunya di kota A. Tapi ibu suami yang tinggal di kota B rodo mekso minta temenku tinggal di rumahnya aja karena miturut adat tempat mertuanya tinggal, setelah lahiran ibu dan bayi wajib tinggal dengan keluarga suami. Temanku takut pekewuhpekewuhan gitu kalau sama ibu mertua. Tapi mau nolak permintaan mertua enggak enak. Terus dia minta saran ke aku. Ya aku jawab aja "Kira-kira kamu bahagia nggak tinggal di rumah mertua? Kalau enggak ya tolak aja nggak papa sih. Bukan masalah syariat kan. Cuma adat doang. Mertuamu dikasih pengertian aja. Soalnya paska lahiran itu hidup rasanya berat. Jadi mending kamu memilih jalan bahagia daripada hidupmu makin sengsara". Sungguh teman yang bijaksana ya 😂😂😂😂

Asal Tidak Melanggar Syariat

on Jumat, 13 September 2019

Bikin janji lunch dengan teman, laki-laki, dan aku bilang ke dia nanya mas Bely dulu bisa apa enggak hari itu. Temanku tanya "emang harus banget sama suami ya?". Ah, bung. Kalau menurut syariat malah tidak boleh laki-laki dan perempuan bertemu dengan tujuan sekedar makan bareng.

Semenjak punya Kaisar, seperti yang aku pernah tulis ditulisan dahulu, mendadak aku jadi lebih peduli pada syariat. Dan menurutku semua hal boleh kok dilakukan, asal tidak melanggar syariat. Udah. Tapi tetap, melanggar pun tidak apa-apa kalau yang melanggar memang maunya melanggar. Sudah urusan dia sama Tuhannya. Orang lain sih tugasnya sekedar menyeru, bukan mengatur. Rasul saja tidak bisa mengislamkan paman yang paling mendukung dakwah beliau, apalagi kita kaum lemah. Punya apa sampai merasa harus berhasil menyeru semua orang di dunia untuk tidak melanggar syariat.

Lagi pula dunia makin gila. Sama-sama seagama aqidahnya bisa beda. Tidak ada aturan harus menyamakan, kecuali aturan agama itu sendiri. Kembali pada masing-masing jiwa mau taat atau khianat. Lagi pula tidak papa tidak sama dan biarkan beda menjadi warna. Dosa ditanggung masing-masing, tidak perlu repot ngurusi orang lain kalau memang sudah banyak menyeru.

Kadang aku berpikir kalau aku keluar dari zona nyaman ini, berada dilingkungan yang penuh warna itu, apa aku akan bertahan atau akan goyang dan pada akhirnya menjadi objek yang diwarnai? Kalau memang akan jadi objek yang diwarnai (lagi) mungkin lebih baik aku tidak keluar. Biarkan Allah tidak mengiya pinta dan memberiku jalan selamat saja. Tapi sih doanya ya semoga menjadi pewarna, bukan yang diwarna. Karena aku maunya mimpi itu menyata. Karena aku ibu yang harus sholihah dilingkungan seperti apapun berada. Mosok minta anaknya jadi anak sholeh, ibunya aja nggak tahu sholihah itu bagaimana dan seperti apa.

Iya, semua hal boleh dilakukan asal tidak melanggar syariat dan berharapnya tidak melanggar. Kalimat itu yang akan selalu aku katakan pada Kaisar. Semoga menjadi ilmu dasar yang selalu ia iang. Kalau justru Kaisarlah yang menjadi pelanggar syariat?

Aku pikir lagi ya enaknya gimana. Kalau sudah dapat jawaban akan aku tulis lagi dan kupost di blog. Macam blogger kenamaan aja hloooh lol.

Iya, Sabar dan Percaya

on Kamis, 12 September 2019

Sudah punya balance bike sejak awal Juli tapi Kaisar masih takut naik. Mau naik pun paling cuma sebentar dan nggak mau ngulang. Sempat mau naik sepeda di jalan jadi tiap sore sepedaan. Tapi lama-lama Kaisar nggak mau lagi naik sepeda.

Bulan Agustus tidak pernah belajar sepeda yang intens gitu. Main sepeda paling di dalam rumah dan cuma sebentar karena anaknya bener-bener nggak mau belajar naik sepeda. Suatu siang nelfon uncle Alfi dan aku bilang kalau Kaisar mau kasih lihat sepeda yang kayak punya orang bule. Aku minta ke Kaisar untuk coba naik dan mendadak bisa naik sepeda sendiri, bisa dorong pakai kaki sendiri. Merasa bangga pada Kaisar karena nggak pernah diajari kok tiba-tiba bisa sendiri. Keren kan yaa.

Memang kedengaran klasik tapi menurutku benar. Aku banyak belajar justru dari Kaisar. Makanya aku merasa omongan kak @annisast itu bener banget, orang tua tidak terlalu butuh banyak teori tentang parenting. Karena pada akhirnya anak kitalah yang akan kasih tahu kita sebagai orang tuanya harus berlaku bagaimana. Selama hampir dua puluh satu bulan bersama anak, ternyata yang aku butuh banget hanya sabar menunggu dan percaya pada kemampuannya.

Seperti contoh yang aku tulis di atas, aku tidak pernah atau setidaknya effordless ngajari Kaisar naik sepeda karena Kaisar berkeras tidak mau belajar, tapi mendadak dia bisa sendiri. Bukan berarti aku tidak usaha sama sekali. Aku sering nawari untuk ajari naik sepeda, sounding kalau naik sepeda itu asik, teman-teman sudah banyak yang bisa naik sepeda apa dia nggak pengen contoh. Dia tetap menolak belajar dan aku santai sih, suka-suka dia mau belajar atau enggak. Aku cuma sabar menunggu dan percaya dia akan bisa. Nah, serius bisa. Langsung mahir malahan wong turun di turunan lumayan curam aja udah pinter, udah bisa ngebut, di jalanan pasir dan banyak batu aja nggak jatuh.

Banyak hal sih yang mendadak Kaisar bisa lakukan sendiri tanpa aku banyak ajari. Makan besar pun iya (means makan pakai piring dan sendok), aku bukan ibu yang mau rekoso bebersih bekas kotoran makan anak yang makan sendiri waktu anaknya masih belum pintar diajak omongan. Tahu sendiri kalau anak belum mahir komunikasi itu nggak bisa dikasih tahu kan. Kalau makan sendiri ya jelas kemana-mama kotornya. Jadi dulu waktu masih kecil, aku jarang ijinkan Kaisar makan sendiri apalagi makan besar. Sekarang aku kasih ijin makan sendiri dan udah pintar makan. Kecer sih tetap ya, tapi tidak kemana-mana kotornya karena sekarang sudah tahu adab makan; cuci tangan, ambil piring, sendok, dan makanan, doa, lanjut makan sambil duduk di satu tempat saja biar tidak bikin kotor kemana-mana. Bahkan dia tahu kalau selesai makan piring dicuci. Lalu cuci tangan.

Makanya kalau sekarang ada orang cerita "aku nggak papa sih anakku makan sendiri biar pun serumah kotor semua". Aku bisa enteng jawab "aku nggak bisa sih kalau rumah harus kotor. Jadi Kaisar nggak aku kasih ijin makan sendiri sampai dia paham adab makan. Buktinya dia pintar aja tuh makan sendiri, bahkan tahu adab-adabnya" lol. Karena iya, aku itu ibu yang tidak bisa lihat rumah kotor dan berantakan. Sampai dulu sempat stress berat waktu Kaisar masih kecil banget. Mau bebersih aja susah cari waktu padahal stress kalau lihat rumah nggak bersih.

Jadi bu, biarkan mereka tumbuh sesuai kemampuannya. Yang harus kamu lakukan hanya sabar dan percaya pada kemampuan anakmu. Dia akan bisa kok pada waktunya. Tidak perlu membandingkan dengan anak X atau Y. Kalau ada yang menyinyir, jangan dengarkan. Tutup telinga rapat-rapat, sabar dan percaya saja pada anakmu. Kalau bukan kamu yang percaya pada kemampuan dirinya, lalu siapa lagi?

Anw, kecuali kalau kamu menemukan kejanggalan yang keterlaluan pada anakmu ya. Jangan denial malahan kalau itu mah. Segera konsultasikan kepada ahlinya, tidak perlu banyak tanya pada mereka yang tidak punya pengalaman serupa. Apalagi tanya ke teman sekedar minta saran. Udah, jangan denial dan cepat tanggap darurat bawa ke ahlinya. Selamat bersusah jadi ibu semua. Memang susah kan ya, atau aku aja yang merasa susah lol.

Kaisar dan Posyandu

on Selasa, 10 September 2019

Beberapa hari belakangan sangat tidak produktif karena entah kenapa hloooh. Malas aja, maunya tidur mulu. Sungguh hidup yang tidak faedah. Hari ini pun mau nulis apa juga bingung. Belum ada ide matang yang bisa dituangkan dalam tulisan. Padahal banyak sekali kejadian (bahkan kejadian sesimpel Kaisar menolak Posyandu).

Apa nulis tentang Kaisar menolak Posyandu aja ya. Wahaha. Seru sepertinya.

Sedari lahir aku rajin bawa Kaisar ke Posyandu. Sewaktu bayi banget, ditimbang masih oke-oke aja. Nggak yang nangis heboh, bahkan sampai umur berapa ya, udah agak gedean, ditimbang masih anteng banget nggak nangis sama sekali. Makin besar
dan mungkin tanpa bosa-basi sampai tempat Posyandu langsung ditimbang, Kaisar jadi nangisan setiap Posyandu. Bahkan kalau pagi aku sounding tentang Posyandu, di jam Posyandu dia akan minta nenen tidur aja daripada ke Posyandu. Dibangunkan pun tidak mau, maunya nenen tidur lagi.

Puncaknya empat bulan lalu, aku bawa dia ke Posyandu berbeda dari Posyandu biasanya karena dia tidur waktu ada jadwal Posyandu di tempat biasa. Sama Kader Posyandu di tempat baru dipaksa nimbang sampai Kaisar nangis kejer banget dan itu nangis paling kejernya dia. Tempat baru, tanpa kenalan langsung disuruh melakukan sesuatu yang memang sedari awal tidak mau. Aku juga bodoh banget waktu itu. Harusnya aku bilang ke Kadernya kalau Kaisar biar main dulu. Biar bisa adaptasi dulu sama timbangan dan orang-orang di Posyandu. Biarin aja harus lama di Posyandu toh Posyandunya juga nggak keburu tutup. Tapi karena aku maunya cepet selesai dan segera pulang, ya nggak kepikiran sampai akan menimbulkan traumatis luar biasa begini dengan memaksa Kaisar datang langsung nimbang.

Bulan-bulan setelahnya sampai tiga bulan berturut-turut aku tidak bawa Kaisar ke Posyandu karena setiap diajak ke Posyandu anaknya menolak keras dan malah minta nenen tidur itu tadi. Aku memang sengaja tidak paksa toh kalau dipaksa dia akan semakin trauma dan itu tidak bagus untuk psikis dia. Aku putuskan HARUS ADA TIMBANGAN BADAN DIRUMAH dan akhirnya kami beli timbangan. Sekarang bulan ke empat dan berkat negosiasi keras Kaisar mau ke tempat Posyandu. Tapi di tempat Posyandu Kaisar cuma mau main ayunan dan tetap menolak ditimbang. Padahal sudah main ayunan di tempat Posyandu cukup lama dan dia sudah lihat banyak anak ditimbang tapi tidak nangis. Aku pun bilang kenapa harus takut dan nangis sih toh tidak sakit. Sementara Kaisar tetap emoh ditimbang.

