Lagi, Tentang Ibu Bekerja

on Minggu, 04 Agustus 2019

Aku itu gini.

1. Kalau kamu bekerja karena tidak bisa urus anak 24 jam, jangan jadikan alasan "wanita harus berdaya, wajib berkarya, makanya bekerja". Itu sangat menyinggungku. Kalau memang tidak bisa ya tidak apa-apa karena urus anak itu jihad maka sudah wajar kalau lelah. Dan kekuatan berlelah seseorang untuk tuhannya itu sendiri-sendiri, tidak bisa dipaksakan.
2. Kalau kamu bekerja karena harus bekerja; entah karena tidak bisa menabung kalau kamu tidak bekerja, atau bahkan kamu bekerja bukan untuk menabung, tapi untuk memberi makan anakmu, maka Allah sangat sayang padamu. Semoga berpahala jannah.
3. Kalau kamu bekerja dan alasanmu keduanya, maka katakan dengan jujur saja. Tidak semua hal di dunia ini harus memiliki hanya satu alasan, kan. Intinya adalah jujur saja kenapa kamu bekerja. Aku tidak merendahkan siapapun yang bekerja karena tidak bisa 24 jam urus anak. Tapi aku menganggap rendah mereka yang tidak jujur pada diri sendiri. Benahi dirimu, Bu!

Kenapa aku tidak bekerja? Karena aku memilih anakku. Aku wanita yang selalu bertanya "kenapa menyusui sepenting itu, sampai-sampai Aminah menitipkan anaknya kepada wanita gunung bernama Halimah". Menyusui, bukan sekedar mengasihi; memberi ASIP dan ditinggal bekerja padahal tidak bekerja pun dapur aman, tabungan dan investasi beres.

Ya, aku tim pro direct breastfeeding. Bagaimana bisa selalu dbf kalau akunya pergi pagi pulang malam? Sudah pasti ASIP kan ujungnya. Kecuali aku bekerja di perusahaan bapakku, sayangnya bapakku bukan sultan pemilik perusahaan. Atau jabatanku dalam karir sudah tinggi jadi aku bisa bawa anak sekaligus sewa sus dan ku bawa ke kantor tempatku bekerja. Sekali lagi, sayangnya aku menikah sebelum pekerjaanku jelas. Jadi kemungkinan-kemungkinan itu tidak mungkin terjadi maka aku memilih tidak bekerja demi bisa dbf tiap saat.

Aku berprinsip bahwa menyusui itu kebutuhan, bukan gaya-gayaan. Bukan sekedar anak minum ASI entah bagaimana prosedur minumnya. Anyway, tidak apa-apa kamu yang memang harus bekerja karena kalau tidak bekerja anakmu tidak bisa makan. Aku berargumen begini karena diluaran terlalu banyak ibu yang bekerja karena mencari bahagianya sendiri. Mereka pamer ASIP sefreezer beserta alat pumping mahal. Mereka bilang mengasihi itu kewajiban ibu dan mendapat ASI adalah hak anak. Mereka menyuarakan ruang laktasi untuk ibu bekerja harus diperbaiki. Ah, kalau mereka bekerja dengan jabatan yang tinggi dan perusahaan yang benefit sudah pasti ruang laktasinya nyaman. Bayangkan mereka yang bekerja sebagai buruh pabrik, jangankan ruang laktasi, kamar mandi saja seadanya. Karena buruh pabrik itu bekerja bukan untuk kesenangan pribadi. Tetapi kalau tidak bekerja anaknya tidak makan. Maka tolong, pahami dan bedakan.

Apa aku tidak akan bekerja? Apa aku tidak mencari bahagiaku? Jelas dong, aku sangat dan butuh bekerja sebagai sarana mencari bahagiaku sendiri sebagai wanita bebas. Tapi nanti, setelah tugas neneni ini purna, dan itu belum sekarang. Sejujurnya aku bukan wanita shalihah yang mampu urus anak murni karena jihad seumur hidup. Jihadku ada masanya SAJA. Sampai selesai nenen dan setelahnya aku ingin mencari senangku.

