Pembagian Tugas Bapak dan Ibu

on Kamis, 21 November 2019

Masih, mayoritas orang dicircleku menganggap bahwa tugas bapak adalah mencari nafkah. Pekerjaan rumah? Jelas tanggung jawab ibu.

Ayolah, udah mau 2020 woy. Bangun dan renungkan lagi soal pembagian tugas tidak rasional ini.

Bahkan ada yang sampai punya konsep "sepulang kerja, bapak dilarang main sama anak dengan alasan CAPEK". Emang ibu yang seharian di rumah nggak capek? Tolonglah.

Makanya nggak heran sih kalau ada orang yang sambat "anakku ngemohi bapaknya". Hla gimana mau mau, didekatkan aja enggak. Biasanya tipe-tipe begini hasil didikan 70an atau masih serumah dengan orang tua. Masih tertolong dengan pembagian tugas macam ini karena ada orang tua yang bisa dititipi anak. Kalau sudah rumah sendiri dan pembagian macam begini masih diterapkan, REKOSO DI IBU serius.

Kami misalnya, sepulang kerja ya mas Bely main sama Kaisar. Aku ngurus pekerjaan sore yang emang harus dikerjakan sore, bukan pekerjaan siang yang belum selesai dikerjakan sore hlo ya (aku mah rajin). Pagi hari sebelum kerja mas Bely juga wajib main sama Kaisar. Bahkan cuci baju. Iya, suamiku punya tugas cuci baju tiap pagi.

Aku malu nggak ngakuin ini? Nggak samsek. Kenapa juga harus malu. Mungkin karena close friendsku melakukan hal yang sama dan mereka tanpa malu blak-blakan ke netijen kalau suami mereka bertugas ini itu di rumah. Ada hlo yang bilang gini sama aku "aku nggak pernah cuci piring karena itu tugas suamiku. Jadi selesai masak, ya udah sih tak tinggal aja itu pekakas kotor". Ada juga yang dengan santuy bilang "aku leha-leha, bojoku nggosok kamar mandi".

Makanya aku no worries kalau mengumbar ke dunia "mas Bely umbah-umbah". Wkwk. Tapi beberapa hari belakangan aku sih yang cuci baju karena emang aku lagi selow aja makanya cuci baju. Kalau lagi enggak, ya mas Bely dong yang cuci. Lol.

Jadi kalian yang masih berpikir tugas itu dibagi antara bapak dan ibu, rekontruksi yuk. Apalagi yang anaknya laki-laki. Wajiblah diajari tanggung jawab bersama, tidak sekedar dimindset "laki-laki tugasnya cari duit, titik, udah". Masa iya generasi 2020 masih berpola pikir sama dengan generasi masa lalu.

Kalau ibu yang cari uang dan bapak urus rumah boleh nggak? Ya nggak papa lah kalau memang kesepakatan berdua. Kalau ibu yang kerja sudah pasti sih ibu juga ikut pegang pekerjaan rumah. Betul apa betul? Kenapa kalau bapak yang kerja, bapak pantang ikut andil menyelesaikan pekerjaan rumah?

Atau kalau keduanya sama-sama kerja, siapa yang urus rumah?

Bahkan ketika seorang wanita mengikhlaskan dirinya 24/7 jadi istri dan ibu di rumah, bukan berarti tidak berhak dibantu mengerjakan tugasnya di rumah. Yakinlah, pembagian tugas yang berkiblat pada masa lalu itu berat sebelah. Wanita bukan pelayan, gaes, tapi teman seperjuangan. Pendamping hidup dunia akhirat. Yuk sayangi istrimu sebagaimana mas Bely menyayangiku. Related? LOL.

Kezal

Kalau sedang tidak konsentrasi penuh pada suatu hal, rasa-rasanya aku pengen ngamuk sama mas Bely karena kasih ijin Kaisar diajak ke pasar sama mbahnya tanpa diawasi mas Bely.

Sudah kesepakatan berdua bahwa anak bukan sepeda ontel yang bisa sembarangan dipinjam atau dititipkan. Dan karena kami tinggal dekat dengan seluruh keluarga maka diputuskan untuk tidak meminjamkan dan menitipkan Kaisar ke siapapun. Kalau satu orang boleh, sudah pasti lainnya iri dan kepengen dititipi atau sekedar dipinjami.

