Belajar: Kemauan Membaca dan Kemampuan Memahami

on Sabtu, 27 Juli 2019

Dulu aku selalu menganggap orang yang menulis "baca sampai akhir" itu goblok. Menurutku setiap orang akan baca detil, dari atas ke bawah (runut), sampai akhir; dan berujung paham. Ternyata aku keliru. Ternyata di dunia ini terlalu banyak orang yang tidak mau membaca dan tidak memiliki kemampuan memahami bacaan. Lalu, apa gunanya literasi gratis berhamburan kalau manusia tidak suka membaca 🤔.

Kemauan membaca dan kemampuan memahami tidak ada hubungannya dengan jenjang pendidikan juga sih menurutku. Tahu nggak, teman-teman sekolahku banyak yang tidak tamat S1, tapi menurutku mereka banyak ilmu, nyambung aja kalau diskusi banyak hal; mulai dari sepela tidak sepele, penting tidak penting. Kok bisa gitu? Karena sekolah kami adalah sekolahan yang menanamkan jiwa suka membaca pada muridnya. Sudah jadi ibu pengangguran pun (bahkan sampai nanti nenek-nenek, semoga) kami masih suka membaca semua hal dengan detil, runut, dan paham. Dan, teman-teman sekolahku mayoritas tidak bekerja hlo. Nganggur aja di rumah; kerjaannya beberes, masak, momong, ndulang, mandiin anak. Tapi bisa tetap pintar karena semangat belajar. Ada kemauan membaca dan kemampuan memahami bacaan.

Anehnya justru teman-teman kuliah yang wisudanya bareng denganku banyak yang tidak bisa diajak diskusi ini itu. Kok bisa gitu? Karena aku tahu, mereka tidak suka membaca. Boro-boro paham, baca saja malas gimana mau paham. Entah polanya: baca tapi tidak paham ATAU tidak mau baca karena pasti akan tidak paham. Kalau pola pertama masih nggak papa, aku masih mau menjelaskan panjang lebar. Tapi kalau baca saja sudah tidak mau, kok sudi amat jelasin panjang lebar. Dih, sini mah pengangguran berkualitas wkwk.

Eh soal pengangguran, tadi ada ibu-ibu bilang "hla mbange ngopo ora ndue gawean" (nyinyiran padaku sang pengangguran), kok menurutku sejak menganggur hidupku lebih berkualitas ya. Lebih banyak membaca; entah artikel, buku, curhatan penting/tidak penting orang, dan lain-lain; dan semuanya membuatku merasa otakku lebih berisi dan sikapku lebih bijaksana. Tapi kembali ke masing-masing sih. Banyak yang menganggur dan gitu-gitu aja kualitas dirinya, banyak yang sibuk bekerja tapi masih sempat upgrade kualitas diri. Nggak jaminan siapa kamu berbanding lurus dengan kualitas dirimu. Menurutku kualitas diri lebih sebanding dengan kemauan belajar. Belajar sendiri sebuah proses dari yang tidak tahu menjadi tahu. Dari mana kita bisa tahu kalau tidak dari membaca dan atau mendengarkan (?). Seandainya tidak suka membaca tapi suka cari-cari ilmu lewat audio bisa juga kok. Tapi sepertinya kalau dasarnya tidak mau belajar mau pakai media apapun akan malas.

Tidak papa juga kalau tidak mau upgrade kualitas diri. Hidup hidupmu suka-suka kamu yang menjalankan. Aku serius hlo ngomong begitu. Sangat serius. Karena memang banyak di dunia ini yang tidak terlalu peduli dengan besok; asal sekarangnya baik-baik saja: BERES. Tidak papa sama sekali. Tapi Rasul pernah berpesan jangan sampai hari esokmu tidak lebih baik dari kemarin. Jadi, mari tetap semangat belajar. Sila baca banyak-banyak, atau dengarkan banyak-banyak. Sumber ilmu banyak-banyak bertebaran kok di intenet, asal kita pandai memilah dan memilih sumber agar ilmu kita tidak abal-abal dan pemahaman kita tidak salah kaprah. Semangat belajar semua 😊

Jawaban dari Tanya "kamu akan ngapain"

Waktu aku posting tentang "mbahku dulu ngapain" dan merekontruksi menjadi kalau Kaisar nanya mbahnya dulu ngapain yang berkaitan dengan postingan Jouskan tentang 1000 orang diisolir dalam tempat asing, saling tidak kenal, dan sama-sama tidak berpendidikan, empat dari lima teman yang komen di DM paham kemana arah yang aku maksud. Tapi ada seorang teman yang DM kurang lebih bilang "besok Kaisar gede dan baca status ini, dia akan mikir mamaku itu ngapain".

Aku sedih dikomen begitu. Ketika kita hidup diera financial literacy (bahkan literacy untuk segala macam lifeskill) bertebaran di media sosial untuk kehidupan yang lebih baik, kenapa masih tidak paham dengan klue yang aku lontarkan. Sebuah klausa yang jadi penasaran kita "mbahku dulu ngapain" menurutku refleksi diri paling hebat agar kita tidak meninggalkan generasi lemah; SANDWICH GENERATION.

Dalam agama pun diajarkan agar tidak meninggalkan generasi lemah: baik lemah iman, lemah mental, lemah financial. Jadi, salah tidak kalau aku merefleksi "mbahku dulu ngapain"?

Aku punya teman, kakek dia bisa dibilang "Sang Pemilik Kota". Dia pernah cerita betapa masa muda kakeknya dihabiskan untuk bekerja keras. Anggap saja kakekku semasa dengan kakek temanku. Kenapa kakekku tidak meninggalkan kekayaan sebanyak kakek temanku? Apa karena kekekku tidak bekerja keras?