Kalau di rumah mau nimbang kenapa di Posyandu tidak mau? Apa karena bentuk timbangannya berbeda ya. Entah ah karena apa. Yang jelas sekarang kuputuskan tiap bulan tetap harus nego keras biar mau dibawa ke Posyandu meskipun di tempat Posyandu cuma main ayunan.

Mungkin useless sih, aku juga tidak punya teori tentang trauma pada anak. Tapi banyak anak yang menolak ditimbang dan tetap dipaksa nimbang. Hidup itu preferensi masing-masing jadi disini maksudku bukan nyinyir. Kalau kamu tim maksa anakmu untuk ditimbang meskipun anaknya nangis kejer ya itu kamu dan preferensimu. Kalau aku lebih baik beli timbangan sendiri daripada bikin anak tidak nyaman. Dan kita tidak pernah tahu ketidaknyamanan itu akan berdampak sampai mana. Bukan mau bikin anak selalu nyaman, toh dalam hidup selalu ada sisi tidak nyaman dan itu hal yang tidak bisa dielak. Setidaknya jangan tambah perasaan trauma dari sisi yang bisa dihindari. Banyak hal yang bisa menyebabkan trauma dan manusia tidak bisa menghindarinya. Jadi menurutku hindari saja perasaan trauma yang bisa dihindari.

Mendadak kok punya ide bilang gini ya ke Kaisar "Emang kamu nggak pengen nyoba timbangan gede di Posyandu? Toh nggak sakit juga kan ditimbang itu. Kalau nanti kamu takut kamu boleh nangis kok. Tapi coba naik ke timbangan gede aja dulu. Biar tahu rasanya seperti apa, emang horor apa enggak, dan kamu akan nangis apa enggak". Oke baiklah, menulis itu memang memunculkan ide bukan menuangkan ide yang muncul lol. Boleh dicoba deh dan lihat gimana reaksi Kaisar. Kalau dia tetap menolak Posyandu atau setidaknya mau ke tempat Posyandu tapi tidak mau nimbang di Posyandu, itu haknya dia dan tugasku sekedar meyakinkan aja kalau nimbang di Posyandu itu tidak papa dan harapannya traumanya hilang.

Useless mungkin untuk dilakukan, serius. Tapi bagiku PR berat ini menuntaskan trauma Kaisar pada Posyandu. Huhu jadi ibu memang seberat itu ya. Begini jihad, kalau tidak berat malah tidak seru untuk dilakukan, ya kan? Selamat berjihad semua ibu di dunia.

Ps: sebenarnya aku salah banget bilang ke Kaisar "kenapa harus takut dan nangis wong tidak sakit". Memang takut dan nangis harus sakit? Tidak untuk ditiru ya. Ini anaknya sedang tidur, nanti kalau bangun akan klarifikasi kalau sudut pandangku tentang takut, nangis, dan sakit itu keliru. Manusia boleh kok takut dan nangis meskipun tidak sakit. Kalau sakit tapi tidak takut dan tidak nangis juga sah saja. Semua rasa tergantung pengelolanya. Hanya, sejatinya manusia tidak berhak atas segala sesuatu dalam hidup karena memang bukan miliknya, termasuk tentang rasa. Yang bisa manusia lakukan hanya bijak mengelola titipan, termasuk tentang rasa. Apa banget sih ini penutupnya lol. Semoga faedah.

Kran Air Pakde Brahim

on Jumat, 06 September 2019

Kemarin malam, bapak tanya ke aku waktu aku mau beli gas di toko mama "Koe ngrusak kran ngarepan ro, Ia?". Aku yang tidak tahu apa-apa ya teng plenggong dong (apa bindonya teng plenggong lol). Prediksiku pelakunya anak-anak sih. Memang kran depan rumah itu tempat bermain anak-anak karena kran itu biasanya dipakai tukang cari air untuk mencetak batako. Dan kalau ada tukang batako, sudah pasti anak-anak ikut berkerumunan disitu. Ikutan main pasir dan air atau bantu tumpang batako ke pick up. Karena kejadian kran rusak setelah tukang pada pulang dan tidak seorang pun di rumah, makanya tidak tahu siapa pelakunya. Tapi ya sekali lagi, paling anak-anak. Wong yang suka main disitu cuma anak-anak.

Sampai pagi ini pelaku perusak kran belum ditemukan, tapi pelaku meninggalkan barang bukti; sampah semangka dua biji. Herannya kenapa tidak ada satupun anak yang melapor ke bapakku tentang kejadian kran rusak kemarin? Setidaknya kalau anaknya takut ya orang tuanya gitu yang melapor. Bosa-basi minta maaf atau gimana. Kenapa tidak ada sama sekali? Aku jadi sedih.

Kemungkinan pertama, anak memang tidak lapor ke orang tua kalau dia habis merusak kran Pakde Brahim karena takut kena marah. Merusak barang sama dengan merugikan pemiliknya hlo, kenapa harus takut kena marah kalau sudah terlanjur merugikan orang lain.

Kemungkinan kedua, anak sudah lapor tapi orang tua tidak merespon karena takut harus gantu rugi. Ah, mana ada sih cerita barang orang tuaku di rusak dengan tidak sengaja oleh anak-anak dan minta ganti rugi. Kaca yang mayan mahal aja nggak minta ganti kok apalagi cuma kran yang bapakku aja jual. Berarti tidak mungkin kalau anak sudah lapor tapi orang tua tidak merespon. Dugaanku masih kuat di kemungkinan pertama. ANAK TIDAK BERANI LAPOR KE ORANG TUA KARENA TAKUT KENA MARAH.

Masih kanak-kanak dan melakukan kesalahan yang sebenarnya tidak terlalu fatal wong yang dirusak cuma kran, kenapa tidak berani bilang. Mungkinkah orang tua anak itu GALAK SEKALI sampai anaknya tidak berani mengutarakan kesalahan karena setakut itu dimarahi? Masih kanak-kanak hlo, sudah tidak mau mengatakan kesalahan lakunya pada orang tua. Bagaimana kalau anak itu meremaja, mendewasa, dan melakukan kesalahan yang jauh lebih fatal? Mana bersedia cerita ke orang tua.

Sekaligus bersyukur dengan kejadian kran rusak ini, jadi beginilah awal dimulainya orang tua tidak tahu kalau kelakuan anaknya ternyata seburuk itu. Sering sekali tetangga ngrasani anaknya X itu suka mabok. Tapi kalau X dengar anaknya dirasani suka mabok, dia akan ngamuk. Padahal faktanya anak X memang sering mabok-mabokan. Bukan sekedar mabok, juga judi dan main perempuan. Tapi dimata ibunya anaknya adalah malaikat yang tidak pernah neko-neko. Iya, jadi dari sinilah cerita itu dimulai; sedari kanak-kanak.

Pembelajaran NYATA juga buat aku yang ibu baru; luangkan waktu mendengarkan anak bercerita. Agar ketika dia merusak barang orang lain, dia berani menceritakan pada ibunya. Ketika dia merusak dirinya sendiri pun dia tidak malu bilang pada ibunya. Anak tidak butuh apa-apa selain pelukan ibunya dan kalimat "aku memahami". Sampai besar nanti, anak-anak adalah manusia yang hobinya eksplorasi. Namanya saja eksplorasi, kadang melakukan hal yang salah itu tidak apa-apa. Dia hanya perlu cerita pada ibunya dan ibu akan membantunya meluruskan semua.

Bukan berarti ibu punya wewenang ikut campur kehidupan anak seratus persen, ibu adalah rumah yang selalu dirindu untuk pulang dan menjadi satu-satunya kenyamanan; ibu adalah teman perjalanan paling hangat dan petunjuk arah paling tepat. Meskipun mereka anak kita, tapi kita tidak pernah berhak atas hidupnya, bahkan tentang agamanya. Yang bisa kita lakukan hanyalah terus menyontohi dan menuntunnya tetap berada pada jalan syariat. Berusaha dan kerja keras agar anak menjadi pribadi sholeh yang takut pada Tuhannya. Berdoa banyak-banyak dan menyerahkan hidup anak kita pada pemiliknya, Rabb Semesta.

Iya, karena menjadi pendengar yang baik saja tidak cukup (apalagi kalau tidak bisa jadi pendengar yang baik). Ada kehendak di luar diri kita yang mengatur segala. Sang Pencipta. Usahakan yang terbaik, berdoa banyak, dan berserahlah. Ia sebaik-baik penulis cerita dan tetapanNya adalah sempurna.

Selain belajar menjadi pendengar yang baik, belajar untuk jadi shalihat sama-sama yuk. Kenapa sih harus shalihat? Karena baik saja tidak pernah cukup.

Banyak orang diluaran yang kalau dilihat secara lahir tidak kurang satu apapun; jebolan pesantren, ibunya pendengar yang baik, karirnya bagus, tapi ternyata dia guy/lesbian. Kenapa? Karena ternyata ibunya tidak shalihat. Anak dimasukkan pesantren karena si ibu malas berbenah tapi menginginkan anaknya sholeh/sholehah. Banyak yang salah pergaulan, merasa mendapat pacar yang hangat dan mau mendengarkan keluh lalu menyerahkan kehormatan. Hanya karena ibunya tidak pernah memberikan ia pelukan dan telinga untuk mendengarkan, padahal ibunya "shalihat"; solat aja 50 rekaat sehari semalam, belum puasa, zakat, dan berkali-kali haji.

Dapat gambaran kan yang dimaksud mendengarkan dan shalihat itu korelasinya seperti apa? Jadi, mari berbenah. Sudah banyak yang diperbaiki saja masih salah sana-sini, apalagi yang tidak mau melakukan perbaikan? Semangat berbenah menjadi pendengar yang baik dan ibu shalihah 😘.

Tentang Inferior (Lagi)

on Kamis, 05 September 2019

Orang bilang, hidup adalah pantulan dari perjuangan diri. Tapi banyak tuh yang berjuang mati-matian hidupnya tetap B aja. Sementara yang berjuangnya B aja mendapat semua-mua yang diminta. Kalau menurutku memang ada beberapa hal di dunia ini yang disebut jatah. Maka salah satu perintah paling saklekNya adalah sabar dan syukur. Sabar ketika beberapa hal tidak Ia iyakan, dan syukur ketika iyaNya sefrekuensi dengan pinta.

Meskipun di dunia ini ada yang disebut jatah, bukan berarti pekerjaan manusia hanya berpangku tangan menunggu. Justru karena keberadaan jatah ini, yang bisa manusia lakukan adalah tetap berusaha dan berprasangka baik pada setiap tetapanNya. Ada kalanya berjuangan keras tidak sehasil dengan yang kita minta, itu tidak papa. Akan ada ganti yang lebih pas untuk kita dan jaminanNya bahwa pengganti itu adalah lebih baik daripada yang kita minta. Tetap percaya padaNya, sabar dan syukur. Sebaliknya, ketika mendapat hasil sesuai dengan harapan, ingat bahwa tidak ada satu kejadian pun bukan atas kehendakNya, maka bersyukurlah. Banyak hal di dunia ini sering di luar logika, tapi sepengalamanku ialah tanganNya yang sedang bekerja. Memang sabar dan syukur adalah sebaik-baik perilaku setelah lelah berusaha.

Aku nulis begini bukan berarti aku sudah sepenuhnya mengimani. Bisa nulis begini karena aku mulai inferior lagi. Mendadak pagi-pagi baca tulisan orang "hidupmu adalah pantulan perjuanganmu" padahal beberapa malam lalu seorang teman cerita kalau dia tidak punya usaha keras khusus sampai bisa mendapatkan apa yang sekarang paling aku inginkan. Sementara aku, belakangan sedang mati-matian keras bekerja demi mendapat yang sudah dia miliki. Kalau sampai aku tidak bisa meraih mimpiku, berarti pantulan diriku seburuk itu dong, padahal jelas aku sudah merasa kerja keras, jauh lebih keras dari temanku.

