skripsi-part 1

on Rabu, 13 Mei 2015

Oh, hidup. Harusnya detik ini sedang utakutik skripsi Tapi mendadak aku merasa begitu frustasi.
Sebenarnya, skripsi tidak seseram yang selama ini orang bicarakan kok. Bagiku, skripsi itu pemacu ; biar otak kita yang lama tertidur mampu berpikir lebih; membaca lebih, belajar lebih, dan puncak tertingginya adalah menuliskan pengetahuan yang kita punya.
Versi kemenyebalkan skripsi adalah teori yang ini sama itu berbeda. Nggak konsistem. Bahkan kadang dosen pun nggak konsisten juga. Kadang pakai teori ini, kadang teori itu. Bikin bingung kan ya, kalau mahasiswanya macam aku yang nggak pernah puas kalau belum tahu sampai ke akar.
Hal menyebalkan lainnya, versiku, adalah antre dosen pembimbing. Bayangkan aja, dari mulai judul sampai proposal jadi, butuh waktu dua minggu. Habis proposal jadi, kirim ke email dosen. Dua minggu kemudian, beliau baru kirim balik revisi proposalnya. Kalau yang bagian ini, aku nggak nyalahkan beliau sih, maklum beliau orang nomor satu se universitas kami kalau masalah penelitian-penelitian begini, jadi proyek-proyek penelitiaanya banyak. Dan prinsip beliau adalah kerja totalitas. Prinsip itu diterapkan juga dalam membimbing mahasiswa. Beliau nggak mau kalau baca proposal skripsis mahasiswa cuman kayak mbuka lembaran kertas aja. Huruf demi huruf dibaca ndee. Oke nggak to itu? Hmm...
Dulu waktu aku mau ngajuin judul, pertimbanganku berbelit dan masih ditanya yang sama “mau buat skripsi yang seperti apa”. Dan tanya itu nggak nemu-nemu sama jawabannya sampai lamaaa banget. Yang pada akhirnya suatu hari aku berani mengajukan mini proposal yang pantasnya diajukan oleh calon DOKTOR. Oh my... kadang kalau diinget akupun malu. Siapa aku?
Tapi semenjak hari itu, I’m motivated. Pembimbing akademikku megatakan, “good job, mbak nia. Kalau bisa realisasi bagus ini. Kebermanfaatannya luar biasa”.
Dan acclah mini proposal itu. Dengan dosen –dosen pembimbing yang bagiku luar biasa hebat. Nah, pas maju di dosen pembimbing, waawawaaaa, malah disuruh ganti judul karena judul itu too high for my capability. Sebenernya saat itu lega juga sih. Tapi pusing saat nyari judul lain; topik yang tentunya bukan cuman membandingkan pbl dan dl, mengetahui pengaruh x thd y. Mana mau dosenku yang satu ini nggarap skripsi macam begini. Salah satu temanku, yang judul skripsinya biasa aja dan dibimbing dosen ini, beliau bilang kalau skripsi temenku itu gak berkesan. Pdhal menurutku jauh lebih bagus skripsi temanku itu daripada punya yang lain. Yah, bisa dibayangin deh ya, beliau sesuperpower apa.  Aku banget lah di masa depan. Amin, ya Rabb.
Akhirnya judul baru ditemukan. Jangan dibayangin ya kalau si baru ini kualitasnya jauh di bawah si lama. Ini judul juga belum pernah ada sebelumnya. Aku nggak tau sih ya, kalau dibelahan dunia berantah sana sebenernya udah pernah dilakukan penelitian begini cuman aja belum di publish, tapi di belahan sebelas maret belum pernah ada yang macam ini. Dan AKU ORANG PERTAMA DI DUNIA SEBELAS MARET YANG PUNYA PENELITIAN BEGINI. Mulanya gamang juga sih, tapi dosenku bilang, “kalau nggak mau judul itu ya cari pembimbing lain. Saya nggak mau judul ecek-ecek. Nggak level.”
Mau nggak mau, oke ambil. Dan dalam ke otw an pembuatan, innalillahi. Oh mg, ya itu tadi, satu proses dari buat kirim revisi itu satu bulan. Mana si x dan y kadang punya teori yang beda lagi. Terus aku? Maaf ya bingung, aku macam orang yang susah puas sebelum suatu hal terpecahkan dengan benar; masuk logika dan enak dirasa. Jadi kalau nggak puas baca satu buku, aku selalu nguber buku lain yang setema.
Dan karena aku yang pertama, cinta,, akhirnya tidak banyak kecurangan yang bisa kulakukan untuk skripsiku, hahahhahaha. Iya kan, nggak usah munafik deh. Kamukamu pun pasti sukanya comotcomot dari internet maupun skripsi yang sebelumnya udah disusun. Ngaku aja nggak usah malu! Tapi maaf ya, karena skripsi begituan belum ada, aku nggak bisa berlaku seperti kalian. Putar otak utak atik sendiri. Baca buku, ambil intisari, baru tuliskan pakai bahasa sendiri; kecuali kutipan langsung.
dan, karena aku ambil penelitian dan pengembangan, proses  mengembangkan ini nih yang bikin tobat. Pengen ganti judul aja rasanya kalai mikir harus macam mana produk pengembanganku.
Ah, hidup memang pilihan. Dimuka sudah kutetapkan mau ambil skripsi yang berkualitas dengan dibimbing dosen berkualifikasi tinggi. Kalau akhirnya kesampaian ya nggak usah dibikin pusing karena nggak selesai-selesai. Tahu nggak, wika butuh manusia-manusia yang skripsinya orisinil dan high quality.
Dan satu lagi, buat apa sih lulus cepet? Biar dibilang keren gitu? Iya kalik. Fkip mah sekarang padet. Apalagi pendidikan akuntansi yang diklaim punya sks terbanyak se fkip. Saat orang-orang di luar prodi kami sudah mulai nyusun skripsi, kami,, full satu semester masih dalam pengabdian pada negeri. Dimulai dari kkn, ppl, dan yang terakhir magang. Memang beberapa dari kami saat ppl sudah lekas ajukan judul. Beberapa tok sih, yang sekolah ppl dan guru pamongnya tanggung jawab tinggi. Dulu, crita dikit tentang ppl. Aku itu sampai bingung mau ngerjain yang mana dulu saking semua tugas guru pamongku diserahkan ke aku. Padahal aku masih ada tangguangan kuliah juga. Dan karena anak rumahan, masih ada tangguan pekerjaan rumah juga. Dan, kesempatan nyusun skripsi pas ppl, GAGAL. Emang sih, pas akhir pekan aku sempet nyusun mini proposal. Tp nggak ada waktu buat ngajuin ke dosen. Belum lagi, aku masih mikir ribuan kali, bener nggak nih aku buat skripsi ini. Februari aku baru mulai maju judul dan sampai detik ini baru nyampai instrumen.  Kalau aku dibimbing dosen lain nih ya, kemungkinannnya :
1.      Aku udah selesai penelitian
2.      Skripsiku gak sebagus yang lagi tak buat sekarang, yang maha sempurna
3.      Kalau begitu, wika ku gimana?
So, i believe that wika is near from me. In front of my eyes. Because my research and development today, pick me up to wika J
Lakon menang keri, kan, jare.
Dan dosenku pun kalau tak sambati bab wisuda, baliau selalu bilang, “apa bagusnya lulus cepet skripsi awut-awutan? Kerja itu totalitas gitu hlo.” Oke, tak bawa sampai mati bu. TOTALITAS.

 writen by @niahaji