Kakekku petani, berasa dari keluarga tidak berada. Bapaknya meninggal ketika kakekku masih kecil; dan kakekku adalah anak sulung alias mbarep. Betapa kalau orang jawa jaman dulu, anak mbarep selalu punya tanggung jawab yang luar biasa berat. Kakekku pernah bercerita kalau beliau sampai datang ke makam bapaknya dan mengeluh kenapa harus meninggal secepat itu, merasa tidak berdaya, sekaligus berjanji akan menjadi mbarep yang baik dan bertanggung jawab.

Berbekal sawah sepetak peninggalan bapaknya, beranak jadi berpetak-petak. Selain memberi warisan kepada anak-anaknya, kakekku juga ninggali masing-masing satu sawah kepada saudara-saudara laki-lakinya.

Tapi, kenapa hidupku tidak sekaya temanku si cucu pemilik kota? Padahal kakekku bekerja keras hlo. Bahkan bisa dilabel sangat keras. Karena kakeku kalah dalam sebuah hal paling fundamental: ILMU PENGETAHUAN.

Ketika kakek temanku sudah tahu bahwa bisnis masa depan adalah X, maka beliau bekerja keras merintis bisnis itu. Sementara kakekku yang orang desa tahunya hanya bertani. Padahal di masa depan, sawah di desa nilainya tidak seberapa dan bertani tidak bisa dijadikan sumber penghasilan. Keputusan kakekku tidak salah, hanya saja intuisi yang kurang tepat karena ilmu pengetahuan yang sedikit. Dilain sisi, kalau saat itu tidak bertani, sudah jelas tidak bisa hidup.

Jadi, seandainya kamu satu dari 1000 orang yang berada dalam tempat asing, saling tidak kenal, dan sama-sama tidak berpendidikan, kira-kira kamu ngapain? Beberapa hal yang mampu kuimija dalam otakku, kalau aku adalah satu dari 1000 orang itu:
1. Berkenalan dengan sebanyak mungkin orang, banyak berbincang, bertukar pikiran; karena meskipun sama-sama tidak berpendidikan, tidak semua manusia punya kemampuan sama dalam berpikir.
2. Mengikuti yang paling dominan dalam kelompok. Satu dari 1000 orang itu pasti ada yang paling menonjol, berjiwa kepemimpinan kuat.
3. Membentuk kelompokku sendiri bersama orang-orang berpola pikir sama (setelah berkenalan dengan banyak orang). Berjalan tanpa pemimpin, asal merasa klik dengan setiap jiwa dalam kelompok.
4. Jalan sendiri, berusaha mencari sumber mata air agar bisa menjadi bos dalam kelompok karena aku penemu mata air. Sumber air pasti dibutuhkan oleh semua orang.

Waktu aku posting tentang "mbahku dulu ngapain" dan merekontruksi menjadi kalau Kaisar nanya mbahnya dulu ngapain yang berkaitan dengan postingan Jouskan tentang 1000 orang diisolir dalam tempat asing, saling tidak kenal, dan sama-sama tidak berpendidikan, empat dari lima teman yang komen di DM paham kemana arah yang aku maksud. Tapi ada seorang teman yang DM kurang lebih bilang "besok Kaisar gede dan baca status ini, dia akan mikir mamaku itu ngapain".

Aku sedih dikomen begitu. Ketika kita hidup diera financial literacy (bahkan literacy untuk segala macam lifeskill) bertebaran di media sosial untuk kehidupan yang lebih baik, kenapa masih tidak paham dengan klue yang aku lontarkan. Sebuah klausa yang jadi penasaran kita "mbahku dulu ngapain" menurutku refleksi diri paling hebat agar kita tidak meninggalkan generasi lemah; SANDWICH GENERATION.

Dalam agama pun diajarkan agar tidak meninggalkan generasi lemah: baik lemah iman, lemah mental, lemah financial. Jadi, salah tidak kalau aku merefleksi "mbahku dulu ngapain"?

Aku punya teman, kakek dia bisa dibilang "Sang Pemilik Kota". Dia pernah cerita betapa masa muda kakeknya dihabiskan untuk bekerja keras. Anggap saja kakekku semasa dengan kakek temanku. Kenapa kakekku tidak meninggalkan kekayaan sebanyak kakek temanku? Apa karena kekekku tidak bekerja keras?

Kakekku petani, berasa dari keluarga tidak berada. Bapaknya meninggal ketika kakekku masih kecil; dan kakekku adalah anak sulung alias mbarep. Betapa kalau orang jawa jaman dulu, anak mbarep selalu punya tanggung jawab yang luar biasa berat. Kakekku pernah bercerita kalau beliau sampai datang ke makam bapaknya dan mengeluh kenapa harus meninggal secepat itu, merasa tidak berdaya, sekaligus berjanji akan menjadi mbarep yang baik dan bertanggung jawab.

Berbekal sawah sepetak peninggalan bapaknya, beranak jadi berpetak-petak. Selain memberi warisan kepada anak-anaknya, kakekku juga ninggali masing-masing satu sawah kepada saudara-saudara laki-lakinya.

Tapi, kenapa hidupku tidak sekaya temanku si cucu pemilik kota? Padahal kakekku bekerja keras hlo. Bahkan bisa dilabel sangat keras. Karena kakeku kalah dalam sebuah hal paling fundamental: ILMU PENGETAHUAN.

Ketika kakek temanku sudah tahu bahwa bisnis masa depan adalah X, maka beliau bekerja keras merintis bisnis itu. Sementara kakekku yang orang desa tahunya hanya bertani. Padahal di masa depan, sawah di desa nilainya tidak seberapa dan bertani tidak bisa dijadikan sumber penghasilan. Keputusan kakekku tidak salah, hanya saja intuisi yang kurang tepat karena ilmu pengetahuan yang sedikit. Dilain sisi, kalau saat itu tidak bertani, sudah jelas tidak bisa hidup.