Nah kan, ujian saja belum sudah memikirkan kegagalan. Ya itu buruknya aku, tapi aku lebih nyaman memikirkan kemungkinan terburuk daripada membayangkan peluang terbaik. Karena aku suka depresi berat kalau gagal, maklum anaknya jarang gagal wkwk. Enggak sih, bukan jarang gagal tapi jarang mencoba jadi tidak pernah tahu akan gagal atau berhasil. Kenapa jarang mencoba? Karena takut. Wahaha. Ya gimana Allah akan mengubah hidup kalau aku saja tidak berusaha mengubahnya. Kalau sama perubahan saja takut gimana mau maju.

Aku dengar kalimat ini dari Najwa Shihab "kalau tidak ada yang dipertaruhkan dalam hidip, maka kamu tidak akan memenangkan apa-apa". Dan itu related sekali ternyata. Karena terlalu banyak takut, tidak mau bertaruh, makanya hidupku gini-gini aja. Padahal gagal setelah keras bekerja itu sangat tidak apa-apa wong usaha keras tetap dapat pahala dan gantiNya atas ketidakmampuan capai manusia jelas akan lebih baik. Asal tetap sabar, berprasangka baik pada tetapan, dan tidak lupa bersyukur atas semua pencapaian. Lagipula seperti yang pernah aku tulis, setelah dilist ternyata hanya akan satu dua hal yang kita tidak punya dalam hidup ini.

Memang orang bilang "nandur iku ngundhuh", tapi tidak papa kalau tidak ngundhuh yang ditandur kan? Insya Allah akan ngundhuh yang lebih baik meskipun bukan tanduran sendiri kalau memang itulah gantinya menurut Allah. Biarkan dia bekerja dengan tanganNya yang Maha Sempurna menulis skenario cerita kita. Tidak perlu banyak berkelak atau berkesah atau menampik segala rupa; CUKUP KERJA KERAS, SABAR, DAN SYUKUR.

Menjadi ibu dan (usaha) menjadi salihat

on Rabu, 04 September 2019

Seandainya Kaisar tidak lahir, barangkali Nia masih menjadi wanita muslim yang malas belajar agama, apalagi mengamalkan. Mana mau berpakaian sesuai yang Allah perintahkan, mana mau belajar keuangan islam yang sesuai aturan Allah, mana mau memedulikan kehalalan makanan yang dimakan; mana mau belajar berbenah menuju salihat. Iya, sudah berjalan saja rasanya kok tidak sampai-sampai. Apalagi kalau sekarang belum berjalan, kapan sampainya ya. Wkwk.

Memang salihat bukan tujuan, tapi proses. Menjadi jiwa yang takut akan Allah dan menjadikan ibadah sebagai kebutuhan sampai terbentuklah pribadi berakhlak mulia. Mungkin sekarang tarafku masih pada tahap pertama, masih jauh ya menjadi pribadi berakhak mulianya. Ah sudah, dicoba saja.

Kenapa Kaisar bisa jadi motivator terkuat? Sesimpel, aku pengen Kaisar menjadi lelaki yang salih. Mana bisa dia jadi lelaki yang salih kalau ibunya saja tidak tahu salihat itu bagaimana. Dapat contoh darimana kalau bukan dari ibunya (orang tuanya)? Maka aku memutuskan untuk bergerak; menjalankan perintah dan menjauhi larangNya dengan usaha sekeras mungkin. Susah hlo, anw, berbenah dari yang semula jilbab selehar sekarang menutup dada. Yang biasanya makan ayam tepung subhat itu dengan lahap, sekarang anti jajan kesana. Yang berkeras bahwa punya pinjaman di lembaga keuangan konvesional itu sama sekali nggak papa karena tanpa mereka financial kita akan segini-gini aja. Serius susah. Seandainya Kaisar tidak lahir aku mah nggak akan mikir sampai kesana karena toh dunia ini indah dan sebentar.

Maka Allah menitipkan Kaisar sementara doaku aku ingin menunda kehadiran nyawa baru dalam hidup kami. Karena ternyata Allah lebih tahu daripada aku. Sebelum memperbaiki duniaku, Allah ingin aku berbenah untuk akhiratku.

Jadi, misal harus ada dua garis kedua harusnya aku siap doong. Ya tetap enggak sih, karena taraf salihatku masih secuil, belum bisa berlelah jihad bak muslimah kaffah. Kecuali kalau memang takdirnya dititipi, mau bagaimana kalau bukan ikhlas. Semampunya kami hanya menjaga agar tidak ada nyawa baru lagi dalam hidup kami. Dosa ya. Mohon maaaf memang belum kaffah.

Memahami perbedaan (agama)

Mengkotakkan agama itu yang bagaimana? Kalau ada anak nyletuk? "Hloh, kamu kristen ya? Nggak boleh hlo, harus islam". Keliru nggak anaknya? Kalau dalam kitab Qur'an ya, celetuk anak tersebut tidak keliru. Memang agama satu-satunya yang diridai disisi Allah hanyalah Islam. Pintar itu anaknya.

Yang menjadi salah adalah ketika anaknya tidak memanusiakan mereka yang tidak seagama, yang tidak mau berteman, tidak mau berbagi makanan, tidak mau menghargai ibadah agama lain.

Selain agama, semua hal boleh beda dan semua hal harus ditolerensi asal tidak melanggar nilai dan norma yang berlaku. Kalau agama? Ya harus islam. Tapi boleh nggak kalau tidak mau berteman dengan mereka yang bukan muslim? Ya tidak boleh. Semua teman, dan berteman dengan yang berbeda itu tidak apa-apa.

Waktu SD aku punya kakak kelas kristiani dan jaman dulu dia satu-satunya murid non muslim. Mayoritas murid di SDku tidak mau berteman dengan dia. Aku? Ya mau-mau aja kenapa tidak. Padahal aku berjilbab sementara mereka yang suka menghujat dan menjauhi kakak kelas kristianiku itu tidak. Kenapa begitu? Karena bapakku bilang, tidak papa kalau dia kristiani, itu pilihan dia. Tapi seharusnya dia muslim agar bisa masuk surga. Dan aku harus tetap baik padanya karena aku adalah muslim yang baik. Hanya muslim yang baik yang bisa masuk surga. Karena surga dalam bayanganku terlalu indah, maka aku baik doong dengan siapapun karena aku ingin masuk surga. Lol.

Sekarang pun aku berteman dekat dengan seorang kristiani. Aku tidak pernah bermaksud mengislamkan dia demikian pula dia. Kami beragama sesuai keyakinan masing-masing dan tetap berkeras bahwa agama kami yang paling benar. Ya tidak apa-apa, karena setiap pemeluk agama yang taat harusnya demikian. Yang tidak perlu dilakukan adalah tidak menghargai satu sama lain.

Masalahnya bukan tentang mengkotak-kotakkan agama, tapi bagaimana bersikap kepada pemeluk agama lain. Jelas, agama yang paling benar adalah Islam karena aku muslim. Sebagai muslim yang baik tidak boleh mengolok-olok pemeluk agama lain karena nash Allah "bagiku agamaku, bagimu agamamu". Dan bertindak dengan sebaik-baik perilaku adalah cerminan diri seorang muslim yang kaffah.

Kembali ke kasus anak kecil di atas. Kira-kira kenapa anak itu bisa nyeletuk begitu? Karena orang tuanya tidak gamblang menjelaskan kenapa harus islam dan bagaimana seorang muslim bersikap. Kalau orang tuanya dengan jelas menjabarkan akhlak dan pribadi seorang muslim, anaknya akan tetap menghargai perbedaan agama meskipun dia tahu bahwa satu-satunya agama yang benar adalah agamanya.

Jadi, belajar Al-Qur'an dan mengamalkannya itu WAJIB bagi setiap jiwa yang beriman. Ayo belajar agar makin bijak duniawi dan ukhrawi. Muslim dilarang diam.

Eh tapi aku dulu juga pernah nanya sih kenapa dia bisa kristen gitu wkwk. Tidak papa menurutku nanya. Karena kakak kelasku juga bertanya kepadaku kenapa aku islam. Namanya juga anak kecil, penasaran banget wajarlah. Asal tidak memusuhi, menghina, dan merendahkan pemeluk agama lain; ya tidak apa-apa. Karena memang berteman dengan yang berbeda itu tidak apa-apa.

Memesantrenkan Anak

Keluargaku, yang tiap hari berasa akhir pekan, kemarin sore berbincang tidak penting mengenai memasukkan anak ke pesantren. Adikku bilang kalau dia berencana memasukkan Sheza ke pesantren dengan alasan biar tidak repot-repot ngurus. Tetangga kompleknya ada yang punya anak tiga dan semua di pesantren. Pekerjaan ibunya cuma wara-wiri tidak jelas kemanapun suka. Dan adikku kepengen lol.
Mengenai memesantrenkan Sheza, suami adikku tidak pro karena akan tidak ketemu dan itu sad, katanya.

Jadi, kamu tim pro anak dimasukkan pesantren atau yang tidak pro? Aku jelas tim tidak pro. Hlah, bukannya di pesantren anaknya bisa tumbuh jadi anak shalih/shalihah? Yeee, emang yang bukan anak pesantren tidak bisa shalih/shalihah. Justru anak pesantren itu beberapa adalah anak buangan orang tuanya. Merasa tidak bisa ngurus anak dengan baik dan benar, maka orang tua menitipkan ke pesantren. Kok aku ngomongnya gini sih? Ya memang beberapa orang di circleku dengan jujur memverbalkan alasan mereka mamasukkan anak ke ponpes karena itu. Jadi aku berani berstatemen begini. Maka diatas aku tulis BEBERAPA karena memang tidak semua. Mayoritas nggak? Kalau itu kurang tahu sih, sila survei sendiri.

Tapi ada tetanggaku yang keempat anak lelakinya di ponpes semua dan semuanya jadi anak shalih no abal-abal. Karena memang sedari kecil anaknya sudah disounding bahwa ponpes itu tempat terbaik belajar agama. Anaknya jadi ustadz semua sekarang. Keren banget yaa. Bahkan salah satu anaknya ada yang hafidz Qur'an 30 juz. Proud of them as parents.

Ini kalau aku ya. Aku lebih percaya pada kemampuanku membesarkan anak daripada kutitipkan di ponpes meskipun kadar imanku jauh lebih rendah dibandingkan ustadz/ustadzah di ponpes. Lah bodo amat, anak jelas lebih suka tinggal dengan orang tua daripada dengan yang awalnya bukan sesiapa sekalipun kualitas orang tuanya tidak seberapa. Tapi kalau kalian imannya sudah sekelas tetanggaku yang ridha keempat anaknya ponpes semua, dan memasukkan ponpes bukan biar tidak ngurus tapi karena memang kepengen anaknya belajar agama dengan baik dan benar plus si anak pun deal dengan keputusan itu, maka ponpeskanlah. Karena memang berada di tengah-tengah lingkungan orang shalih/shalihah itu auranya beda aja sih.

Padahal Kaisar masuk SD aja masih lama kenapa aku sudah nulis tentang memasukkan anak ke ponpes ya. Gegabah wkwk. Ya karena aku pernah sekolah yang separo muridnya boarding (akunya enggak karena aku TIDAK MUNGKIN BISA JAUH DARI RUMAH-kala itu). Beberapa temanku ada yang boarding cuma setengah jalan dan berakhir mau jadi anak sekolahan biasa aja tanpa boarding. Karena memang seharusnya pulang itu ya ke rumah; rumah dimana orang tua dan saudara-saudara kita tinggal bersama; bukan ponpes. Ah, nggak gitu juga kali. Banyak yang semua anaknya ponpes tapi tetap dekat dan hangat dengan orang tua. Banyak yang tidak ponpes dan tiap hari pulang ke rumah tapi tidak pernah berkomunikasi dengan orang tua. Karena menurutku, si Ibu Kemarin Sore, kedekatan itu bukan perkara seintens apa bertemu, tetapi semampu apa meyakinkan bahwa dimanapun kamu, aku ada untukmu.