Begitu bukan logikanya?

Bahkan diajak eyang ke pasar aja belum pernah padahal rumahnya jejer alias sebelahan. Ya karena emang nggak boleh. Kalau mau ngajak harus ada aku dan atau mas Bely. Cuma sama Kaisar doang BIG NO lah.

Sering dimarahi nggak sama mama atau bapak gegara anak diajak eyangnya nggak boleh? Dulu iya, sekarang enggak. Entah karena mereka sudah paham kalau aku ngeselin atau paham bahwa masa absorbent mind memang lebih baik tidak banyak diajak bergaul dengan mereka yang tidak sevalue. Yang jelas sekarang tidak pernah ngajak Kaisar kemana-mana lagi.

Bahkan sekedar dikasih makanan ketika bertamu ke rumah orang saja aku kasih batasan hlo. Kalau mau ya ambil dan satu aja, nggak mau ya jangan ambil lagi. Pun tuan rumah memaksa suruh ambil lagi, aku tetap tidak akan ambilkan lagi. Dan sejauh ini Kaisar nggak yang nangis gimana kalau kejadian begitu. Karena aku konsisten dan emang sejarang itu namu sama kakek atau nenek Kaisar yang suka bilang "udah terima aja wong dikasih kok". Ya kenapa diterima kalau nggak mau makan. Ngajari anak jadi orang serakah kalau begitu mah. Dipaksa sekeras apapun kalau enggak mau makan ya ditolak.

Orang bilang ngajari anak nolak pemberian itu salah. Lebih salah mana, ferguso, sama ngajari anak buang-buang barang macam makanan gini?

Atau kalau kalian tipe orang yang berpikiran, "terima aja dulu entah nanti mau dikasih orang lain ya nggak papa". Duh gaes, mulia amat sih hidupmu. Aku malah mikirnya kalau gitu kita ngajari anak mau kasih orang aja harus minta ke orang lain, kok nelangsa amat.

Dibilang overprotective? Kita runut lagi apa definisi overprotective itu.

Kalau aku melarang Kaisar atau terlalu sering bilang jangan hanya karena takut jatuh atau sesuatu yang malah akan membatasi perkembangan fisik dan mental dia, itu namanya overprotective. Hla ini yang aku lakukan sekedar menjauhkan anakku dari value yang tidak sefrekuensi denganku hlo. Keliru?

Value yang tidak sefrekuensi itu yang bagaimana? Panjang definisinya. Dan aku sedang malas nulis panjang-panjang.

Maafkan malam-malam curhat onlen. Karena aku kezaaal banget sama mas Bely. Katanya partner sedunia sesurga. Nggedein Kaisar biar jadi anak dengan value sempurna sesuai standar mamanya yang tinggi luar biasa. Kenapa melanggar kesepakatan. Hzzzz.

Petuah Sore Ustadz

Tadi sore gerimis dan sempat lumayan besar titik-titik air yang turun. Mau ngaji kok agak awang-awangen karena takut kehujanan kuyub di jalan padahal bawa Kaisar. Kan eman-eman harus ajak anak hujan-hujan cuma buat berangkat ngaji. Terus aku kepikiran cerita Umar yang memarahi anaknya karena sepulang perang nggak ada bekas luka ditubuh anaknya. Umar bilang, ia lebih senang anaknya syahid daripada pulang dalam keadaan sehat tidak kurang satu apapun.

Dan aku ceritakan lintas pikiran itu ke Kaisar sekaligus tak tambahi "Kenapa mama mau ngajak kamu kehujanan sedikit buat berangkat ngaji aja eman-eman mas? Harusnya nggak papa ya kehujanan dikit".

Lalu Kaisar tetiba nyletuk "popo ngaji ma" means ngaji nggak papa ma. Akhirnya aku minta dia pakai jaket yang ada topinya biar nggak kena gerimis dan kami berangkat ngaji.

Meskipun terlambat setidaknya berangkat. Dan aku senang, merasa sangat bersyukur karena pada akhirnya ngaji.