Jadi, seandainya kamu satu dari 1000 orang yang berada dalam tempat asing, saling tidak kenal, dan sama-sama tidak berpendidikan, kira-kira kamu ngapain? Beberapa hal yang mampu kuimija dalam otakku, kalau aku adalah satu dari 1000 orang itu:
1. Berkenalan dengan sebanyak mungkin orang, banyak berbincang, bertukar pikiran; karena meskipun sama-sama tidak berpendidikan, tidak semua manusia punya kemampuan sama dalam berpikir.
2. Mengikuti yang paling dominan dalam kelompok. Satu dari 1000 orang itu pasti ada yang paling menonjol, berjiwa kepemimpinan kuat.
3. Membentuk kelompokku sendiri bersama orang-orang berpola pikir sama (setelah berkenalan dengan banyak orang). Berjalan tanpa pemimpin, asal merasa klik dengan setiap jiwa dalam kelompok.
4. Jalan sendiri, berusaha mencari sumber mata air agar bisa menjadi bos dalam kelompok karena aku penemu mata air. Sumber air pasti dibutuhkan oleh semua orang.

Berbekal dari pembelajaran yang aku dapat dari mengkomparasi masa lalu kakekku dan kakek temanku, aku ingin menjadi nomor 4 tapi aku takut lol. Mungkin aku akan dinomor 1 dan kalau memang ada yang jiwa kepemimpinannya kuat, aku akan ikut dia sih. Kenapa tidak nomor 3 saja? Aku anaknya tidak kuat bekerja keras, tidak tahan banting; maka kalau circleku orang-orang setipe denganku, hidupku akan tidak berkembang dan aku tidak mau. Kalau hanya bergaul dengan mereka yang klik denganku, aku takut akan meninggalkan generasi yang lemah. Harus banyak belajar, mengumpulkan sebanyak mungkin pengetahuan, dan menajamkan intuisi. Lalu, kira-kira aku akan diposisi mana setahun kemudian? Aku tidak tahu. Yang penting kemampuanku harus bertambah dalam segala hal. Tidak berharap menjadi nomor satu, asal hidupku baik-baik saja untuk masa sekarang; dan wajib membaik di masa depan.

Ala-ala Emak Profesional: Tips Sukses TT

on Senin, 08 Juli 2019

Note: tips ini ditulis ketika Kaisar belum benar-benar lulus toilet training dan terus revisi sampai (sekarang) sudah lulus tt. Semoga membantu ya, Bu.

[ ] Percaya pada anak.
Sebenanya sebelum benar-benar lepas pempes aku sudah sering bawa Kaisar ke kamar mandi untuk pipis. Jadi aku sudah uji coba dulu apakah anaknya akan banyak ngompol sekalipun sudah sering dibawa ke kamar mandi atau sudah bisa pipis di kamar mandi. Dan ternyata Kaisar bisa pipis di kamar mandi. Hanya ngompol (dipempes) kalau jarak pipis ke kamar mandi terlalu lama (ini karena aku kadang malas, tidak untuk ditiru).

Akhirnya aku memutuskan untuk percaya bahwa Kaisar bisa lepas pempes sama sekali. Meskipun awalnya ngompol sekali dua kali ya tidak apa-apa.

[ ] Sounding terlebih dahulu
Sebelum pure lepas pempes, aku bilang ke Kaisar beberapa hari sebelumnya "kamu nanti mulai hari sabtu ndak pakai pempes lagi hlo mas. Kan sudah besar, nggak ngompol, pipis kamar mandi".

Entah dia ngerti atau enggak yang jelas aku sudah bilang. Dan pertama kali dia tidak pakai pempes (hanya celana), aku bilang lagi "mas ini sudah hari sabtu jadi kamu sudah nggak pakai pempes. Kan dah besar, nggak ngompol, pipis kamar mandi".

Langsung berhasil nggak? Enggaklah! Lol. Baru no pempes beberapa jam udah ngompol. Aku bilang lagi "ngompol malu ndak? Lain kali kalau mau pipis bilang pis ya. Nanti ke kamar mandi". Selalu ingatkan kalau mau pipis harus bilang. Sounding aja terus sampai berhasil.

[ ] Rajin-rajin ke kamar mandi
Toilet training Kaisar baru jalan 3 hari tapi ibunya udah nulis tips aja ya lol. Jadi salah satu kunci sukses yang sepertinya bener-bener ampuh adalah sering bawa ke kamar mandi. Awal-awal toilet training pasti anak kebingungan dengan konsep tidak ngompol karena biasanya pakai pempes. Nah, ajarkan pada mereka kalau pipis itu ada tempatnya dan tempatnya adalah kamar mandi.

Wajar ya kalau baru lepas pempes beberapa hari dan masih suka ngompol. Biasanya pipis dimanapun bisa dan nyaman-nyaman aja. Jadi anak tidak tahu perasaan kebelet pipis itu seperti apa. Kalau sering dibawa ke kamar mandi otomatis anak akan tahu perasaan kebelet pipis itu seperti apa dan harus pipis dimana.