Sejauh ini yang kutakutkan bukan kalau Kaisar ponpes sih, tapi kalau Kaisar jadi anaknya Djarum lol (gegabah banget kan). Kalau Kaisar harus di Kudus dan kami tidak bisa bertemu setiap hari, karena membayangkan hal itu aku sempat berpikir untuk "kayaknya aku kepengen jadi juragan kaya raya aja deh" dengan maksud bisa ke Kudus sesukaku tanpa dikekang pekerjaan yang banyak aturan. Tapi nanti biarlah menjadi misteri. Yang perlu kulakukan sekarang adalah memerbaiki diri berjalan menuju the real shalihat karena aku masih lemah banget. Bahkan beberapa hari belakangan berasa jiwaku kurang siraman makanya hamba banget; dan berakhir suka marah-marah ngomel tidak jelas, bentak-bentak Kaisar. Oh Allah, sad.

Jadi bu, mari on the way menuju shalihah meskipun rasanya "kok tidak sampai-sampai". Mulai aja dulu yuuk. Biar tidak memasukkan anak ke ponpes karena alasan tidak mau repot ngurus lol. Hanya bercanda yaa. Kamu boleh kok memasukkan anak ke ponpes dengan alasan itu. Tapi ingat ada Allah, Zat yang pantas (wajib) kamu takuti.

Mengkhitankan anak laki-laki

Anak tetangga sekitar umur 11 tahun dikhitan. Herannya ada orang lain (bukan keluarga anak itu) yang bilang kalau penis anak yang khitan itu pendek makanya kesakitan waktu dikhitan. Heran, kok bisa tahu ya. Apa keluarga anak itu kasih tahu ke orang-orang atau gimana. Kasihan anaknya, gimana kalau sampai besar orang-orang masih ingat kalau penis anak itu pendek. Kan malu.

Jadi kepikiran untuk merahasikan khitan Kaisar dari siapapun. Selesai proses khitan baru kasih tahu ke keluarga kalau sudah khitan gitu aja apa ya. Bukan gimana-gimana ya, mohon maaf bagaimanapun, penis itu kemaluan laki-laki dan sudah sewajarnya kalau menjadi privasi sekalipun laki-laki itu masih kanak-kanak. Nantinya dia akan tumbuh jadi lelaki dewasa kan. Sudah pasti malu kalau alat kelaminnya sempat menjadi bahan obrolan di masa kecilnya.

Mohon maaf tidak bermaksud nyinyir. Semata mengingatkan diri sendiri dan pembaca tulisan ini untuk menjaga apa-apa yang harusnya tidak orang lain ketahui tentang anak kita. Termasuk kakek neneknya kalau memang hal itu terlalu private. Dibilang terlalu over protective sama anak? Dih, MASA BODOH! Jama'ah mah bebas nyinyir parentingku dengan bahasa sekeji apapun. Aku anaknya nggak mempan kalau dinyinyir soal parenting style. Wahaha. Tapi kalian nyinyir karena aku wanita yang ndongkrok di rumah doang alias pengangguran, iya aku juga sedih kok. Kasih info loker dong. Siapa sih yang nggak sedih kalau nggak bisa cari duit sendiri. Tapi ya nggak papa nganggur, karena kalaupun aku kerja sepertinya gajiku tidak akan cukup untuk membayar daycare Kaisar wahaha.

Iya, aku pernah bilang ke ibuku (mertua) minta tolong ngasuh anakku kalau aku tinggal kerja. Itu aku bilang pagi, malemnya aku nangis nggak bisa tenang sekuat apapun berusaha nenangin diri wahaha. Means, aku memang tidak bisa ninggal anakku bekerja diasuh oleh orang yang menurutku kapasitasnya tidak sesuai dengan ekspektasiku. Alhamdulillah, Allah dengar dan kabulkan doaku malam itu untuk ngasuh Kaisar dan tidak harus bekerja. Terima kasih Allah, terima kasih mas Bely.

Nah kan nggrambyang. Back to khitan yuk.

Sebenarnya aku sudah ada rencana mengkhitankan Kaisar umur satu tahun. Takdir Allah ketika umur satu tahun Kaisar itu sakit dan sempat agak dramatis gitu kisah berobatnya. Makin dia besar makin urung gitu mau khitan. Kenapa? Takut riwil dan bikin capek sih mwahaha. Aku tidak siap untuk itu karena mas Bely harus bekerja. Kalau Kaisar rewel aku tidak bisa momong sendirian tanpa mas Bely. Jadi ya sudah. Kita tunggu saja gimana nantinya.

Waktu anak teman yang baru berumur seminggu sudah khitan, rasanya pengen banget segera mengkhitankan Kaisar. Tapi kok ya itu hlo, takut rewel. Padahal khitan itu sunah hlo, tapi kenapa hati ini masih saja mengkhawatirkan dunia ya Allah: takut capek. Gini deh bedanya ibu yang The Real Shalihat dan ibu yang otw shalihat tapi nggak lekas shalihat. Ada juga teman yang mengkhitankan anaknya umur berapa ya, 7 bulan kalau nggak salah (or more, lupa). Mereka berdua bilang recovery anaknya cepat dan rewel cuman sehari dua hari. Habis itu ya udah, sembuh sendiri dan nggak rewel lagi. Jadi memang sebaiknya mengkhitankan anak laki-laki itu waktu masih bayi. Dokter apin pernah bahas, baca aja.

Yang anaknya belum lahir, rencakan khitan pada hari-hari pertaman hidupnya. Selamat dikhitan semua anak di dunia. Cepat pulih yaaa.

Berbenah

Selain lelah, membesarkan anak ternyata tidak mudah. Tidak mudah karena memang banyak hal yang harus dipelajari, dan itu lelah yang bertambah lol. Kalau tidak mudah dan tidak lelah berarti malah tidak wajar dong ya karena memang jadi ibu itu jihad seumur hidup berpahala jannah kalau lillah.

Tapi dari yang kuamati selama 20 bulan usia Kaisar, makin dia besar kok momongnya makin nyaman. Makin berkurang lelahnya. Entah karena dia yang berubah atau aku yang berbenah. Semenjak dia bisa diajak komunikasi dengan baik atau semenjak aku mampu mengajaknya berkomunikasi dengan baik, aku bingung mana yang benar. Kalau dilogika sih yang benar ya semenjak aku mampu mengajaknya berkomunikasi dengan baik karena secara kodrat sedari bayi banget anak-anak itu pintar memahami kondisi.

Mungkin titik baliknya ketika adikku pulkam sekitar dua bulan lalu. Aku lihat dia kok santai banget momong Sheza, kalem dan tidak kemrungsung. Menunggunya melakukan apapun dan melakukan banyak bergaining dengan sabar. Aku melakukan metoda yang sama pada Kaisar dan ternyata berhasil. Sekaligus dua bulan lalu aku ikut kuliah WA gratis dan khatam baca tiga buku tentang montessori. Jadi tetap menurutku selain observasi bagaimana pengalaman orang lain (entah baca, dengar, atau mengamati langsung seperti aku terhadap adikku) juga BELAJAR teori secara mandiri melalui media apapun. Kalau aku ya ini, teori utama yang butuh dipelajari bukan tentang parenting. Yang harus dipelajari dan dikuasi itu lebih dulu pada self healing. Bagaimana cara dealing dengan diri terhadap masa lalu yang membuat kita sebagai ibu sering kelepasan tidak nyaman dan akhirnya memunculkan amarah uncontrolable. Lalu forgiving, memaafkan semua kekacauan masa lalu, menyelesaikan perasaan tidak nyaman, dan bersyukur. Iya, ternyata banyak-banyak bersyukur itu sebuah perbuatan kecil berdampak besar hlo. Dengan banyak syukur, bisa lebih sabar, nerimo, dan legowo pada jalan ceritaNya yang sempurna dalam hidup ini.

Kalau dealing dengan diri sendiri sudah berhasil, insya Allah proses menjadi ibu shalihat akan lebih mudah dijalani. Membenahi diri, memaafkan, banyak bersyukur dan pada akhirnya akan sampai di puncak kebutuhan tertinggi seorang ibu: SABAR. Karena serius sabar itu sulit, menurutku. Mau menunggu anak yang sedang berusaha makan sendiri dan rumah jadi kotor maksimal lalu tidak marah adalah achievement yang bagiku applause wajib meriah. Aku memang setidak sabar itu, anw. Tapi setelah mampu berbenah, kesabaran itu dengan sendirinya muncul.

Selain sabar, ada hal lain yang harus bisa dilakulan seorang ibu: PERCAYA PADA ANAK. Meskipun kedengarannya khayal, tapi ragu dengan kemampuan anak menyebabkan anaknya jadi gagal melakukan sesuatu hlo. Pengalamanku sih, entah teorinya bagaimana. Setelah aku banyak percaya pada Kaisar, ternyata dia memang bisa dan menurutku itu luar biasa. Kalau teori percaya pada anak ini aku pelajari dari belajar montessori. Jadi dalam montessori itu mengijinkan anak melakukan apapun karena percaya kemampuan anak. Bahasa gampangnya seperti iklan susu deh; YA BOLEH.

Di atas aku tulis kalau belajar self healimg lebih prioritas daripada belajar parenting. Tapi kondisi masing-masing orang berbeda dan kalau di aku lebih baik aku menyembuhkan luka masa laluku lebih dulu sebelum belajar hal lain. Makanya aku lebih suka belajar self healing daripada parenting. Kalau kamu jiwanya sudah sehat dan siap belajar parenting ya sila belajar. Aku tidak suka belajar ilmu parenting karena menurutku ilmu parenting itu absurd; menurut B adalah A dan menurut A adalah B. Lebih baik ciptakan teori kita sendiri melalui observasi terhadap anak daripada susah-susah baca teori orang dan tidak related dengan kondisi kita dan anak kita. Mungkin kalau belajar teori dan dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan akan lebih keren ya pola pengasuhan terhadap anak. Bolehlah dicoba.

Lalu kenapa aku baca montessori? Karena aku tertarik dan montessori ternyata menyembuhkanku luka masa laluku. Jadi Mama dan Bapakku tipe orang tua yang suka ragu dengan kemampuan anak dan tidak sabar "menunggu" anaknya berusaha dengan caranya sendiri. Di montessori ini kok ada fun fact yang menurutku cocok dengan kemauanku dalam membesarkan Kaisar dan itu bukan cara Mama dan Bapak yang tidak kusukai. Meskipun tidak saklek kuiyakan 100% sih teorinya, beberapa hal tidak available dipraktikkan karena kurang sesuai dengan kondisi kami. Kuputuskan untuk mengaplikasi yang sesuai kondisi saja atau sebutlah sesuai kebutuhan.

Banyak-banyaklah belajar ya Bu. Tanpa ilmu apalah arti amalan, betul? Dengan banyak ilmu, insya Allah amalan akan membaik: berbenah diri. Dan kenyamanan pengasuhan antara ibu dan anak bisa dimaksimalkan. Semangat menjadi ibu pembelajar semuaa.

The Real "New Life"

Menurutku "selamat menempuh hidup baru" kok lebih cocok diucapkan kepada orang tua baru daripada pengantin baru ya. Karena kalau dilihat-lihat setiap pasangan baru hidupnya masih enak aja, masih bisa kesana kemari dan tertawa meskipun uang pas-pasan, masih bisa tidur dan bangun sesuka hati, masih bisa lakukan apapun sama seperti belum menikah. Justru perubahan paling drastis dalam hidup malah ketika anak lahir. Yang biasanya kemana-kemana sesuka hati, tidur dan bangun sesuka hati, tetiba ada tanggungan yang wajib jadi prioritas.