Tadi di kajian, ustadz menjelaskan tentang orang yang masuk surga adalah orang yang sabar. Karena merasa sering tidak sabar, aku nanya dong kalau akutu orang yang sok-sok suka marah berlebihan terlebih kalau lagi tertekan atau banyak pikiran atau banyak hal yang harus dikerjakan.

Ustadz menjawab begini, "Watak bisa diubah tidak? Bagaimana cara mengubahnya? Dengan Qur'an. Kalau kita sering dengarkan di radio, banyak orang cerita dulunya sebelum ikut ngaji suka marah-marah. Setelah paham agama, tidak pernah marah-marah lagi".

Aku pengen nangis di tempat dudukku, serius. Kalau dipikir-pikir, sebelum ngaji diriku memang jauh lebih buruk sih. Meskipun sekarang tidak bisa dibilang baik, setidaknya tidak setiap hari kemrungsung dan haus akan amarah. Kalau dulu mah sedikit-sedikit kemrungsungan. Dan kalau udah kemrungsung gitu jadi hobi uring-uriang, bermuka masam, dan sering membentak.

Sekarang kemrungsung cuma kalau lagi pengen kemrungsung aja. Hloh gimana? LOL.

Ya kalau lagi sebanyak itu yang dipikir dan ditarger aja jadi kemrungsung. Seperti sekarang ini. Huhu sad.

Dan karena jawaban ustadz tadi aku jadi intropeksi diri. Sejujurnya sekarang aku sedang ada misi berat dan kalau sedang on duty akutu nggak bisa hidup santuy cuy. Merasa selalu terkejar dan harus kebut-kebutan dengan waktu. Jangankan solat khusyu', makan aja maunya cepat selesai. Hloh kebalik ya lol.

Padahal untuk misi itu, tugasku hanyalah memantaskan diri agar Allah berkenan mengiyakan pintaku. Dan caraku ternyata keliru.

Memantaskan diri tidak sama dengan menyiksa diri dengan bekerja terlalu keras sampai lupa siapa sejatinya pemegang kendali. Berusaha menjadi pantas menerima hasil sesuai pinta, bukan berarti melupakanNya dalam setiap jerih usaha. Sementara usaha yang sedang kueja adalah usaha yang tidak menyertakanNya. Wajar kalau semua terasa serba oyak-oyakan.

Wahai jiwa, kembalikan segala urusan padaNya. Segala kerja tidak akan luput tertulis pahalanya. Perkara hasil, percayalah tidak ada cerita yang lebih baik daripada milikNya. Kalau pintamu adalah iyaNya, maka ceritaNya sempurnya. Kalau pintamu bukanlah iyaNya, maka ceritaNya sempurna. Tugasmu hanya taat.

Memanglah, serekoso itu jadi makhluk ambi semi halu nan perfeksionis dan idealis.

Ps: Kaisar ngotot pengen berangkat ngaji karena hanya waktu ngaji dia boleh nonton youtube LOL.

Sebuah Klarifikasi Tidak Penting

on Rabu, 13 November 2019

Sebenernya aku sedang berada di posisi yang tidak boleh buang-buang detik berhargaku untuk melakukan hal tidak penting macam nulis begini. Tapi aku pengen. Lol.

Tadi sore waktu beli lauk ketemu sama tetangga. Jarak rumah kami tergolong jauh plus beda RT sebenarnya. Tapi kalau kalian tinggal di desa, poncot kulon lan poncot etan itu kenal semua.

Beliau bilang gini ke aku, "Aku sok yo meh tak klumpukne og mbak. Penak yo mbak nglumpuk kabeh ngono kui".

Sebuah obrolan ngrasani rumahku yang bersebelahan alias jejer dengan rumah mamaku. Orang-orang desa nyebutnya nglumpuk.

Sakjane aku pengen nyauri "bukan karena mau, tapi kepepet". Hla gimana, lahan paling available ya cuma tanah sebelah rumah mama. Andai bapakku tuan tanah pastilah sudah aku milih lokasi rumahku. Karena nggak bisa milih mau gimana lagi, ya udah sih jejer sama rumah mama juga nggak papa.