Maka karena alasan itu aku hanya ingin punya satu anak karena kalau ada anak lagi dalam hidupku aku tidak kuasa. Tidak kuasa harus berjihad untuk satu lagi makhluk. Karena jihad selelah itu meskipun pahalanya jannah kalau aku lillah. Tapi lelahnya memang selelah itu maka iming-iming jannahnya yang invisible terkabur oleh beratnya lelah.

Aku salah nggak? Iya sangat salah dan tidak pantas dicontoh. Aku tidak kuat berada di jalan jihad ini. Aku mengakuinya dan aku memohon ampun padaNya. Masih, aku mencintai dunia dan diriku sendiri melebihi cinta padaNya. Jangan pernah dicontoh. Jangan pernah!

Segala sesuatu boleh berbeda. Asal sesuai syariatNya bagi kita umat muslim. Semoga niat bekerja bukan karena ingin mencari kesenangan diri sendiri. Semoga niatnya mencari surga. Karena jalan ke surga bukan sekedar menjadi ibu yang 24 jam urus anak. Doakan selalu ya semoga jalanku selalu jalan surgaNya.

Menjadi orang tua (3)

Kenapa Kaisar tidak boleh minun Teh K*tak dkk? Karena aku takut tuman. Lol. Kalau masalah makan atau minuman berhubungan sama kesehatan kan ya, aku takut aja kalau tahu-tahu amandel atau apa. So many cases jadi pilih main aman. Lagi pula aku selalu sediakan jajan untuk Kaisar. Jadi beli jajan itu pada tempatnya dan tidak boleh sembarangan.

Sampai bakul sayur langgananku pernah nyletuk "Thole ora nyuwun le? Ra tau nyuwun horok nek neng warung". Karena emang Kaisar tidak boleh beli apapun kalau mama tidak mau belikan lol. Kalau di toko Eyang sih lain perkara ya. Biar aja dia tahunya ambil kalau di toko Eyang mah. Wahaha. Tapi aku tetap nyetok makanan yang dia suka dari toko Eyang. Kalau Kaisar mau ambil di toko, aku akan interupsi kalau sudah dibelikan mama. Dan dia manut, mau makan makanan yang sudah mama beli asal wujud makanannya sama.

Anw, toko ibuku itu di desa (karena kami tinggalnya di desa haha) dan ramai dikunjungi tetangga baik untuk konsumsi harian atau untuk dijual lagi. Parahnya buang uang di warung tetangga yang biasanya jadi momok tiap ibu. Tiap ke warung tetangga ajak anak, anak akan minta jajan. Ya karena dibiasakan. Makanya kalau tidak mau anak hobi buang uang untuk jajan jangan dibiasakan. Beli saja makanan yang disukai anak dan stok di rumah. Tidak perlu stok melimpah karena anak akan cepat bosen. Tidak papa kalau beli makanan jajan di warung tetangga, asal beri tahu anak kalau jajannya mama batasi dan harus manut. Boleh pilih makanan tapi mama yang tentukan disetujui atau tidak pilihannya. Dan tidak setiap ke warung boleh minta jajan, sila nangis kalau mau nangis. Nangis itu tidak apa-apa tapi tetap tidak dituruti kalau memang bukan waktunya untuk beli makan jajan lagi.

Demikian juga alasan kenapa Kaisar tidak boleh beli mainan dimana pun tempat (ketika kondangan atau ketika solat id di lapangan atau masjid desa), karena takut tuman. Masalah mainan, tidak ada hubungannya sih sama eman uang. Beli mainan ya di toko mainan dan karena memang mau beli mainan (means belanja berbudget). Bukan karena lihat orang jual mainan lalu beli mainan.