Atau mungkin memang hidup sudah berubah setelah menikah? Hanya saja karena dulu setelah menikah (sebelum punya anak) aku dan mas Bely masih tinggal dengan orang tua, jadi berasa tidak ada yang berubah. Setelah tinggal sendiri dan merasakan rekosonya mengurus rumah dan keluarga jadi berpikir kalau semua hal mendadak berubah dan the real new life is begun gitu ya. Karena dulu waktu masih tinggal serumah dengan orang tua apa-apa sedia, bahkan uang aja sering dikasih, bangun tidur sarapan siap, baju dibelikan. Setelah tinggal sendiri bangun tidur belum ada makanan ya kelaparan.

Kalian yang setelah menikah langsung tinggal pisah dengan orang tua merasa hidup auto berubah nggak sih? Kalau yang setelah menikah sudah pisah rumah dengan orang tua dan hidup masih rasanya baik-baik saja, berarti emang bener perubahan paling besar itu ketika punya anak. Eh related nggak ya ini, the real new life is happen after having a baby. Bagi yang the real new lifenya udah dimulai setelah menikah mungkin punya anak akan biasa aja, hidupnya nggak drastis berubah. Tapi yang ceritanya sama seperti aku baru kerasa banget setelah punya anak "seberat ini ya hidup itu, ternyata".

Poinnya kalau di aku, ini aku ya, kalau case dikalian beda sah-sah saja. Kondisi idealnya orang menikah itu ya tinggal pisah dari orang tua. Mengurus rumah tangga kecilnya sendiri dengan segala tanjakan dan turunan serta lika-likunya takdir kehidupan. Tapi dalam beberapa kisah idealisme itu bullshit kan, entah tidak bisa tinggal pisah dari orang tua karena financial, atau karena kondisi orang tua tidak memungkinkan untuk ditinggal, atau memang pasangan LDM, dan atau-atau lain, masih serumah dengan orang tua itu tidak papa asal mandiri. Memang niatnya menikah, menempuh hidup baru, ya diperbarui dong hidupnya. Semua kebiasaan buruk hapus perlahan.

Tapi banyak hlo yang sudah menikah, sudah punya anak, dan hidupnya masih santai saja tidak begitu berubah. Salah nggak? Hidup hidupmu sih, kalau kamu merasa nyaman dengan tidak berubah ya itu kamu dan urusanmu. Menurutku kalau (bahkan) setelah punya anak tidak ada atau sedikit yang berubah dalam hidupmu berarti ada yang harus diperbaiki. Karena sejatinya perubahan itu pasti dan harus diakui. Dan salah satu perubahannya adalah dengan tidak banyak bergantung pada orang tua setelah menikah. Kalau masih banyak bergantung sama orang tua sudah pasti hidupmu tidak banyak berubah karena apa-apa masih njagakke.

Iya, dari setelah menikah mandirilah (entah pisah rumah atau kalaupun masih harus serumah dengan orang tua tetap usahakan mandiri). Jadi kalau nanti anakmu lahir dan banyak tanggung jawab baru dan semua benar-benar berubah, kagetnya sedikit aja nggak kebangetan seperti aku. Aku akui sih, sebelum tinggal pisah dengan orang tua aku dan mas Bely memang manja, malas kerja keras dan kurang bertanggung jawab. Makanya setelah punya anak dan tinggal sendiri semua serba baru dan adaptasinya lumayan sulit. Eh tapi kalau masih tinggal serumah dengan orang tua memang agak susah mau mandiri sih. Menurutku hlo ini. Tapi aku tidak menyarankan harus pisah rumah setelah menikah meskipun idealnya begitu. Karena sekali lagi, ada beberapa hal yang membuat idealisme itu bullshit dan tidak papa kalau tidak bisa berada dalam kondisi ideal. Sesuaikan saja dengan keadaan asal tetap berusaha memulai the real new life setelah menikah.

Selamat menempuh hidup baru.

Auto Shalihat

Sebelum punya Kaisar aku tidak pernah punya pikiran untuk peduli-peduli amat terhadap syariat semacam lebay pada segala macam halal-haram, lebay pada aturan muslimah berpakaian; segala sesuatu yang sifatnya ukhrawi. Dulu dalam bayanganku aku adalah wanita berpenampilan menarik masa kini: jilbab seleher, pakaian menutup pantat, celana kain tidak ketat atau rok kekinian, dan sepatu sneaker atau heels sesuai kebutuhan. Makanan dan kosmetik? Mengikuti trend lah, ngopi-ngopi cantik atau nongkrong di kedai ayam 24 jam sampai bosan, lipstik, foundie, dan sunscreen segala merk yang cocok dengan kondisi bibir dan mukaku. Halal haram? Ah, berlebihan wong nyatanya masih boleh jualan itu kedai atau distributor make upnya, tidak usah sok-sokan pintar lah masalah halal haram. Kalaupun haram sudah pasti tidak boleh beredar produk-produknya.

Syariat? Apa itu? Masa lalu mungkin.

Serius, kalau Kaisar tidak lahir, aku tetaplah Nia Haji yang malas peduli syariat. Kenapa harus kembali pada apa yang pernah kutinggalkan karena menurutku ia mengekang? Dulu aku berjilbab lebar dan memutuskan jilbab lebar tidaklah terlalu penting kalau hati tidak lapang. Jadi aku putuskan untuk melapangkan hati lebih dulu dan meninggalkan jilban lebar. Tapi memang agama memerintahkan lebarkan jilbabmu hingga menutup dada kan. Perkara yang pakai jilbab hatinya lapang atau enggak, itu sih urusan dia. Alhamdulillah sekarang sudah bisa berpakaian sesuai syariat, daripada yang jilbabnya tidak lebar dan hatinya tidak lapang. Kasian sekali dosanya dobel-dobel.

Kenapa dulu bisa terbalik ya logikanya. Kenapa harus melapangkan hati dulu baru melebarkan jilbab padahal melebarkan jilbab adalah kewajiban yang saklek sementara melapangkan hati adalah proses yang panjang. Alhamdulillah Kaisar lahir dan aku merenung dalam-dalam: bagaimana Kaisar bisa sholih kalau aku tidak sholihat. Bingung mau memulai shalihat dari mana. Kuputuskan untuk memerbaiki pakaian terlebih dulu karena bagaimanapun mengubah penampilan tetap lebih gampang dari pada membenahi hati. Sembari melebarkan jilbab, ikut kajian, baca-baca apapun tentang agama; intinya BELAJAR. Cara dan kiat menuju shalihat yang aku sungguh buta, tidak tahu memulainya dari mana.

Makin banyak belajar dan diskusi makin banyak tahu, utamanya mengenai halal haram. Karena setiap darah yang mengalir dalam tubuh haruslah halal, sedikit tercampur barang haram saja bisa merusak semuanya. Dan dengan sendirinya tergiring, atau mungkin aku yang menujukan jalanku, ke circle wanita-wanita shalihat yang sama-sama mau belajar syariat. Dan dengan sendirinya menjauh, atau mungkin aku yang melarikan diri, dari circle-circle yang kaget dengan diriku yang berubah; yang lebay dengan pakaian, lebay dengan halal-haram.

Bahkan bisa belajar mengatur keuangan karena ternyata circle shalihat ini bukan sekedar agamanya yang bagus, tapi pintar dalam banyak bidang kehidupan, jadi aku terbawa arus untuk memelajari banyak hal salah satunya financial. Tata kelola uang yang bukan sekedar mementingkan dunia, tapi akhirat adalah utama. Bagaimana terhindar dari riba, mengeluarkan zakat, memberi infak dan sedekah. Apa gunanya gaya-gayaan tidak mau dapat uang dari riba tapi tidak paham cara menyucikan harta. Semacam belajarnya all out begitu.

Ditulisan ini aku ingin bilang bahwa sesuatu yang mulanya kita anggap kecelakaan dan salah bisa jadi memang tulisan nasib terbaik. Dulu awal tahu kalau hamil aku sedih dan nangis banget dong karena belum jelas sama sekali keuangan kami dan karirku. Gimana bisa memenuhi kebutuhan anak kalau untuk menyukupi kebutuhan kami berdua saja tidak ada uangnya. Ternyata selahir Kaisar semuanya serba cukup, bahkan cenderung lebih. Dan poin terpentingnya adalah AKU PEDULI SYARIAT. Ya, menjadi ibu ternyata menjadi titik balik seorang hamba, aku, kembali pada syariat Tuhannya. Sebuah kejutan paling tidak terduga sekaligus menyebalkan dan berdoanya selalu menuju kebaikan.

Bukan berarti belum menjadi ibu sama dengan tidak bisa auto shalihat. Belum menjadi ibu justru kamu berada dalam posisi aman karena Allah sedang memantaskanmu mendapat amanah terberat dalam hidup: tanggungan nyawa baru. Maka berbenah dan senantiasa berusaha adalah cara terbaik agar ketika amanahNya dirahimmu, kamu sudah menjadi diri yang jauh lebih baik dari masa lalumu, ibu yang shalihat. Percayalah semua datang pada waktuNya, waktu tertepat menurutNya, bukan dari sudut pandang manusia.

Dan lagi, berjilbab seleher itu bukan tidak baik, tapi tidak sesuai syariat. Kalau menurut aturan agama Islam yang tidak sesuai syariat sudah pasti tidak baik sih. Tapi kan kita hidup di dunia yang tidak sesuai syariat tidak apa-apa asal tidak menyalahi norma kesopanan yang berlaku. Jadi bagi kalian yang jilbabnya masih seleher, itu suka-suka kalian, dalam tulisan ini aku tidak bermaksud mendakwahi atau sekedar menyarankan agar berpakaian sesuai syariat. Aku lebih menyarankan untuk banyak-banyak belajar, maka kamu akan menemukan titik balikmu sendiri, diwaktu terbaik.

Postingan di Media Sosial

Suatu malam waktu meet up dengan geng kesayangan, seorang teman nyletuk begini, "Hla aku hlo nikah wae LDM, ra langsung dikei momongan koyo X karo Y". Malam itu aku bilang ke dia, "Rapopo, insya Allah kabeh-kabeh ki wektune pas". Sepulang dari meet up sampai sekarang kalau mau posting foto atau video aku selalu hati-hati karena barangkali ada hati yang kepengen punya sesuatu seperti foto atau video yang aku unggah. Tidak mau menyentuh sensitivitas orang dengan unggah sesuatu yang sekiranya unfaedah dan hanya akan bikin baper.

Aku orangnya nggak peduli dengan hidup orang lain ya kecuali orang itu Sandra Dewi sama Rachel Venya karena anak kami lahir di bulan yang sama. Dan aku suka nangis setiap lihat apa yang Sandra atau Rachel bisa afford untuk anak mereka. Hla aku yang jelata ini bisa apa, jauh banget dibanding mereka. Dari situ aku jadi mikir, mungkin orang-orang yang gampang tersentuh seperti temanku bisa jadi lihat aku posting foto Kaisar aja udah baper nggak ketulung karena dia promilnya nggak segera berhasil. Makanya aku stop posting tentang Kaisar dan segala apapun hal-hal yang kiranya tidak memberi manfaat untuk dibagikan.