[ ] Pastikan bahwa anak sudah mampu berkomunikasi dua arah meskipun lewat kode
Aku pernah mengusahakan toilet training waktu Kaisar masih satu tahun (sekarang 18 bulan). Serius bikin emosi banget karena anaknya suka tidak mau pipis kalau di kamar mandi dan malah ngompol ketika sedang pakai celana. Kejadian itu nggak sekali dua kali tapi sering wkwk. Padahal aku sudah sounding, sudah rajin ke kamar mandi tapi kok zonk. Akhirnya aku paham bahwa Kaisar belum mampu berkomunikasi sama sekali (atau mungkin dia sendiri juga tidak tahu perasaan kebelet pipis itu seperti apa). Lalu aku putuskan toilet trainingnya pending sampai dia paham akan banyak hal dan bisa komunikasi.

[ ] Jangan pernah memaksa anak
Pengalaman dari toilet training pertama Kaisar waktu umur satu tahun, aku kurang sabar dan memaksa Kaisar untuk mampu. Jadi toilet training kedua ini (bahkan waktu masih trial toilet training) aku tidak pernah paksa Kaisar ke kamar mandi kalau dia tidak mau. Ngompolnya Kaisar waktu D2 TT bukan karena jarak ke kamar mandi terlalu lama, tapi karena dia emoh ke kamar mandi padahal aku tahu dia kebelet pipis. Akhirnya dia ngompol. Dari situ aku kasih pengertian kalau tidak mau ke kamar mandi ya akan ngompol dan ngompol kalau sudah besar itu malu. Dan iya, kalau sudah terlanjur ngompol jangan langsung bilang "eh kok ngompol. Malu doong". Bersihkan dulu pipis dan anaknya. Ajak dia bebersih pipis dia yang sembarangan sambil kasih pengertian kalau ngompol itu malu dan bikin nggak bisa solat karena najis (aku muslim anw).

[ ] Ibu harus siap
Karena dibalik kelucuan dan kepolosan anak kecil tersimpan jutaan hal-hal menganyelkan yang bikin emosi, maka siapkan dirimu, Bu. Siap akan semua konsekuensi yang akan tertanggung; kalau ternyata tidak segera berhasil TT, kalau cucian menggunung berhari-hari, kalau sedang asik-asik makan tetiba anak ngompol (bahkan aku sudah takbiratul ikhram, Kaisar pipis disajadahku hiks). Siapkan diri baik fisik dan mental karena akan lebih capek. Akan lebih sering bawa anak ke kamar mandi, ngepel ompol, nyuci segala apapun yang dipipisi anak, dkk. Akan lebih gampang marah kalau anak masih saja suka ngompol. Meskipun lelah jangan marah, jangan bentak kalau anak ngompol. Beri pengertian dan yakinlah mereka paham. Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin sedari umur satu Kaisar sudah bisa lepas pempes kalau akunya siap. Tapi ternyata susah bener kalau akunya belum siap dan anaknya juga belum mampu berkomunikasi.

Selamat mengajari toilet training BuIbu semua. Semangat, sabar, tetap konsisten, dan yakin kalau anak mampu lulus toilet training.

Tentang Trial Toilet Training

Karena teman bikin story tentang toilet training anak, jadi pengen nulis TT lagi.

Mungkin emang bener ya anak itu sendiri-sendiri. Ada yang makannnya gampang, boboknya gampang, toilet trainingnya gampang, tapi ngomongnya lambat; dsb dst yang itu beda-beda tidak bisa disamakan banget. Alhamdulillah toilet training Kaisar umur 18 bulan ini lancar tanpa kendala berarti. Pipis ngompol juga cuma beberapa kali, itupun waktu awal-awal toilet training. Sekarang sudah almost 2 weeks (tepat 2 minggu besok sabtu) dan nggak worry dia ngompol samsek.

Jadi kalau disuruh nulis tips endebre endebre gimana kiat sukses aku sih nggak ada yang bener-bener kiat sebenarnya. Anak bulekku lepas pempes umur 2 tahun dan ngompol cuma hari pertama doang bayangpun wahaha. Anak tetangga sedari kecil nggak pernah pempesan, sampai umur 3 masih ngompol aja. Karena apa coba? Padahal ya sama, sama-sama dibawa ke kamar mandi kalau pipis dan suka ditanya apakah kebelet pipis atau enggak.

Mungkin emang kiat sukses itu relatif banget dan kembali ke kebutuhan masing-masing dengan melihat kondisi anak. Kalau anaknya belum siap dan ibunya malas ngelap ompol anak yang masih saja ngompol padahal udah tt berhari-hari, bisa dicoba trial toilet training.

Iya, trial toilet training. Udah training masih trial. Kaisar sebelum benar-benar full lepas pempes trial dulu soalnya. Aku malas harus sering ngelap ompol (belum lagi najisnya), maka kuputuskan diawali dengan trial. Teknisnya, anak tetap dipakain pempes sambil sering-sering diajakin ke kamar mandi. Namanya juga anak, kadang kalau lagi asik main jelas emoh dibawa ke kamar mandi. Otomatis ngompol doong. Ya biar, kan masih pakai pempes. Nggak usah bingung mikir ngelap ompol. Nah, waktu melepas pempes; entah mau ganti atau mau mandi atau mau ke kamar mandi untuk pipis, dan kalau beneran anak ngompol, jangan lupa bilang kalau dia sudah terlanjur ngompol di pempes dan itu malu. Sounding gitu hloo.

Kaisar sudah trial sejak umur 15 bulan. Full lepas pempes umur 18 bulan. Lumayan lama jaraknya, karena pertimbanganku umur 15 kemampuan komunikasinya masih belum bagus. Dan aku nggak mau repot ngelap ompol, jadi kuputuskan tetap pakai pempes sembari diajari ke kamar mandi untuk pipis. Selama trial kalau pup masih dipempes sih, selalu. Tapi selepas tidak pempes sama sekali, bisa pup di kamar mandi. Kalau tidak mau di kamar mandi ya di halaman (rumah kami di desa jadi di halaman masih ada spot tanah. Kalau pup di halaman, kotorannya dimasukkan ke tanah).