Gipula semua orang rumahnya jejer kan ya. Kenapa pada pusing karena rumahku jejer rumah mama. Lol.

Sekalipun jejer, aku dan mama berusaha tidak sama-sama ngrusuhi satu sama lain, tidak ikut campur urusan satu sama lain. Bahkan pernah ada seorang ibu yang rumahnya jejer dengan rumah anaknya nggresulo kalau bawang merah dan telor sediaannya cepat sekali habis karena sering diminta anaknya. Aku tidak pernah melakukan itu kecuali kepepet. Mamaku punya toko kelontong tapi aku tidak pernah nembung "njaluk" kecuali memang barang reject. Tapi masih sih, aku punya bad habit suka bayar belakangan dan kadang lupa sudah ambil apa aja lol. Setidaknya aku sudah berusaha nggak hobi ngrusuhi rumah mama kan ya.

Pun mama terhadapku. Aku pergi sedari sore sampai malam dan lampu depan rumah belum nyala, mama nggak akan njak-njakan masuk rumahku untuk sekedar menyalakan lampu. Aku juga nggak pernah sih, titip rumah kalau mau pergi. Nambah-nambahi pekerjaan mama aja.

Aku memang pernah bilang ke bapak, intinya meskipun jejer tapi nggak boleh saling ikut campur. Dan bapak waktu itu nyauri, bangun rumah sendiri memang tujuannya agar tidak saling ikut campur, kalau masih ada saling ikut campur bangun rumah nggak ada gunanya.

Jadi sudah tahu kan ya, meskipun tetangga aku bukan anak ayam yang selalu ngrusuhi induknya. Hanya karena tetangga sebelah, bukan berarti aku tidak merdeka mengatur hidupku sendiri. Hanya karena tetangga sebelah, bukan berarti suka ngrepoti. Ya, rumah kami jejer seperti rumah kalian yang jejer dengan rumah sebelah kalian. Apa kalian saling njaluk brambang setiap harinya? Kalau kami sih enggak. Ya sejarang itu kecuali benar-benar kepepet. Bukan yang tiap hari jlak-jlik. Kalian sama tetangga sebelah kadang gitu juga kan? Kadang aja, bukan setiap hari setiap waktu. Pun kami.

Baby Blues-ku

on Selasa, 12 November 2019

Akupun baby blues. Menurutku lumayan parah meskipun aku masih mau pegang bayiku. Hla ya gimana nggak mau urus bayiku, wong aku tinggal cuma berdua dengan suami. Padahal suami harus kerja.

Fyi first, aku dan suami pek nggo. Dan ini akan jadi kunci kemudahan dalam memahami kisah yang kutulis.

Paska lahiran aku tinggal di rumah ibuku. Dan para tetangga pada suka kepo kenapa nggak tinggal di rumah mertua. Helow, kenapa sih harus banget tinggal di mertua. Kalau tinggal di mertua jelas jadi mantu jagoan gitu? Belum lagi mertuaku memang agak memaksa untuk tinggal di rumah beliau. Padahal menurutku, tinggal di rumah mertua tidak bagus untuk membesarkan anakku pun kondisi jiwaku.

Entah apa juga yang mertuaku katakan ke orang-orang desa sampai mereka menganggapku ngemohi mertua. Dan sekali lagi sayangnya (dulu) aku bukan orang yang bisa seenteng itu memasabodohkan omongan orang.

Anakku umur 2 minggu dan kami pindahan. Memaksa pindah rumah karena aku kesal dengan keceriwisan tetangga.

Bukan sekedar adaptasi dengan anak baru, tapi juga rumah baru. Padahal aku bukan orang yang mudah beradaptasi dengan apapun. Bahkan aku tidak bisa tidur kalau bukan dikamarku, iya sekedar pindah tidur ke ruang tv saja aku tidak bisa tidur nyenyak. Bayangkan harus pindah rumah.

Sudah pindah rumah pun cemoohan itu belum berlalu. Masih, orang-orang desa kepo kenapa nggak tinggal di mertua. Bahkan mertuaku enggan berkunjung ke rumahku dengan alasan rumahku tepat berada di sebelah rumah ibuku. Padahal bangunan rumah kami jelas terpisah. Perasaan rumah orang-orang juga pada jejer gitu dan biasa aja. Kenapa rumahku jejer rumah ibuku dan orang-orang masih geger aku ngemohi mertua hanya karena tidak mau tinggal dimertua paska lahiran.