Tapi aku masih punya bad habit, dulu sih, semoga sekarang sembuh: suka curhat di media sosial. Mas Bely sudah berkali-kali mengingatkan kalau itu tidak baik dan harus diakhiri. Namanya aku kalau belum ngeyel ya belum lega. Suatu hari temenku juga pernah negur, dia bilang untuk curhat ke dia aja, jangan curhat di media sosial karena mereka yang nggak suka sama aku akan menertawakan terbahak-bahak. Waktu itu aku merasa, lah bodo amat diketawain. Yang aku mau cuma lega, udah. Karena aku curhat ke dia nggak akan bikin lega, yang kusasar harus tahu tentang jeritan hatiku kan bukan dia tapi salah satu orang yang di media sosial. Cuma kalau aku langsung bilang ke orangnya sangat tidak mungkin aja karena ya memang tidak memungkinkan. Kenapa tidak mungkin? Kalian tahu perasaan wanita yang tidak siap jadi ibu baru dan tetiba dunianya berubah? Wanita dengan segala perfeksionis dan ambisi yang besar, tetiba didatangi makhluk baru dalam hidupnya disebut bayi. Dan setiap orang tahu bahwa semua bayi di dunia ini membutuh ibunya sangat amat. Betapa tidak PPD saja rasanya bersyukur luar biasa. Perkara emosi uncontrolable ya urusan belakang, asal hati tenang, apalagi iman masih dangkal. Jadi ya tidak mungkin aja kalau harus menyelesaikan masalah secara terbuka dan tatap mata apalagi dengan circle yang memang susah disamakan frekuensi. Semoga bisa dipahami ya.

Kaisar makin besar dan aku makin merasa bisa kontrol hatiku. Ditambah aku ikut ngaji (lagi) dan serius, mendengar ceramah ustadz live itu menyejukkan hati. Makanya aku sarankan ke kalian ayo ngaji wahaha. Ramadhan kemarin aku coba detox HP. Tidak boleh share kalau tidak manfaat. Dan alhamdulillah lumayan berhasil meskipun konsekuensinya aku harus tidak boleh lama-lama main HP. Berhasil tidak main HP karena memang aku sedang punya tujuan dan kalau kalian temanku pasti tahu kalau aku sedang menginginkan sesuatu kerjaku akan sekeras apa. Jadi ya udah sih jadi males sendiri sama HP makanya sekarang sejarang itu main HP apalagi share curhatan tidak penting.

Seperti yang aku bilang di atas. Aku tidak peduli dengan hidup orang lain, dengan apa yang mereka bagikan di sosial media, kecuali hidupnya Sandra Dewi dan Rachel Venya. Tapi makin besar Kaisar, rasa-rasanya sisi wanita bebasku yang perfeksionis dan ambisius kembali "hidup". Barusan seorang kenalan cerita di media sosialnya kalau dia ambil sertifikasi dan hari ini adalah hari pertama dia belajar. Hla aku yang sedang mau belajar mengejar tujuan ya merasa habis secara mental. Dia udah ambil sertifikasi yang jauh beda sama bidang pekerjaan dia means dia akan punya skill baru. Aku? Baru mau mulai menata. Setertinggal itu apa bisa mengejar. Jadi baper maksimal serius. Lebih baper daripada dulu lihat postingan Sandra Dewi atau Rachel Venya.

Aku tidak melarang atau sekedar mengajak untuk tidak mengunggah sesuatu yang tidak manfaat dan berpotensi menimbulkan rasa tidak nyaman pada orang lain. Media sosial diciptakan ya memang untuk pamer kan. Kalau tidak ada orang pamer akan tidak seru sekali berselancar di media sosial. Kalau aku tim yang tidak mau pamer di media sosial itu privasiku. Kalau kamu masih mau pamer ya sila. Aku ya aku dan kamu ya kamu. Yang ingin aku bilang adalah hati-hati dengan hatimu karena yang mencipta rasa atas unggahan orang di media sosial adalah dirimu sendiri. Kalau mereka pamer keshalihan atau kecerdasan usahakan kamu tidak boleh jauh tertinggal. Lainnya, sikapi dengan bijak. Aku sedang menasihati diriku sendiri karena lagi-lagi aku merasa tidak bisa mengejar mereka yang lari duluan dan itu sad. Tapi tetap harus semangat. TIDAK BOLEH TERTINGGAL! Meskipun tidak pernah sejajar karena starnya aja udah beda, setidaknya tidak kejauhan. Yuk semangat mengejar ilmu dan keshalihan. Jangan lupa diamalkan yaa.

CeritaNya yang Sempurna

Menikah dan punya anak diusia muda, karir yang tidak jelas, pendidikan masih di bawah standar yang kutetapkan. Waktu itu aku tidak pernah menyangka bahwa ternyata ceritaNya lebih indah daripada kisah yang kutulis detil, panjang, dan rapih dalam diaryku.

Sebulan setelah menikah resign dari pekerjaan karena beasiswa yang kuincar sudah mulai buka pendaftaran. Ada satu syarat yang bagiku berat, TOEFL, dan membuatku hopeless duluan sebelum mulai karena aku hanya mendapat materi bahasa inggris dari sekolah, tidak pernah ambil course. Resign, lalu belajar siang malam. Sebulan kemudian ujian dan alhamdulillah nilaiku sesuai target.

Mulai mendaftar beasiswa, menulis esai dan mengurusi persyaratan lainnya. Minta reviu esai ke teman-teman yang sudah lolos beasiswa lebih dulu. Mereka bilang esaiku excellent. Insya Allah, kemungkinan besar akan lolos seleksi berkas.

Hari pengumuman, deg-degan tidak karuan dan punya bad feeling akan tidak lolos seleksi. Dan ternyata serius tidak lolos. Seminggu tidak keluar kamar kecuali untuk makan dan ke kamar mandi. Sedih, tidak bisa nangis, rasa yang ada waktu itu cuma pengen marah sama gusti Allah. Kok jahat banget sama hidupku.

Setelah banyak dinasihati mas Bely akhirnya sadar dan bisa bangkit menghadapi kenyataan. Curhat ke teman-teman yang sudah lebih dulu lolos beasiswa, DAN MENURUT MEREKA AKU TIDAK LOLOS SELEKSI BEA KARENA TIDAK UPLOAD SURAT KETERANGAN SEHAT DAN BEBAS NARKOBA. Kalau kupikir-pikir lagi sepertinya memang karena itu sih, menurutku esaiku bagus kok. Wahaha congkak. Serius, teman-teman reviuer juga pada bilang esaiku bagus; mengangkat masalah disekitaran dan solutif meskipun kontribusinya kecil tapi menyasar ke lingkungan yang paling dekat. Kembali sedih. Merasa goblok banget kenapa gitu aja tidak becus. Seandainya aku cari surat sehat dan bebas narkoba, seandainya aku upload kedua surat itu. Aih, sad pokoknya.

Sebulan kemudian merasa tubuhku sangat tidak nyaman. Aku curiga hamil dan ternyata ya memang hamil. Hancur seketika dunia; pekerjaan resign, beasiswa gagal, dan malah HAMIL. Nangis tiap malam, mikir harus ninggal jabang bayi di rahimku ini selepas dia lahir untuk bekerja mencarikan dia makan. Nangis karena tidak satupun kisah hidup yang kutulis diijabah semesta. Nangis karena merasa gusti Allah setega itu tidak mengiyakan satupun iyaku. Tiap bilang ke ibu untuk minta tolong ngasuh anakku kalau ku tinggal bekerja, malamnya aku nangis kejer. Sedih harus membayangkan anak dirahimku ini diasuh oleh nenenknya yang jelas akan tidak sesuai standarku sama sekali hanya karena aku harus mencarikan ia makan. Sad pokoknya mah kalau diingat.

Bayi itu lahir dan mendadak semua membaik: aku punya semua yang pernah kutuliskan dalam kisahku "ketika Nia punya anak". Meskipun tidak sama plek dengan tulisanku, tapi ternyata ceritaNya tetap indah. Aku menikah, punya anak, punya rumah dan mobil, suamiku pengertian dan kami tidak LDR, penghasilan banyak (meskipun itu penghasilannya mas Bely sih wahaha), dan aku bisa mengasuh anakku 24/7 tanpa khawatir dia tidak bisa makan. Aku selalu menangis dan bersyukur atas segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku.

Kaisar hampir dua tahun dan masa depan karirku masih belum jelas. Bukan tidak bersyukur, selain seorang ibu yang insya Allah shalihat, Nia tetaplah wanita bebas yang gila dan hobi menulis detil masa depannya. Ya gimana, kalau tidak punya tujuan di masa depan kok rasanya hidup itu hampa. Karena tidak ada yang mau diraih, jadi merasa tidak tahu harus hidup seperti apa. Kalau punya tujuan yang detil kan enak, terarah hidupnya; tidak sekedar hidup.

Selepas tugas berat pertama seorang ibu ini purna: neneni, aku mau menata karirku kembali. Memang terlambat tapi tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah berkehendak mungkin. Hanya, setelah melewati banyak hal semacam kisah yang kutulis tidak sesuai ceritaNya, aku mulai bisa mengaplikasi apa itu legowo; ikhlas menerima tetapan. Karena pada akhirnya ceritaNya selalu sempurna dan kisah yang manusia tulis tidak ada apa-apanya. Satu hal yang aku pelajari dari jibaku dengan takdir beberapa tahun belakangan: ada satu dua hal yang manusia paling ingini tapi tidak bisa dimiliki dalam hidupnya padahal kalau keinginan itu termiliki maka semua sempurna. Tapi sempurna hanyalah Ia dan tetapanNya adalah cerita paling sempurna.

Jadi kalau apa yang sekarang kuinginkan (dan kalau ia menyata hidupku akan sempurna) tetap tidak pernah bisa kumiliki, bukan berarti Ia tidak peduli dengan hidupku. Aku sedang diminta menanti lanjutan cerita yang lebih indah daripada kisah yang kutulis; ceritaNya yang sempurna. Lalu pada akhirnya semua pencapain dan kegagalan manusia adalah Ia yang tetapkan semua. Syukur dan sabar adalah sebaik-baik perilaku bagi mereka yang percaya.

MilikNya

Ketika tilawah mendadak teringat ibu-ibu, teman sepengajian yang ditinggal suaminya beberapa tahun lalu. Sebut saja namanya H. Suaminya meninggal ketika anak kedua mereka usia dua atau tiga, kurang lebih. Seorang ibu rumah tangga yang tidak pernah merasakan susahnya cari uang mendadak harus banting tulang demi menghidupi dirinya dan dua anaknya. Anak pertamanya usia SD, dua belas tahun mungkin. Belum bisa dijadikan teman seperjuangan cari uang. Harus ia sendiri yang merasakan derita ditinggal mati plus menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Bagaimana perasaannya?

Ada lagi cerita, sepupu suami meninggal diusia muda. Meninggalkan dua anak usia lima tahun dan sembilan bulan. Bagaimana perasaan suaminya? Bagaimana anak-anaknya bisa tumbuh besar tanpa ada ibu disampingnya? Sedih sekali, anak keduanya tidak punya ingatan dan kenangam apapun tentang mamanya. Sedih sekali, anak pertamanya harus sering mendengar teman-teman berujar "kasihan, mamanya sudah meninggal". Mungkin sekarang tidak begitu kerasa karena masih kanak-kanak, ketika meremaja dengan sendirinya akan bertanya "kenapa takdir ini sebegitu kejam sampai aku harus kehilangan mamaku cepat-cepat".

Begitulah takdir, semengerikan itu ketika sudah ditakdirkan lahir. Setiap saat harus siap menerima tetapan dan kejutan dadakan dari Sang Pemilik segala. Maka begitulah takdir, semua yang kita miliki dan tidak dimiliki adalah semata Ia yang merencana. Tidak ada jawaban lain dari semua perkara selain mengembalikan kepada pemiliknya, Ia Sang Kuasa. Meminta perlindungan kepadaNya, meminta keselamatan kepadaNya. Dan bersyukur atas semua.