Umur 18 kuputuskan full no pempes karena kemampuan bahasa Kaisar meningkat pesat baik mendengarkan maupun bicaranya. Aku ngomong apa, dia sudah paham. Jadi kuputuskan untuk percaya dan memulai hari tanpa pempes.

Ngompol nggak awal-awal full lepas pempes meskipun sudah trial? Ya ngompol doong. Namanya juga bocah ya kaan. Cuman ya, tetep dikenalin aja sih sama perasaan kebelet pipis dan pup. Semoga lama-lama paham dan benar-benar lulus toilet training.

Ps: pempes itu maksudnya pospak ya mom .

Bekerja, Sampai Daycare

Aku sedang hobi sekali baca kolom komentar salah satu akun media sosial sebuah lembaga keuangan independen. Namanya baca pikiran orang banyak, kalau ada yang komentarnya "kok keren sih", ya kepo ke akun media sosial bersangkutan dong. Lol. Kemarin sore secara tidak sengaja scroll akun seorang ibu rumah tangga yang bekerja dan memiliki tiga anak laki-laki. Sebut saja namanya Riyanti. Bu Riyanti menulis disalah satu caption feedsnya bahwa fvck banget kalian yang mencaci keadaannya. Sudah lelah bekerja dan masih urus anak, apa esensi bekerja baginya. Sudah jelas capek, tapi dia yakin kondisinya tidak akan selamanya begini. Tiap pagi bangun petang, aktivitas seharian, tidur larut malam; weekend berasa numpang lewat dan tetiba sudah senin.

Jadi ingat aku pernah menulis bahwa aku menyinyir mereka yang bekerja atas nama "wanita berdaya harus berkarya" padahal niatnya menghindari urus rumah sepanjang hari sepanjang waktu tanpa libur beserta dramanya. Iya, aku kezel dengan ibu-ibu yang tidak mengakui bahwa menjadi ibu itu capek maka mereka mencari kesenengan diluaran dengan bekerja; sebagai pelepas penat 😏.

Apa aku membenci ibu bekerja? Tidaklah! Maaf nulisnya nggak bisa santai aja lol. Aku hanya sirik dengan mereka yang tidak mengakui dengan jujur alasan kenapa bekerja. Kalau memang tidak bisa harus urus anak seharian sepanjang waktu tanpa libur dan bekerja adalah salah satu cara pelepas penat terbaik, maka bekerjalah. Tapi tidak usah mengikutkan "semua wanita berdaya harus berkarya" dong! Memang yang tidak bekerja tidak berdaya dan tidak bisa berkarya? Kami, ibu-ibu pengangguran merasa dihabisi secara mental dan itu menyesakkan.

Maka aku sangat cinta pada annisast karena dia sejujur itu bilang pada dunia kalau dia bekerja karena tidak bisa harus urus anak sepanjang hari sepanjang waktu. Tidak apa-apa kalau tidak bisa. Mengurus anak itu jihad dan jihad itu lelah. Kebersediaan lelahnya orang dalam berjihad itu sendiri-diri dan urusan dia dengan Yang Maha Kuasa. Manusia tidak perlu ikut campur dan menasihati macam-macam. Biar diselesaikan sendiri karena itu perkara seseorang dengan tuhannya.

Ini aku ya, seandainya aku mampu bekerja dengan gaji yang cukup untuk mendaycarekan Kaisar, aku akan bekerja kok karena dirumah seharian itu membosankan dan urus anak tanpa jeda itu melelahkan. Sayangnya sampai saat ini aku belum menemukan tempat yang bersedia menggajiku sebesar itu. Maka lebih baik momong daripada harus bekerja hanya untuk kesenangan pribadi dan penjagaan pada Kaisar tidak sesuai level yang aku mau. Bersyukurlah kalian yang bisa berdaya dan berkarya dengan bekerja sementara anak kalian tetap dalam penjagaan terbaik. Sejujurnya itu cita-citaku yang tidak menyata.

Oiya, kenapa harus daycare? Sebenarnya tidak papa kalau tidak daycare, suster juga boleh banget. Asal kalau sama suster anaknya harus tetap dijaga kakek neneknya. Masalahnya adalah aku tidak terlalu percaya dengan kakek nenek (a.k.a orang tuaku). Karena kupikir parenting style kami sangat berbeda dan sama sekali tidak senada. Contoh kecilnya aja kalau Kaisar nangis. Orang tuaku akan segera mendiamkan; entah dengan mengiming-imingi hal lain, menuruti kemauan Kaisar, dst; yang penting anaknya diam. Kalau aku? Peluk saja erat-erat sambil bilang "perasaanmu kecewa ya, mama minta maaf ya karena memang kemauanmu tidak bisa dituruti. Nangis dulu aja kalau mau nangis". Sebeda itu. Maka tidak mau banget menitipkan ke suster dengan pengawasan kakek nenek. Kakek nenek akan mendominasi dan suster dengan kodratnya sudah pasti tidak mampu melawan permintaan kakek nenek. Kalau diasuh suster aja tanpa kakek nenek? Duh, kayaknya jaman sekarang susah ya cari suster yang bener-bener beres tanpa diawasi. Wkwk.

Kalau daycare kan diasuh oleh orang-orang profesional dan aku sendiri yang langsung bersinggungan dengan mereka. Jadi aku merasa lebih leluasa menyampaikan ide parentingku pada mereka. Dan aku yakin mereka orang-orang yang kalau diajak share ini itu akan bersedia meresapi dan memahami "oh iya, begini begitua ya". Yang lebih penting adalah kalau daycarenya bagus sudah pasti rekrutmen pengasuhnya tidak main-main. Beda dengan cari suster sendiri yang kita tidak tahu dedikasi dia sebesar apa.