Sungguh lambenya orang desa itu ngalahi jempol jamaah instagram. Andai semua bude-bude dan pakde gosip desa main instagram, wow kupikir artis senusantara akan hapus akun mereka.

Bahkan kalau ditimeline ig kita sering nemu tulisan "me time ibu baru itu sesederhana belanja ke mamang sayur". Aku? Tidak bisa melakukan itu. Aku takut dicerca orang.

Dan akibatnya siapa lagi kalau bukan anak dan suamiku. Suamiku sampai bilang ke aku kalau aku gila. Tiap hari ngamuk, nangis, ngomel, teriak-teriak. Dan bayi merahku pun tidak luput dari tindak amarahku. Bahkan aku pernah mbanting bayiku yang belum genap sebulan (walaupun mbantingnya dikasur sih 😃). Sering juga aku bentak bayi merah itu kalau dia tidak segera tidur. Padahal aku tipe orang yang kalau udah marah akan ngeri banget. Suamiku? Setiap detik selalu ada keributan yang terjadi. Dimataku semua tindakannya keliru. Bahkan kami tidak berhubungan seks selama 6 bulan karena sungguh jiwaku tidak stabil. Mana mungkin hasrat seksual itu muncul kalau aku tidak mengenali diriku sendiri (saat itu).

Ya, akupun sadar AKU sedang GILA. Aku kacau karena merasa banyak tekanan. Aku tidak bisa mengendalikan diriku dan kehilangan jiwaku. Tidak boleh berlanjut dan harus berusaha "sembuh".

Aku mulai cari healing terbaik versiku. Curhat ke teman-teman dekat yang sudah duluan punya pengalaman hidup menjadi ibu baru. Salah satu temanku menyarankan untuk follow akun instagram annisast, grace melia, dan raden prisya. Selain baca hilight di ig story mereka, aku juga banyak baca buku gratis di ipusnas soal ibu baru, baby blues, dan mentah health; ikut kulwap gratis; dan alhamdulillah aku punya teman lumayan akrab yang tahu masa laluku dan dia sekarang jadi psikolog. Aku sering curhat ke dia dan (INI AKU ya) curhat bukan healing yang terlalu membantu kalau kitanya tidak berusaha sendiri keluar dari jiwa mengerikan yang sedang berada dalam tubuh kita. Serius INI AKU. Entah karena curhatnya dengan psikolog yang sudah lama kukenal atau bagaimana, yang jelas, INI AKU sekali lagi, tidak terlalu membantu.

Pun setiap baca-baca soal baby blues dan PPD, mereka bilang tidak ada sangkut pautnya dengan iman. Tapi sekali lagi INI AKU. Justru healing terbaikku adalah ketika aku "kembali". Lagi-lagi, INI AKU. Mohon maaf jika tidak sepemikiran.

Ya, jadi kalau pendapat umum berkata baby blues bukan soal iman dan healing paling tepat adalah cari psikolog, mungkin memang benar. Tapi pertolongan pertama, mendasar, dan paling penting adalah DIRI KITA. Kuncinya adalah benahi jiwa alias perkuat iman dan monolog dengan diri. Sekali lagi INI AKU.

Bermodalkan ingatan samar tentang sebuah surah dalam Al-Qur'an soal "jiwa-jiwa yang tenang". Aku penasaran, dan kembali menyempatkan diri baca Qur'an plus artinya, solat malam, dan berdialog dengan Allah Sang Pemilik Alam, memupuk rasa percaya padaNya bahwa iyalah Dia sebaik-baik penulis cerita, semua milikNya, kembali padaNya, dan segala sesuatu berjalan atas kehendakNya. Banyak-banyak juga monolog dengan diri sendiri. Menuliskan hal-hal yang menoreh luka dan membuat bahagia. List semua. Lalu pada akhirnya aku menemukan bahwa tidak ada alasan untuk merusak bahagiaku dengan segala remeh temeh tidak penting dalam hidup ini.

