on Rabu, 30 September 2015
sudah lama tidak menulis karena aku lupa sakitnya hati yang kecewa
witen by @niahaji

Telapak



Suatu senin yang suram dan tak akan kulupakan seumur hidupku. Untukku sang pendendam, memaafkan merupakan kejadian tabu dan dramatis. Namun kali ini, kurasa aku harus memaafkan meski tidak lagi mengharapkan kelanggengan hubungan.

Rumit, sekelumit kisah yang mirip benang kusut. Mau dipotong, sayang. Mau dibenarkan, susah. Dan kisah ini, berawal dari egoisnya hatiku, barangkali, namun aku enggan mengakui. Berusaha memandang yang benar-benar benar, dan gagal. 

Bertanya mengapa toh tak akan menemu jawabnya. Berdialog dengan hati toh akhirnya menyayat perih pada luka. Berdiskusi dengan logika dan bertemu jawabnya namun akan meninggalkan dendam yang dalam.
Wahai telapak, lukamu seperih luka hatiku. Adakah kau tahu keputusan macam apa yang harus aku ambil? Meninggalkan orang yang melukaimu dan hatiku, atau memaafkan dengan menelan pahitnya amarah. Telapak, sakit, bukan? Ya, hatiku pun sesakit engkau.

Andai hari itu aku tidak meminta tolong dirinya, kejadian ini tak akan menimpa kita, telapak. Sayangnya andai tidak mampu mengalahkan fakta bukan, telapak? Dan, rupiah untuk memulihkanmu tidak akan pernah sebanding dengan foto itu. Aku menyesal, telapakku. Aku sungguh ingin menyudahi namun rasaku, rasa hatiku. Ah, seharusnya aku bukan wanita, seharusnya biarkan logika yang menuntut jalan karena ia semata yang dapat menjelaskan banyak tanya.
witen by @niahaji