Jadi, selamat pagi seluruh ibu di dunia. Selamat menjalankan peran dan aktivitas masing-masing dengan mengakui sepenuh hati alasan kenapa bekerja dan kenapa tidak bekerja. Karena pengakuan yang jujur itu menentramkan dan pengakuan yang diada-adakan itu menyebalkan.

Aku tetap akan tersinggung, bagaimanapun, dengan paradigma "bekerja agar berdaya dan mampu berkarya". Kamu pikir aku dirumah ngapain? Iya, jujur saja kalau memang kamu bekerja karena tidak mampu urus anak sepanjang hari sepanjang waktu tanpa libur. Itu tidak apa-apa, jangan malu mengakuinya.

Jd.id Dijamin Ori (bukan endorse)

on Sabtu, 06 Juli 2019

Bahan tulisan yang bener-bener surprize. Oh hidup 😣

Sebuah nomor asing nelfon pagi-pagi sekitar jam 7. Aku yang emang selalu abai dengan nomor baru ya masa bodoh aja, ditelfon berkali-kali pun biarlah. Mendadak dapat sms dari ecommerce kalau paketku sedang dalam perjalanan antar ke rumah. Aku masih sebodo amat itu karena merasa tidak beli apa-apa. Malah mbatin "dih, nyesel udah instal apk ecommerce itu. Orang nggak beli apa-apa mosok mau nipu bilang paket sedang dikirim ke rumah".

Siang jam 10an, buka hp lagi. Mbatin lagi, "ini nomor asing kenapa nelfon mulu". Lalu ke pesan WA dan surprisingly "saya X kurir ecommerce Y mau antar pesanan njenengan". Aku balas santai dong kalau aku tidak beli apa-apa. Terus karena berpikir bahwa kenapa penipu ini ngotot banget mau kirim barang, aku buka apk ecommerce itu. Ternyata aku sudah klik buy sejak tanggal 01 lalu. OH HIDUP 😥😥😥

Telfon kurir, bilang maaf kalau aku salah, ternyata aku emang tanpa sengaja klik buy. Ya sudah kirim saja mau gimana. Aku harus tanggung jawab kan, tidak peduli apa.

Kadang, kebodohan itu bisa jadi berkah sekaligus musibah ya. Nggak enak juga karena beli tanpa ijin mas Bely dulu. Dulu sering gitu sih tapi makin melek financial literacy sudah nggak gitu lagi. Dulu bebeli apa-apa asal duitnya ada ya beli aja. Sekarang harus pikir matang-matang kapan barang itu benar-benar dibutuhkan, budget berapa, cashflow posisi gimana, dkk. Dan semua harus lewat diskusi berdua (terlebih kalau harga barangnya bernominal sebesar barang yang aku tidak sengaja beli ini).

Tidak apa ya, wong sebenarnya aku butuh barang ini juga. Cuma ya waktunya nggak sekarang banget. Biarlah, anggap saja berkah lol.

Dua Garis Kedua (the last part)

on Jumat, 05 Juli 2019

Alhamdulillah dramanya sudah berakhir tapi aku masih ingin menuliskan beberapa hal tentang punya anak (lagi).

Pada akhirnya aku pasrah kalau harus ada anak lagi ya sudah, sudah takdirnya harus dijalani, kan. Sekalipun manusia mengusahakan untuk tidak kalau Allah berkeras iya, bagaimana mau menolak tetapanNya? Pada akhirnya hanya bisa menjalani dengan mencoba ikhlas.

Memberanikan diri untuk mengecek kehamilan, dan satu garis, alhamdulillah. Aku menangis dan sujud syukur; berterima kasih tak terkira pada Allah karena iyaku masih iyaNya. Langsung ke bidan saat itu juga untuk KB. Anw, sekalipun KB, aku dan mas Bely selalu main aman hlo. Mana berani kami berhubungan saat masa subur. Tidak pas masa subur saja spe**a tetap keluar diluar wahaha. Maaf vulgar. Karena memang setakut itu. Dan jujur, frekuensi seks kami sangat sedikit setiap bulannya. Sekali lagi, karena memang setakut itu.

Makanya karena kami sudah berusaha menjaga tapi kok Yang Kuasa tidak sekata, wajar kalau kaget. Kaget kenapa mensku bisa mundur. Mosok bener hamil lagi. Ya udalah kalau memang harus ada nyawa baru dalam hidup kami, mau diapa kalau bukan diterima penuh ikhlas. Tapi alhamdulillah, sekali lagi, nyawa baru itu tidak ada.

Kenapa sih setakut itu punya anak sampai menjaga bener-bener banget? Apalagi setelah drama mundur mens ini, penjagaan akan diperketat. Wkwkw.

Bukan apa-apa. Hanya, punya anak bukan masalah gampang. Misalpun kita mengesampingkan masalah financial, aku tidak bisa harus mengorbankan kebebasanku untuk makhluk baru (lagi). Jahat ya. Nggak salihat banget ya. Emaang.

Karena jadi ibu itu lelah, memang sedang jihad wajar kalau lelah. Boleh istirahat nggak? Bagaimana definisi istirahat menurutmu? Bukankah jihad memang berat maka harus lelah? Seandainya Rasul sering-sering beristirahat karena lelah, kiranya sekarang apa kabar kita umat Islam. Maka, kalau sedang jihad ya jangan setengah-setengah. Karena lelah yang lillah berpahala jannah.

Nah, masalah utamanya adalah aku tidak bisa harus berlelah untuk satu nyawa (lagi). Cukup nyawa yang sekarang menjadi medan jihadku aku masih sering berkesah dan mengeluhkan ini itu. Bagaimana kalau harus jihad untuk dua nyawa. Ah, tak kuasalah.