Perasaan merasa "lebih baik-baik saja" tidak instan terbentuk. Perlu setahun lebih bagiku sampai aku merasa "lebih baik-baik saja". Dalam proses penyembuhan diriku, aku masih sering merasa "gila". Masih suka marah, teriak, dan sering merasa tidak berguna. Ya begitulah, lika-likunya orang "gila" berusaha sembuh.

Bahkan sampai hari ini aku masih belum bisa melupakan trauma punya anak baru. Ya, setakut itu sampai aku berencana satu anak cukup.

Mungkin karena memang belum sepenuhnya sembuh dan kedekatanku dengan Sang Pemilik Alam belumlah seerat itu. Makanya masih ada rasa trauma yang belum sudah.

Sekali lagi mohon maaf jika tidak sepemikiran. Ini pengalaman pribadiku dan setiap orang punya caranya masing-masing dalam menyikapi keadaan meskipun keadaan itu hampir sama. Tapi ingat, tidak ada keadaan yang serupa. Pun kemampuan orang dalam memandang dan menyelesaikan masalah sangat berbeda-beda dan sendiri-sendiri bergantung pada banyak faktor. Mohon tidak dihujat.

Ps: finally aku berani post. Karena kemarin tilik bayi dan rasa tidak nyaman dua tahun lalu kembali berkeliaran dalam bayangan. Demi orang lain segera selesai dengan masalah yang sama, oke fiks posted. Semoga memberi manfaat untuk pembaca.

Satu Anak

Cita-cita punya anak satu itu nggak papa banget kok. Cuma aja, kalau dipikir ulang, rasa-rasanya agak melanggar syariat nggak sih. Karena perintahNya jangan takut punya anak hanya karna takut nggak bisa kasih dunia. Tapi masalahnya kalau diaku bukan sekedar takut nggak bisa kasih dunia meskipun tidak terpungkiri kalau dihitung pakai akal dan kalkulator manusia keuangan kami tidak akan mampu memberikan kehidupan selayak sekarang kalau nambah anak. Sekali lagi, masalahku bukan sekedar uang meskipun aku khawatir juga soal uang. Aku percaya banget kalau rejeki Allah yang atur. Jadi meskipun ada rasa khawatir dalam hal keuangan akan tidak sesuai standar sekarang, tapi semua dunia Allah yang punya.

So what? Kenapa setakut itu nambah anak? Karena aku masih setrauma itu. Bayangin aja waktu Kaisar kecil kondisiku: anak baru, rumah baru, aku yang belum selesai dengan diriku sendiri, and everything feel so clueless. FYI, traumanya masih kerasa banget palagi tiap liat anak bayi masih merah. Makanya sampai hari ini masih berpikiran untuk anak satu saja cukup, kecuali Allah berkehendah yang lain; tapi tetep, aku dikasih satu aja udah bersyukur luar biasa. Lol.

Kemarin tilikan bayi. Dan ya Allah serius makin merasa yakin kalau nggak mau ngulang punya anak kecuali mendadak mas Bely jadi sultan wkwk. Bukan perkara uang sekali lagi. Tapi kalau memang harus punya anak lagi aku nggak mau keluarga besar kami menjengukku di masa-masa awal recovery pasca lahiran. Karena oranng orang tu berisik banget dan pendapatnya suka tanpa ilmu. Maka untuk menghindari memarahnya baby blues (kalau baby blues lagi), aku mau cuma diurus sama sus berbayar yang kompeten. Nggak mau melibatkan keluarga karena serius pasti berisik.

Entah ya, 2019 sudah hampir berakhir kenapa orang-orang belum sadar kalau mereka masih bodoh lol. Padahal aku sadar kalau bodoh dan nggak mau membodohi Kaisar maka berusaha belajar biar memintar. Kapan orang-orang akan menyadari hal yang sama?

Kalau bapak bilang sih, kemampuan orang berpikir itu beda-beda. Jadi tidak usah heran kalau jaman sekarang masih banyak orang hidup dengan pemikiran kuno yang ngeselin lol.

Dan disisi lain, mungkin emang standarku ketinggian dalam nggedein anak. Tapi ya, BODO AMAT 🤗