Aku pernah dinyinyir masalah membelikan mainan, "nukokne dolanan anak kok maneman. Itunganmen karo anak". Eh gimana sih kok bisa itungan. Kalau nanti anaknya jadi gemar minta ini itu alias tukang jajan dinyinyir lagi kok anaknya boros. Dan ya seingatku aku tidak pernah belikan Kaisar mainan kalau memang tidak mau belanja mainan. Karena sudah biasa begitu maka selama ini Kaisar aman aja kalau lihat ada orang jejual mainan.

Ya udah sih omongan orang biarlah berlalu. Aku tetap tegak berdiri dan memegang teguh prinsip parentingku. Lagi pula sejauh ini Kaisar tidak suka minta apapun kalau kami pergi belanja. Merasa sukses doong dengan pembelajaran yang kuberi ke dia selama ini. Wow congkak. Wahaha.

Menurutku buang-buang uang spontan tapi tidak bermakna akan jadi habit dan itu bad; sama sekali bukan didikan yang bagus. Kalau mau spontan buang uang ya sebisa mungkin untuk sesuatu yang Allah suka, misal sedekah. Barulah itu didikan yang bagus.

Percayalah Bu, nyah nyoh pada anak agar orang lain bilang los itu tidak mendidik sama sekali. Nanti kalau anak makin besar dan hobi buang uang untuk jajan, kita sendiri yang repot memperbaikinya. Menuruti semua keinginan anak bukan solusi, anak menangis itu tidak apa-apa. Biarkan dia merasa kecewa karena maunya tidak dituruti, biarkan menangis; dan didalamnya ada proses pembelajaran tentang perasaan, kecewa, penerimaan, memahami, dan memaafkan.

Dan satu lagi, AKU HAMPIR-HAMPIR TIDAK PERNAH MENITIPKAN KAISAR PADA SIAPAPUN UNTUK WAKTU YANG LAMA. Karena nilai setiap orang berbeda dan aku tidak mau nilaiku dikontaminasi oleh nilai-nilai yang tidak sefrekuensi. Itulah kenapa sejauh ini Kaisar selalu manut ya karena aku yang pegang kendali atas Kaisar. Makanya aku tidak suka kalau Kaisar pergi main sendiri tanpa aku dan atau mas Bely.

Over protective? Disinilah aku merasa kenapa kalian tidak belajar sih wahaha. Anak under 3y itu berpikirnya masih diranah under consciousness, kalau terlalu banyak nilai yang bersinggungan dengannya akan terserap DENGAN MUDAH dan akan menjadi karakter; bahkan kalau memang terlalu banyak bisa jadi anaknya akan bingung harus gimana. Aku tidak tahu teorinya bener atau enggak, tapi lihat sekeliling. Anak yang dididik terlalu banyak orang memiliki kecenderungan lebih (maaf) nakal dari pada anak yang dididik oleh hanya bapak ibu atau suster atau guru daycarenya. Walaupun pada dasarnya tidak semua hal bisa digeneralisir, tapi kalau mau menilisik lagi pasti deh ketemu banyak kasus semacam ini. 

Karena anak dibawah 3 tahun itu pinternya masya Allah, sedari 0 sampai 3 otak berkembang dengan pesat. Jadi ya aku tidak mau sia-siakan perkembangan otak Kaisar yang pesat itu hanya untuk dibilang tidak over protective. Kalau ada anak dibawah 3 tahun galak dan suka main tangan, atau hobi jajan, ya karena circlenya dia tipe-tipe manusia yang gemar berbuat demikian. Nanti kalau anaknya sudah di atas 3 tahun dan habit buruk itu jadi karakter, orang dewasa akan mempredikati dirinya "anak nakal". Padahal dari awal yang salah ya orang dewasa dilingkungan anak itu. Sedih ya. Yuk hati-hati yuk, Pak, Bu, dalam membesarkan anak. Diam-diam seberat itu ternyata huhuuu.