Banyak ibu salihat yang tiap tahun punya anak dan tidak banyak mengeluh lelah meminta istirahat. Banyak, dan beberapa dari mereka aku kenal baik. Sayangnya, aku tidak (belum) bisa menjadi mereka; aku masih cinta pada diriku sendiri melebihi jalan jihad ini. Sesusah itu berbenah menuju salihat serius.

Maka, aku menyarankan pada siapa saja kalian: JANGAN MENDOAKAN PASANGAN BARU UNTUK SEGERA PUNYA ANAK ATAU SEORANG ANAK PUNYA ADIK LAGI. Bisa jadi memang pasangan baru itu memang mau menunda kehamilan karena beberapa pertimbangan. Kalau memang tidak ada rencana menunda dan berharap segera dititipi momongan sih ya doakan aja nggak apa. Tapi kalau memang niatnya menunda, kelyan tidak usah nyinyir wkwk. Mendoakan seorang anak punya adik lagi juga hal sensitif hlo. Tidak semua orang tua berharap ada anak kedua. Karena sekali lagi, membesarkan anak bukan perkara dia tumbuh sehat dengan baik, BUKAN!

Mohon maaf dosa sebenarnya. Tapi serius, punya anak itu jenis kerompangan yang tidak terurai kalimat dan tak lekang waktu. Serius, punya anak tidak semain-main itu: this is the way we called jihad. Tidak sebercanda: ibu capek, anak titipin embahnya dan ibu jalan-jalan. Asal stok ASIP aman mau pulang kapan-kapan urusan gampang. Tidak sebercanda itu.

Kalau menyusui memang pekerjaan sampingan, apa gunanya Aminah menitipkan anaknya untuk disusui wanita gunung bernama Halimah? Renungkan, bu!

Ps: Aku muslim. Sewaktu SMA ustadzku pernah bilang bahwa pada masanya kami, muridnya akan dihadapkan dengan kaum feminis, liberalis, sekuler; yang tidak menggunakan islam sebagai dasar hidupnya. Maka diatas aku menuliskan bahwa mengasuh anak adalah jihad yang memang wajar kalau lelah karena jika dilakukan dengan lillah berpahala jannah. Padahal aku tahu, begitu pula kalian, apa yang sering orang-orang tulis tentang mengasuh anak; me time lalala yang bikin ibu sering keblinger dunia.

Sementara disisi lain aku sangat ketakutan kalau dua garis kedua itu menyata. Memang, muslimku belum kaffah layaknya wanita salihah. Maka, karena jihad memang harus lelah, aku tidak siap dengan kelelahan itu. Memang, hanya setinggi ini kadar imanku.

Mohon maaf jika tidak sepemikiran.

Dua Garis Kedua (part 3)

Mereka yang mendoakan semoga anakmu segera punya adik adalah mereka yang tidak tahu betapa beratnya mengasuh bayi. Golongan ini adalah mereka yang belum menikah, tidak segera diberi momongan padahal usia pernikahan sudah tua, sudah punya anak tapi masih dibantu asuh oleh banyak orang, atau para ningrat yang semua hal keduniawian cemepak di depan mata sehingga tidak perlu mumet kalau punya anak (lagi).

Iya, aku selalu kesal dengan mereka yang mendoakan semoga Kaisar segera punya adik. Men, kondisi financial kami, karirku, ah! Memang setiap anak membawa rejekinya masing-masing, tapi merupakan keharusan sebagai orang tua memberi yang terbaik bukan sekedar semampunya tapi wajib dimampukan, bukan? Sudah, cukup rasa bersalahku pada Kaisar yang tiap hari kuajak menangisi ketidakjelasan masa depan, yang tidak kuat memberikan vaksin lengkap sesuai anjuran IDAI, yang tidak bisa membelikannya baju, stroller, bantal, gendongan, dan mainan mahal. Sudah, cukup pada Kaisar saja.

Kenapa tidak mendoakan aku semoga dapat pekerjaan yang bagus, yang gajinya bersisa banyak untuk mendaycarekan Kaisar di tempat terbaik. Kenapa malah mendoakan hamil lagi?

Oke, punya anak adalah jihad terbesar orang tua. Tapi bu, bukankah kamu lebih memilih aktualisasi diri daripada mengasuh anakmu? Kamu masih berlomba menyuarakan me time yang aku tidak paham sama sekali esensinya. Kamu kesana kemari layaknya gadis tanpa tanggungan nyawa. Dan anakmu? Kamu titipkan! Itu jihad?

Bu, jihad itu konsekuensinya lelah. Namun, lelah yang tidak lillah tidak mendapat jannah. Jihad itu tidak ada kata istirahat sebentar. Jihad itu berat, bu! Dan jihad terberat seorang ibu adalah mengasuh new born. Dipikir bagaimanapun, dengan kondisi yang sekarang, aku tidak kuasa kalau harus ada dua garis kedua! So many things i want to do. Kesemuanya hanya bisa kesampaian kalau tidak ada new born lagi dalam waktu dekat ini dihidupku.

Makilah aku karena imanku lemah. Tidak apa-apa. Aku memang bukan hamba yang bersedia berjihad terlalu berat. Aku mengakuinya dan aku memohon ampun padaNya. Punya anak lagi, jihad berat lagi, sungguh aku tidak mampu membayangkan akan segila apa.