Dan, inilah jawaban dari kegalauan mengenai masa remaja Kaisar: banyak berdoa dan serahkan semua pada pemiliknya. Setelah kerja keras apalagi yang bisa manusia lakukan selain berpasrah, bukan. Karena SEMUA HAL di dunia ini semata titipan, sejatinya manusia tidak pernah memiliki apa-apa dan tidak berhak atas segala bahkan tentang rasa.

Cerita Remaja dan Masa Depan Kaisar

Dua malam lalu baca sebuah kiriman teman di grup WA. Tentang curhatan seorang pengajar sebuah SMA islam yang murid hafidzah tujuh juznya pacaran dan jatuh dalam zina maya terlalu dalam. Pengajar ini menuliskan bahwa si wanita merasa tidak tahu bagaimana menyudahi karena setiap tidak mau mengirimkan foto bagian tubuh yang seharusnya tidak diumbar, pacarnya mengancam neko-neko. Sedih sekali bacanya, dipandang dari kaca mata manapun rasa-rasanya si lelaki sangat jahat. Ditulis bahwa memang orang tua lelaki ini sibuk mengejar karir sementara anaknya punya kemudahan akses dalam semua hal karena terfasilitasi, baik itu internet, laptop, dan hp. Sementara pacarnya, si wanita, anak asrama yang aksesnya ke dunia maya dibatasi karena memang ada larangan bawa hp dan tidak ada akses internet di asrama.

Selama membaca pikiranku berkelana ke masa depan, memikirkan anak lelakiku akankah menjadi monster, serupa dengan anak orang yang kisahnya sedang kubaca ini. Sekaligus berpikir bahwa Kaisar harus punya aktivitas yang membuatnya tidak ingin buang-buang waktu untuk hal tidak penting semacam wanita. Kalaupun tetap jatuh cinta, mama harus tahu siapa wanitanya dan sejauh apa cerita mereka. Tapi diingat-ingat lagi tentang reviu kakak blogger kesayangan, annisast, tentang film Dua Garis Biru, kedua keluarga, baik mama Dara ataupun mama Bima tahu hlo kalau anaknya pacaran. Mereka berdua juga bukan anak bengal yang tidak punya kegiatan jadi pikirannya sebatas seks saja. Intinya Dara dan Bima dilihat dari banyak sudut hampir tidak mungkin akan kejadian hamil diluar nikah diusia yang sebelia itu. Tapi nyatanya hamil juga. Apa sebabnya? YA KARENA DIBOLEHKAN PACARAN!

Sebagai penutup tulisannya, pengajar itu menulis identitas dirinya dan ternyata beliau adalah guru SMAku. Tetiba dari pikiran seorang ibu berubah kepada masa lalu, masa remajaku, SMA. Lalu aku sangat bersyukur karena tidak mengalami masa SMA serupa dengan wanita tadi. Mungkin akan sama ceritanya kalau aku jatuh cinta tidak dengan suami orang. Iya, selama SMA aku jatuh cinta sedalam itu pada lelaki yang jelas sudah dimiliki, bahkan sudah jadi bapaknya seorang anak. Sedih ya nasibku. Tapi justru menyelamatkan sih karena selama remaja aku tidak pernah pacaran. Dan begitunya pacaran, pacarku adalah lelaki baik hati dan paling tidak neko-neko yang pernah kukenal. Terima kasih atas setiap jalan cerita dalam hidupku, Allah.

Semalaman tidak bisa tidur karena kembali kepikiran soal cerita pengajar tadi. Memikirkan Kaisar. Bagaimana kisahnya ketika nanti remaja? Kalau ternyata dia tetap jatuh cinta pada anak gadis orang, kalau ternyata aku larang pacaran dia malah main api dibelakang, kalau aku ijinkan tetap ada cerita yang aku kecolongan? Bingung!

Maunya ya Kaisar jadi anak badminton yang sehari-harinya tinggal di asrama Djarum dan tidak punya waktu untuk pacaran apalagi seks. Tapi tetaplah, atlet adalah lelaki yang pada akhirnya akan ada kemungkinan untuk jatuh hati dan kisah-kisah tidak rasional itu bisa jadi dimulai. Serius sampai sekarang masih bingung harus bagaimana. Yang jelas, aku masih berpikir bahwa membesarkan anak di jaman sekarang itu gampang karena ilmu parenting bertebaran tidak karuan. Hanya, aku tidak melihat apa tantangannya di masa depan. Ternyata jawabannya ketemu dua malam lalu; sesuatu yang membuat ilmu parenting bertebaran itu sendiri: teknologi. Tanpa X kenal dengan Y, mereka bisa saling kirim foto, video, uang, bahkan barang-barang dengan gampang dan tidak seorangpun punya seratus persen kendali atas aktivitas keduanya. Itu saja orang tidak kenal, apalagi kalau kenal dan saling jatuh cinta diusia remaja. Bisa habis seisi dunia; atau yang habis hati ibunya saja.

Dimulai dari yang serba maya bisa jadi mendadak menyata lalu ada dua garis biru di usia muda. Aih, tanpa ada dua garis biru pun aku tetap tidak ikhlas kalau anak lelakiku harus mengambil sesuatu yang bukan haknya di masa remajanya. Mungkin aku harus mulai memikirkannya bersama mas Bely karena mas Bely laki-laki jadi kemungkinan lebih tahu harus bagaimana mencegah hal-hal darurat begini terjadi di masa depan Kaisar. Semoga semua anak kita dilindungi dan dijauhkan dari dosa ya BuIbu. Aamiiin.

Menjadi Bapak (juga) Rekoso

Karena tuman tidak produktif nulis akhirnya kalau jari sudah berada di atas keyboard hp suka bingung mau nulis apa.

Beberapa hari atau seminggu dua minggu lalu aku pernah nulis tentang peran ibu yang rekoso itu ya. Kalau dipikir lebih dalam sebenarnya yang rekoso itu bukan hanya ibu sih, bapak pun ya rekoso. Semua akan menjadi rekoso kalau dilakoni dengan sungguh-sungguh. Kalau banyak minta tolong dan sering abai sama tanggung jawab nggak ada hal rekoso di dunia ini.

Laki-laki yang kesehariannya seputar dia, istri, teman, dan hobi, mendadak lahir anak yang harus ekstra ditanggungjawabi, wajar kalau ada jetlag. "Kok hidup sekarang gini banget ya, rekoso". WAJAR! Kalau punya anak tidak merasa lebih terbebani menurutku kok malah salah. Tidak mungkin kan, istri yang baru pemulihan paska lahiran disuruh menyiapkan sarapan. Suami doong yang bertugas siapkan makanan untuk pagi, siang, sore, sekaligus melakukan semua pekerjaan istri apapun itu tentang rumah. Kecuali ada ART atau tinggal sama orang tua beda cerita ya. Ini konteksnya tinggal sendiri dan tidak ada ART.

Tapi meskipun punya ART dan tidak melakukan pekerjaan rumah apapun, masa iya tidak bantu istri mengurus new born. Kalau anaknya rewel tengah malam ikut bangun dan bantu gendong. Kalau anaknya rewel dinikahan teman bantu ngajak main kesana kemari nyari spot yang anak suka. Masa iya semua tanggung jawab tentang anak dilimpahkan ke istri. Mentang-mentang udah nyariin nafkah gitu? Aku kok nggak setuju ya sama orang yang masih bersudut pandang begini.

Anak itu hasil usaha ibu dan bapak. Sewajarnya kalau ibu dan bapak sama-sama bertanggung jawab membesar bukan sekedar perkara siapa yang mencari uang. Tapi bagaimana anak melihat bahwa orang tuanya sama-sama berjuang menciptakan team work yang kompak dalam menjalankan perannya sebagai orang tua. Jadi kalau dalam keluarga kecilmu yang merasa rekoso setelah punya anak hanya salah satu pihak, diskusilah. "Diskusi gundulmu, pasanganku nggak bisa diajak ngomong". Aku pernah ada diposisimu dan itu tidak apa-apa. Aku pernah sangat inferior ketika teman-temanku pada pamer dimedsos kalau pasangan mereka komunikatif. Pasanganku mah mana bisa. Yang ada aku dihina karena visi misiku yang menurutnya ketinggian.

Lalu sekarang bisa? Lumayan. Kuncinya apa? Aku nangis dong ke dia, bilang kenapa tidak bisa diajak komunikasi sama sekali. Awalnya susah tapi lama-lama dia bisa diajak ngomong juga sih meskipun sepertinya tidak seperti pasangan teman-temanku yang suka pamer disosmed kalau suami mereka komunikatif. Tidak apa-apalah masa bodoh. Wahaha.

Menjadi Ibu itu Rekoso

Suka sedih sama wanita yang masih tidak memrioritaskan dirinya dengan peran baru sebagai ibu. Merasa punya kehidupan diluar anak dan berakhir anaknya dititipkan siapa saja yang bersedia ngasuh sementara ibunya berdalih metime agar tetap waras. Asal ASIP aman, atau sufor sedia, ya udah sih bebas aja mau kemana dan kapanpun. Aku juga pengen hlo sebenarnya, masih bisa kesana kemari dan tertawa tanpa terikat tanggungan disebut anak. Tapi setiap aku berdiskusi (lagi) dengan diriku simpulannya selama sama: dia ada karena aku mengusahakannya. Kalau keberadaannya adalah tanggungan ya wajar aku harus bersedia menanggung; kalau harus kehilangan banyak kesempatan untuk jadi atau melakukan ini itu.

Wajar kalau hidup mendadak berubah setelah punya anak. Berubahnya bukan makin kepenak dan santai tapi makin rekoso. Bebannya bukan sekedar dunia, sekaligus akhirat. Tanggung jawab yang kalau dibayangkan kok rasanya nggak kuat memikul. Tapi pada akhirnya kembali lagi pada simpulan: dia ada karena aku mengusahakannya. Ya sudah sih tidak ada pilihan lain selain BERTANGGUNGJAWABLAH! Kiranya banyak hal harus dikorbankan demi anak, lakukan saja. Dia tidak meminta ada tapi kamu yang mengadakan kok. Ngapain merasa dibebani. Kalau pun memang terasa berat ya karena memang beban. Hloh gimana? Ya memang gitu bukan sih. Wkwk. Punya anak memang berat, maka jangan sembarangan bebuat.

Seorang teman pernah cerita kalau selain jadi ibu, dia juga anak, kakak, guru, mahasiswa, dan teman. Dia merasa harus membagi rata semua perannya sementara anak meminta jatah paling banyak dan itu bikin bingung. Dulu aku tidak bisa bilang apa-apa. Tapi makin kesini dan kupikir-pikir, ya udah jangan memaksa diri untuk menjalani semua peran itu. Kalau ada yang berpikir bahwa prioritas itu bullshit, bagiku anak tetaplah nomor satu dan MEMANG PRIORITAS. Lah gimana mau tetap enak-enakkan nongkrong sama teman sampai larut sementara anak ditinggal gitu aja di rumah. Situ waras? Situ ibu?

Dih, aku kok jadi sewot banget ya. Tapi emang aku merasa kasian dengan anak yang harus "kehilangan" ibunya dimasa-masa yang paling ia butuhkan: BREASTFEEDING. Serius Bu, aku mengatakan dengan sepunuh jujur hatiku bahwa neneni itu melelahkan sekaligus mengeratkan. Jangan pernah main api selama masih neneni. Nikmati masa itu karena seumur anakmu hanya akan terjadi dalam dua tahun (atau lebih) pertama hidupnya. Sepengalamanku neneni 20 bulan ini; selama ada mama dan nenen Kaisar tidak butuh hal lain yang lebih nyaman karena nyaman adalah mama dan nenen; dan itu so sweet. Aku merasa tidak pernah merasa sebahagia ketika memeluk Kaisar selama nenen. Percayalah. Jangan sembarangan menitipkan anak kalau urgensinya tidak tinggi. Dia titipan yang memerbaiki dirimu; kalau kamu bersedia sedikit saja berpikir. Karena anak sholeh/sholehah tidak pernah terbentuk dari ibu yang tidak sholehah. Yuk cintai peran sebagai ibu meskipun tanggung jawabnya memang berat.