Exactly masalah selesai jika aku bersedia menitipasuhkan anakku. Tetapi menitipkan kepada yang bukan ahlinya bukanlah jihad menurut versiku. Jihad itu kalau aku full mengasuh sendiri, atau aku bekerja dengan gaji yang setidaknya sekedar cukup untuk memberikan mereka lingkungan yang baik; sebut saja daycare mahal. Kalau cuma dititipkan pada pengasuh sak-sake atau ke simbahnya, BIG NO bagiku. Karena aku yakin parenting styleku jauh berbeda dengan mereka. Bahkan bukan jaminan day care mahal akan memiliki keyakinan parenting yang sefrekuensi denganku. Tapi setidaknya pengasuh daycare akan menurut kalau aku ingin ini itu; karena mereka pintar, disekolahkan!

Lebih baik anak satu tapi dibesarkan dengan segala kebaikan daripada beberapa tapi dibersamai beberapa cela. Its not mean yang anaknya beberapa buruk dan yang anaknya satu selalu baik. Hanya, kalau belum mampu dua, ya jangan ada dua garis kedua. Sudah.

Kaisar, iya aku bangga dan kalau tidak takut pada Allah bisa saja kusombongkan segalanya pada kalian. Aku bangga anakku adalah Kaisar. Sudah, cukup. Aku tidak ingin menulis lebih tentang kalimat takabur apapun. Yang jelas aku tidak menyesal telah memilih mengasuh daripada bekerja. Aku hanya merasa bahwa pengorbananku tidak sia-sia.

Seandainya ada dua garis kedua, aku tidak kuasa harus berkorban lagi untuk nyawa baru itu. Tapi disisi lain aku harus. Dan pilihannya hanya dua: mengasuh (lagi) atau mendaycarekan di tempat terbaik yang benar-benar baik (red. MAHAL). Sedihnya, pilihan satu (untuk sekarang) terdengar lebih mungkin daripada pilihan dua, yang berarti aku harus mengorbankan kebebasanku sebagai wanita milenial, lagi. Dan, aku tidak kuasa.

Doakan saja, semoga tidak ada dua garis kedua. Terima kasih.

Dua Garis Kedua (part 2)

Sedang luang dan pengen nulis tapi bingung mau nulis apa. Hanya aku sedang sangat takut kalau memang benar akan ada dua garis kedua.

Tidak perlu dibikin rumit, hidup sudah rumit dengan sendirinya. Kehamilan pertamaku tidak direncana juga sebenarnya. Dan kondisi kami waktu itu; finansial, mental, dan fisik; jauh dari kata cukup. Kalau memang benar sedang hamil, kenapa sekarang semua hal terasa lebih menyeramkan?

Diskusi dengan mas Bely akan semua drama ini. Dia bilang, memang sekarang kondisi kami membaik. Jauh lebih dari baik daripada kehamilan pertamaku. Ibaratnya dulu itu bangkit saja tidak bisa, sekarang kami sedang berusaha merangkak. Dan justru disitulah letak kekhawatiran kami. Baru saja berusaha merangkak, kenapa mau diinjak lagi sampai rasanya melulu bertanya "apa bisa tetap merangkak? Apa tidak akan jatuh lagi sampai bangkit saja tidak kuasa". Iya, melulu dunia sih. Malu ya.

Ah. Ada Allah yang Maha Segala. Serahkan saja padanya. Bukankah nyawa itu milikNya?

Huhu aku mau nangis waktu nulis ini. Doakan semoga tidak ada dua garis kedua ya 😣

Dua Garis Kedua

Sebenarnya mensku sangat tidak teratur semenjak melahirkan, bahkan sampai sekarang. Kadang mundur, kadang maju banget, kadang sebulan dua kali malah. Amazingnya, sepanjang tahun ini mensku selalu maju bahkan kadang sebulan dua kali. Tapi bulan ini kenapa belum mens ya 😥😥😥😥.

Takut hamil lagi? Jujur ya, BANGET! Punya anak itu berat, sudah berat hamilnya, berat menyusuinya, berat ngasuhnya. Apalagi satu tahun pertama kehidupan bayi. Masya Allah, nggak kuat kalau harus ngulang lagi. Tiap hari adanya kemrungsung, marah-marah, semelang, whats else; semua rasa yang bikin hidup tidak nyaman. Belum lagi biayanya; biaya periksa, biaya persalinan, biaya hidupnya setelah dia lahir. Anak satu aja mikir duitnya mumet, gimana kalau dua.
Dan yang paling bikin aku kesel adalah "hlah, momong lagi? Serius?". Iya, sekesel itu. Aku ingin berkarir, seutuhnya menjadi wanita bebas tanpa terbabani atas hidup bocah. Kalau aku bekerja, harus mendaycarekan dua anak, kalau aku tidak bekerja; Ya Allah aku bosan! Belum lagi, tidak ada income kedua, dapat uang darimana agar kami bisa hidup cukup dan layak seperti sekarang. Second opinionnya adalah satu day care, satu diasuh simbahnya. Tapi aku terlalu berat hati kalau anakku harus diasuh simbahnya. Tidak, harus tidak kejadian. Semoga Allah kabulkan.

Complicated ya.

Maka, serahkan segala sesuatu pada Sang Pemilik Kuasa. Ia Maha Segala dan tahu mana skenario hidup terbaik untuk manusia. Yang perlu kamu lakukan adalah menaati perintahnya. Rempong urus anak, uang, kehilangan kesempatan menjadi wanita bebas (lagi) semua semata dunia dan itu urusan remeh temeh. Percayalah Allah memudahkan. Kalau memang harus dua garis kedua, terima saja. Ia sebaik-baik Maha Tahu skenario terbaik untuk alur ceritamu.

Dari semua doa yang kupanjatkan, aku memohon dengan khusyuk kepadaMu dan mengafirmasi diriku sendiri "aku tidak sedang hamil lagi". Aamiiin.