Maaf ya julid. Serius aku cuma kasihan dengan anak-anak yang harus "kehilangan" ibunya hanya karena ibunya masih terlalu cinta pada dirinya sendiri. Kalau ndilalah kamu yang baca tulisanku adalah ibu yang aku nyinyir, sekali lagi aku minta maaf. Tatap anakmu dan peluk erat. Dia tidak meminta apa-apa selain dirimu, cukup baginya; melebihi dunia dan semesta. Kalau kamu memang ada "penyakit" katakan PPD atau inner child yang bikin tidak bisa urus anak, sembuhkan dirimu. Semangat demi anak. Serius, dia tidak butuh apa-apa selain adamu, DIRIMU, Bu.

Anw aku juga bukan ibu The Real Sholihat yang bersedia beranak pinak sementara diriku sendiri sebagai wanita bebas tidak terapresiasi. Aku masih mau jadi dan melakukan ini itu makanya aku berdoa kenceng banget agar anakku cuma satu. Jadi kalau kiranya kamu memang sangat cinta pada dirimu, urus saja SATU ANAK DAN CUKUPKAN. Berdoa dan berusaha agar tidak ada anak lagi. Setelah anakmu besar hidupmu akan kembali "normal", bersabar saja. Jangan tinggalkan dia di masa-masa dirinya paling butuh kamu. Membesarkan anak adalah jihad dan wajar kalau berat. Pahalanya surga loh. Invisible ya, makanya berasa sulit dirasionalisasi. Wkwk. Tidak apa-apa sih memang kadar iman setiap manusia beda-beda. Bagiku memang sesusah itu merasionalisasi, tapi aku tetap sekuat tenagaku tidak keblinger dunia dan meninggalkan jalan jihad ini. Kan anakku (kudoak dan usahakan) satu doang jadi ya nggak papa doong rekoso untuk satu jiwa aja. Minta bantu doakan ya.

Sempurna, mana ada?

Sering banget bilang ke Kaisar kalau lagi melakukan hal yang keliru, "Mas, kamu jangan niru mama ya". Sedih sebenarnya, apalagi Kaisar tipe anak yang pintar sekali meniru dan ingatannya kuat meskipun susah konsentrasi. Kalau lihat seseorang melakukan atau mengucapkan sesuatu, auto ikut-ikut. Jadi setiap kasih "contoh" sesuatu yang jelas tidak patut dilakukan rasanya menyesal tapi ya gimana, mana bisa auto jadi bidadari yang tidak punya keliru, kan.

Kalau dipikir-pikir lagi sepertinya anak tidak sekedar butuh ibu yang selalu memberi contoh kebaikan sempurna. Tapi ibu yang mau mengaku ketika contohnya keliru, ketika perilakunya tidak pantas ditiru. Ya kali ibu mana yang mampu selalu sempurna tanpa celah salah? Namanya manusia wajar dan pantas kalau kadang khillaf berlaku salah yang berpotensi ditiru anak. Bilang saja kalau perilaku ibu tidak baik, jadi tidak usah ditiru. Ibu melakukannya bukan karena mau, tapi manusia memang tempatnya ketidaksempurnaan. Jadi perilaku keliru itu salah satu wujud ketidaksempurnaan manusia dan satu-satunya hal untuk menyamarkan ketidaksempurnaan adalah dengan berusaha berbenah.

Anak mudeng memangnya? Dari dulu aku penganut paham bahwa setiap anak dilahirkan jenius dan selalu paham setiap keadaan, setiap perasaan, setiap obrolan; tergantung bagaimana orang dewasa mengutarakan. Makanya aku sering ajak ngobrol bahkan curhat ke Kaisar tentang banyak hal yang orang pikir "Dih, kok ngomong gitu sama anak kecil. Mana paham". Lah nyatanya selalu paham. Justru yang dia tidak akan paham itu kalau aku ngomong pakai amarah. Nangis kejer malahan anaknya.

Jadi Bu, tidak perlu pura-pura sempurna karena merasa sedang menjadi role model yang semua tingkah akan menjadi acuan polah. Yang perlu dilakukan adalah usaha untuk membenahi diri menuju lebih baik. Tidak seorangpun di dunia ini yang bisa tidak keliru. Tapi semua orang berkesempatan mengutarakan dengan sadar bahwa perilakunya keliru dan meminta maaf. Setiap jiwa, bahkan anak-anak, memiliki naluri untuk memaafkan setiap khilaf, bukan kesalahan yang diulang karena ketidakmauan berbenah. Jangan pura-pura sempurna 😀

Ketika Kamu Inferior...

Sedang merasa sangat inferior dan mendadak menuliskan segala-gala yang aku punya dan yang tidak aku punya. Ternyata aku hanya tidak punya satu:KARIR YANG BAGUS. Lalu kenapa harus seinferior ini? Sedih sama diri sendiri.

Percaya saja semua terjadi tepat waktu dan tetapan Allah adalah terindah. Meskipun tetap takut juga sih, bagaimana kalau yang aku tidak punya adalah sesuatu yang akan aku tidak punya selamanya. Masa iya Allah tidak berkenan memberi yang hambaNya mau sementara hambaNya sudah berusaha dan berdoa keras-keras? Bisa jadi hloh memang tidak dikasih, tapi diganti dengan yang lebih baik. Dulu bagiku konsep "diganti dengan yang lebih baik" ini absurd banget. Gimana banget wong yang diminta X kok dikasih Y dan itu lebih baik. Gimana kisahnya Y lebih baik dari X, jelas-jelas mintanya dan baiknya X. Makin dewasa dan banyak pengalaman tidak dikabulkan doa dan diganti yang lebih baik, berpikir lagi: oh iya memang benar lebih baik ternyata. Sadar aja gitu. Makanya sekarang kalau berdoa dikasih embel-embel "semoga iyaku adalah iyaMu, Ya Allah". Masih tetap maksa ya.

Aku juga pernah berada di masa tidak punya doa sama sekali karena merasa doa itu useless. Dan itu bikin hidup tidak terarah karena tanpa tujuan. Dan bikin aku kapok ternyata. Sangat tidak enak dan tidak nyaman hidup yang tanpa tujuan, gimana ceritanya dulu bisa nglakoni ya. Berbekal dari pengalaman buruk itu setelahnya aku selalu punya list mimpi agar aku berdoa; agar hidupku bertujuan jadinya terarah. Dan makin legowo juga kalau memang tidak dikasih yang aku mau tapi diganti ke versi yang menurut Allah lebih baik. Memang lebih baik kok pada akhirnya walaupun di awal-awal berpikir "ih, kok gini amat nggak adilnya sih".

Kalau kamu merasa inferior karena berpikir tidak punya apa-apa, coba tulis semua yang kamu punya. Pada akhirnya (paling-paling) kamu hanya akan tidak punya satu atau dua hal. Seperti kata orang-orang, dari banyak hal yang tidak menyenangkan, masih banyak hal yang bisa disyukuri. List dulu, kamu akan sadar bahwa kamu segalanya. Dan yang tidak kamu punya, boleh kalau kamu mau menjadikannya tujuan. Berusaha dan berdoa kencang-kencang saja semoga iyamu adalah iyaNya. Kalau harus iyamu bukan iyaNya, percayalah bahwa Ia tahu mana yang terbaik untuk hidupmu. Pastikan kamu selalu percaya, dan selalu SYUKURI apa yang telah Allah beri. Niscaya Ia akan menambah nikmat pemberianNya.

Mari menulis mimpi, mengusahakan, berdoa kencang dan syukuri segalanya. Putusan Allah tidak pernah tidak tepat, percaya saja. Berdiri dan buang jauh-jauh rasa inferior itu. Kalau dia kembali, duduk lagi dan baca ulang kepunyaan dan ketidakpunyaanmu. Lalu ke mimpimu; tentang menggapai ketidakpunyaanmu. Semangat mengejarnya dengan cara yang baik.

Karena semua Allah yang Kuasa

Semalam membaca tulisan orang hebat mengenai "kepemilikan". Ia tulis bahwa sejatinya semua yang manusia bisa punya dan mampu capai adalah karena Allah menetapkan iya, bukan buah hasil usaha keras manusia. Aku yang baperan luar biasa ternganga dong. Kok iya juga, harusnya sadar dari lama tapi kenapa baru saja.

Mungkin sejatinya sudah menyadari hanya belum mampu mengimani makanya kalau merasa berhasil bungahnya luar biasa dan (seringnya) bersyukur itu nomor dua. Lalu aku mengkomparasi di otakku dengan tulisanku beberapa waktu lalu tentang "kepemilikan". Bahwa terkadang ada hal yang sangat kita ingini ternyata tidak pernah menjadi milik. Semacam satu-satunya kekurangan dalam hidup, dan seandainya ia ada maka akan sempurna. Kembali lagi, memang semua kuasa Allah yang punya. Jadi, setelah berkeras usaha tetap tidak mampu menjadikan milik atas sesuatu yang kita ingin, Allah yang kuasa. Setelah berkeras usaha dan mampu memiliki yang kita ingin, Allah yang kuasa. Segala usaha manusia, percayalah bahwa ALLAH YANG KUASA. Maka tidak akan ada kecewa kalau usaha keras berasa sia-sia. Dan tidak akan ada kesombongan ketika asa menyata.

Aku tidak shalihat, anyway. Sedang menasihati diri sendiri karena setelah kutulis rapih dari semua yang aku miliki hari ini, aku hanya tidak punya satu: PEKERJAAN YANG BAGUS. Dan sekarang aku sedang berjuang untuk mendapatkannya. Sayangnya aku itu (sekali lagi) baperan huhuu. Setiap apa yang aku usahakan tidak menjadi milikku, aku akan sedih dan lupa kalau Allah itu sebaik-baik penulis cerita, pemilik kuasa. Bukan sekedar sedih, bahkan aku bisa depresi tidak mau makan atau keluar kamar seminggu. Serius aku begitu anaknya. Makanya aku menuliskan ini semua agar nanti ketika aku yang sudah keras berusaha tetapi menurut takdir terbaikku aku harus gagal, aku akan ikhlas menerima karena sungguh Allah sebaik-baik penulis cerita, pemilik kuasa.

Doanya sih, semoga berhasil. Tapi kembali lagi, kalau Allah kasih kegagalan meskipun sudah keras kuusahakan; memang tidak semua hal di dunia ini bisa dimiliki kalau baiknya memang tidak menjadi milik. Dan kalau berhasil, dan semoga berhasil; Allah lah penulis cerita keberhasilan itu dan bersyukur banyak-banyak.

Tentang bekerja, semoga niatku lillah, bukan semata mencari dunia dan bahagiaku sebagai wanita merdeka. Berdaya dan berkarya bukan sekedar gaya. Lebih dari itu: mencari pahala. Iya, tidak semata dunia tapi surga. Sementara Kaisar? Daycare terbaik di kota. Semoga sama-sama bisa ya nang. Iya, bagaimana pun pada akhirnya aku memang bukan wanita shalihat yang mampu 24 jam di rumah selamanya. Jihad ini lelah dan aku memang maunya sudah; dicukupkan satu, aku bahagia dan bersyukur. Anw, wanita bekerja tidak berarti tidak shalihat ya. Yang tidak shalihat itu yang bekerja karena menye-menye dan itu memang dilarang sama agama. Bisa dibedakan kan ya?